Mohon tunggu...
Dudi Iman Hartono
Dudi Iman Hartono Mohon Tunggu... -

verba volant, scripta manent. (ucapan lenyap, menguap. tulisan akan tersimpan)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Poros Maritim dan Arus Balik Kebudayaan

23 November 2014   14:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:04 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Visi poros martitim yang digagas Presiden Jokowi menjadi pekerjaan besar bangsa ini. Keinginan untuk “kembali ke luat”, setelah beribu-ribu tahun mengabaikannya, sudah barang tentu bukan pekerjaan lima, sepuluh tahun. Visi untuk mengembalikan bangsa ini ke jati diri sesungguhnya sebagai bangsa maritim adalah pekerjaan besar dan revolusioner, karena menyangkut pemutarbalikan arus pemikiran, budaya, politik, pertahanan-militer dan sosial secara lebih luas.

Keputusan nenek moyang bangsa ini untuk “mengungsi ke pedalaman”, tidak bisa dilepaskan dari lepasnya penguasaan lautan yang sebelumnya mereka kuasai. Kedatangan bangsa-bangsa Eropa yang menguasai laut nusantara menjadikan bangsa ini terpaksa masuk ke wilayah lebih dalam. Dimulai dari Portugis, Spanyol dan kemudian Belanda, telah menggusur kekuasaan laut kerajaan-kerajaan di nusantara. Mereka kemudian menyingkir lebih ke dalam membangun peradaban baru yang berorientasi daratan (agraris). Kerajaan-kerajaan ini tidak pernah mampu melampaui kebesaran nenek moyang mereka sewaktu masih  menguasai lautan. Tentu hal ini tidak mengherankan karena seperti disampaikan Pramoedya Ananta Toer (Budayawan);

“Sejak VOC sampai pemerintah belanda berkuasa, laut tidak lagi menjadi penghubung, tetapi laut menjadi pemisah antar pulau-pulau di nusantara, dan ini sejalan dengan misi penaklukkan Belanda di Nusantara dengan politik devide at impera (politik pecah belah).”

Jauh sebelum kedatangan bangsa Portugis yang dipimpin Afonso de Alburquerque ke Malaka pada 1511, pelaut-pelaut nusantara telah dikenal sebagai pelaut  yang tangguh. Pada abad 5 hingga 7 M kapal-kapal dagang nusantara telah menguasai Asia. Pada era itu pedagang Cina banyak bergantung kepada pelaut-pelaut nusantara. Sejak abad ke-9 Masehi, bangsa Indonesia telah berlayar mengarungi lautan ke barat Samudera Hindia (Indonesia) hingga Madagaskar dan ke timur hingga Pulau Paskah.

Robert Dick-Read, seorang peneliti dari London University (penulis buku Penjelajah Bahari), mengemukakan bahwa pelaut-pelaut nusantara yang telah menguasai perairan dan tampil sebagai penjelajah samudera sejak 1.500 tahun lampau. Ini artinya penjelajahan pelaut-pelaut nusantara itu dilakukan jauh sebelum Cheng Ho maupun Colombus mencatatkan sejarah penjelajahan bahari yang fenomenal.

Anthony Reid, dalam buku Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, mengutip catatan Diego de Couto dalam buku Da Asia (terbit 1645), menuliskan pelaut Portugis yang menjelajahi samudera pada pertengahan abad ke-16 itu menyebutkan, orang Jawa lebih dulu berlayar sampai ke Tanjung Harapan, Afrika, dan Madagaskar. Ia mendapati penduduk Tanjung Harapan awal abad ke-16 berkulit cokelat seperti orang Jawa. "Mereka mengaku keturunan Jawa," tutur Couto.

Sejarah peradaban maritim nusantara berikutnya ditandai dengan kemasyuran kerajaan Sriwijaya di Palembang (abad ke-7), dan dilanjutkan kejayaan Majapahit di era kekuasaan Hayam Wuruk (1350 – 1389). Kebesaran armada laut Majapahit tersebut bisa dirujuk pada catatan Irawan Djoko Nugroho dalam bukunya Majapahit Peradaban Maritim (2011). Irwan menulis armada laut Majapahit memiliki 400 Jung.  Jumlah itu jauh lebih besar daripada armada kapal yang dimiliki VOC (Belanda), EIC, Spanyol, dan Portugis pada tahun sesudahnya (1674), yaitu 124 kapal. Irwan juga menulis, sejarah mencatat bahwa kemampuan teknologi perkapalan Majapahit jauh lebih dahsyat dari bangsa lain. Bahkan ukuran kapal Majapahit saat itu bisa memuat 600 penumpang, sementara kapal bangsa lain hanya 50 orang.

