Nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dalam beberapa tahun terakhir kerap menjadi perbincangan di tengah masyarakat khusus nya di kalangan akademisi dan kaum milenial. Sejak pensiun dari militer pada tahun 2016 silam, popularitas AHY sebagai tokoh nasional perlahan tapi pasti terus bergerak naik.
Berawal dari keikutsertaan nya dalam kontestasi Pilkada DKI Jakarta 2016 sebagai calon gubernur, nama AHY mulai diperhitungkan dalam jagat politik nasional. Sebut saja ketika dirinya menjadi rising star dalam bursa calon presiden dan calon wakil presiden dalam perhelatan pemilihan presiden 2019. AHY sebagai figur yang baru muncul di dunia politik kurang dari 3 tahun nyatanya mampu menjadi salah satu figur dengan elektabilitas tertinggi.
Hampir semua lembaga survei menempatkan AHY dalam top 3 kandidat calon presiden terkuat di bawah Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Dalam bursa calon wakil presiden, tidak sedikit pula lembaga survey yang menempatkan AHY sebagai calon wakil presiden dengan elektabilitas tertinggi, mengalahkan tokoh-tokoh yang lebih senior dalam dunia politik nasional seperti Anies Baswedan (Gubernur DKI Jakarta), Sandiaga Uno (Wakil Gubernur DKI Jakarta), Ridwan Kamil (Gubernur Jawa Barat), Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah) hingga mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo.
Baru-baru ini, nama AHY kembali mencuri perhatian ketika dirinya terpilih secara aklamasi menjadi Ketua Umum Partai Demokrat, menggantikan sang ayah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ya, semua pengurus dan kader Partai Demokrat yang memiliki hak suara mempercayakan tongkat estafet kepemimpinan partai berlogo mercy tersebut kepada AHY.
Lantas, apa yang membuat seorang AHY dapat meraih itu semua dalam waktu yang sangat singkat?
Mungkin sebagian orang akan menjawab karena AHY adalah putra dari SBY, presiden 2 periode yang juga pendiri dan ketua umum Partai Demokrat.
Bagi saya, rasanya kurang tepat jika kita mengaitkan keberhasilan AHY tersebut dengan jawaban seperti itu. Jika memang hal tersebut benar, mengapa hanya AHY anak presiden dan ketua umum partai politik yang memiliki elektabilitas tinggi sebagai kandidat calon presiden dan wakil presiden serta dipilih secara aklamasi sebagai ketua umum partai?
Sejak menjadi staff beliau pada 2016 silam hingga sekarang, saya melihat ada nilai dalam diri AHY yang membuatnya bisa meraih semua itu, yaitu karakternya sebagai seorang pekerja keras.
Saya masih ingat betul ketika kampanye pilkada 2016 silam, saat itu AHY setiap hari melakukan gerilya lapangan ke berbagai pelosok pemukiman padat penduduk di seluruh Jakarta. Dalam 1 hari, AHY bisa mendatangi 4-6 titik pemukiman untuk bertemu langsung, mendengarkan keluh kesah dan menyampaikan program kerja nya sebagai calon gubernur DKI.
Perlu diketahui, saat kampanye gerilya itu, teknis kegiatan bukan lah seperti kampanye pada umum nya dimana sang calon datang ke satu titik acara. Akan tetapi, betul-betul datang ke kampung-kampung, gang sempit yang bahkan terlalu sempit untuk dilalui 2 sepeda motor. Menurut perhitungan saya, dalam 1 titik yang dikunjungi AHY saat itu minimal dia berjalan kaki sejauh 1,5 -- 2 km. Tidak sekedar berjalan kaki, tapi beliau bertemu langsung dengan rakyat, mendengarkan keluh kesah mereka, membaur tanpa batas. Panas terik dan hujan badai tidak menghentikan langkah beliau dalam melayani rakyat saat itu.
Dalam 4 bulan masa kampanye itu, berjalan kaki 6 -- 15 km dan melayani keluh kesah 4.000-6.000 orang rakyat kecil merupakan rutinitas sehari-hari bagi seorang AHY. Hal itu belum termasuk rapat pembahasan program kerja, evaluasi kegiatan, menerima audiensi dari komunitas dan ormas dll setiap malam sampai larut. Working hour seorang AHY saat itu rata-rata di kisaran 14-18 jam per hari.