Semantara, kejayaan Sriwijaya ditandai dengan kedatangan berbagai orang dari berbagai negeri. Banyak sarjana Budha Mahayana yang bermukin di ibukota Sriwijaya sebelum melanjutkan studi di Universitas Nalada di India. Kesaksian atas kemasyuran Sriwijaya juga dapat disaksikan pada catatan I Tsing, seorang bikshu dari Tiongkok. Maupun catatan Al Masudi, seorang musafir sekaligus sarjana Arab, menulis catatan tentang Sriwijaya sebagai kerajaan yang makmur dengan jumlah tentara banyak.

Lantas kemana hilangnya kegemilangan maritim nusantara itu?

Penguasaan bangsa-bangsa Eropa, yang dimulai dari Portugis hingga Belanda, atas perairan nusantara disebabkan tidak adanya kerajaan maritim besar dan memiliki pengaruh kuat pada masa itu. Setelah kejatuhan kerajaan maritim Sriwijaya (abad ke-7), dan kemudian Majapahit (abad ke-15), praktis tidak ada lagi kerajaan maritim besar yang memiliki kekuatan angkatan laut yang besar dan tangguh. Kerajaan-kerajaan maritim yang lahir kemudian di wilayah-wilayah nusantara sibuk dengan konflik di antara mereka sendiri.

Sebelum Portugis, dan kemudian Belanda, berhasil menguasai lautan nusantara, terdapat bandar-bandar besar dan berpengaruh di wilayah nusantara. Malaka, yang waktu itu masih menjadi wilayah Majapahit, dan kemudian Demak, menjadi bandar yang strategis. Selain Malaka, bandar lain yang tak kalah ramai adalah Makassar yang menjadi pusat kerajaan Gowa. “Pusat kerajaan di Makassar pada awal abad ke-17 sudah menjadi kota pelabuhan internasional lengkap dengan kantor perwakilan dagang Portugis, Belanda, Inggris, Spanyol, Denmark dan Tiongkok,” papar sejarawan Hilmar Farid dalam pidato Kebudayaannya di Taman Ismail Marzuki 11 November 2014 lalu.

Dan ketika Portugis di bawah pimpinan Alfonso de Alburquerque sampai ke Malaka pada tahun 1510, mereka dengan mudah menghancurkan kapal-kapal Jawa dan menguasai bandar paling strategis di wilayah nusantara tersebut.  Kedatangan bangsa Eropa ke nusantara dipicu kejatuhan Konstantinopel (ibukota Romawi) ke tangan kesultanan Turki Utsmani (1453). Pengusaan Konstantinopel oleh Turki  membuat pasokan rempah-rempah dari wilayah timur ke Eropa terputus. Kondisi ini membuat bangsa Eropa mencari sendiri sumber rempah-rempah di belahan timur. Setelah menaklukan dan menguasai Malaka, Portugis menjadikan Malaka sebagai pangkalan militer untuk menahan serangan orang-orang Melayu. Dari Malaka mereka kemudian mengirimkan ekspedisi ke Maluku mencari rempah-rempah.

Kedatangan Portugis memicu kedatangan bangsa-bangsa Eropa lainnya seperti Spanyol dan Belanda. Tujuan mereka pun serupa mencari sumber rempah-rempah. Ekspedisi Spanyol ke kepulauan nusantara tak semulus seperti Portugis. Armada Magella (1519) berlayar dari Spanyol dengan membawa lima kapal dengan awak berjumlah 270 orang. Ekspedisi ini telah menekan banyak korban jiwa dan materil. Selain kehilangan nyawa Magellan, ekspedisi ini hanya menyisakan tiga kapal dari lima kapal yang berlayar. Mereka sampai di Filipina pada tahun 1521. Dari Filipina mereka melanjutkan pelayaran sampai ke Kepulauan Maluku, tepatnya di Kesultanan Tidore.

Cornellis de Houtman sampai di Banten pada 1596. Banten saat itu merupakan pelabuhan lada terbesar di ujung Barat pulau Jawa. Sejak itu Belanda banyak mengirimkan armada ekspedisi dari berbagai perusahaan berbeda untuk mencapai sumber rempah-rempah. Jacob van Neck pada Maret 1599 tiba di Maluku,  kapal-kapalnya kembali ke Belanda (1599-1600) dengan membawa banyak rempah-rempah dan meraup keuntungan 400 persen.

Kedatangan bangsa-bangsa Eropa mencari rempah-rempah ke nusantara tak pelak menimbulkan persaingan di antara mereka. Mereka masing-masing mencoba mendekati penguasa-penguasa setempat. Seperti Portugis yang mendekati Kesultanan Ternate, dan Spanyol yang mendekati Kesultanan Tidore. Konflik-konflik lokal antarkerajaan itu pada akhirnya banyak menguntungkan bangsa Eropa. Keberhasilan mereka membantu dalam menghadapi musuh-musuhnya membuat bangsa-bangsa Eropa itu mendapat previllage sehingga akhirnya memonopoli perdagangan rempah-rempah di wilayah itu.

Di Jawa setelah keruntuhan Majapahit (1478) akibat konflik dan perang saudara, dan tidak adanya kerajaan besar, membuat Portugis, dan kemudian Belanda relatif mudah menguasai Jawa. Usaha untuk menghancurkan Portugis dan merebut Malaka bukan tidak dilakukan raja-raja Jawa pada masa itu. Pasukan Jepara dan Palembang (1513) yang menyerang Malaka berhasil dipukul mundur. Begitupun dengan Pati Unus (1521) hingga Ratu Kalinyamat (1550, dan 1556) yang mengerahkan armada tempurnya ke Malaka untuk mengusir Portugis berakhir dengan kegagalan. Pati Unus bahkan terbunuh dalam pertempuran itu. Satu-satunya keberhasilan kerajaan nusantara menghalau Portugis adalah ketika Fatahillah dari kerajaan Demak berhasil mengalahkan Portugis di Teluk Jakarta, dan mengusasi kota Sunda Kelapa (1527).

Kemunduran terbesar Indonesia sebagai bangsa maritim terjadi ketika meninggalnya Sultan Agung 1645. Hilmar Farid dalam pidato kebudaayannya berjudul Arus Balik Kebudayaan: Sejarah Sebagai Kritik, menuliskan kematian Sultan Agung pada tahun 1645 membuka ruang intervensi VOC di pedalaman Mataran, dan jatuhnya Makassar pada 1669 membuka jalan bagi VOC menguasai jalur perdagangan terpenting di nusantara. Sejak itu hanya ada kerajaan maritim kecil dan hidup di bawah dominasi VOC yang secara efektif menggunakan perpecahan dan persaingan di antara mereka untuk menguasai semuanya. Sultan Agung pernah dua kali menyerang VOC di Batavia, yaitu pada tahun 1628 dan 1629. Keduanya berakhir dengan kekalahan.

Dominasi dan kolonialisasi VOC di wilayah nusantara memaksa bangsa ini tidak bisa mengakses lautnya, sebagai urat nadi budaya sekaligus sumber kehidupan mereka sebagai bangsa maritim. Mereka dipaksa masuk lebih dalam membangun peradaban baru “di darat” dengan mengingkari kodranya sebagai bangsa maritim.

Mengutip Pramoedya Ananta Toer dalam novel sejarah berjudul Arus Balik;

Semasa jayanya Majapahit, Nusantara merupakan kesatuan maritim dan kerajaan luat terbesar di antara bangsa-bagnsa beradab di muka bumi. Arus bergerak dari selatan ke utara, segalanya: kapal-kapalnya, manusianya, amal perbuatannya dan cita-citanya, semua bergerak dari Nusantra di selatan ke ‘Atas Angin’ di utara. Tetapi zaman berubah... Arus berbalik – bukan lagi dari selatan ke utara tetapi sebaliknya dari utara ke selatan. Utara kuasai selatan, menguasai urat nadi kehidupan Nusantara...

Ilusi Bangsa Agraris

Bangsa Indonesia sebagai bangsa agraris merupakan sebuah ilusi yang telah tertanam beratus-ratus tahun lamanya. Hal ini seriring dengan kolonisasi bangsa-bangsa Eropa, terutama Belanda melalui VOC-nya. Sejarah tanam paksa pada waktu jaman Gubernur Jenderal van Den Boch (1830-1834) kian membenamkan bangsa ini kepada kehidupan agraris sebagai sebuah keniscayaan.

Laut tidak lagi dipandang sebagai urat nadi peradaban. Laut telah dijadikan penghambat,  tidak lagi dipandang sebagai sebuah penghubung yang mengintegrasikan dirinya sebagai kesatuan utuh wilayah di nusantara.

Dari Sabang sampai Merauke, berjajar pulau–pulau. Sambung menyanbung menjadi satu, itulah Indonesia. Lirik lagu berjudul Dari Sabang Sampai Merauke ciptaan R. Sunaryo sejatinya menegaskan Indonesia sebagai kesatuan bangsa maritim.

Ironisnya, ilusi bangsa ini sebagai bangsa agraris justru semakin ditanamkan oleh bangsa Indonesia sendiri. Soeharto melalui kekuasaanya yang hegemonik mengarahkan bangsanya untuk menjadi agraris. Programnya untuk melakukan swasembada beras memang berhasil dilakukan pada tahun 1984. Tahun 1985 Soeharto mendapat penghargaaan dar FAO (Badan Pangan Dunia). Namun lima tahun berikutnya Indonesia kembali menjadi pengimpor beras.

Padahal syarat sebagai negara agraris adalahsebagian besar masyarakatanya bermata pencaharian sebagai petani, atau hidup dari sektor pertanian. Berbagai produk pertanian diunggulkan sebagai tulang punggung perekonomian negara. Sebagai sebuah negara yang 70 persen wilayahnya adalah lautan sangatlah mengherankan mengklaim dirinya sebagai negara agraris. Padahal luas daratan itu masih harus dikurangi oleh keberadaan hutan, permukiman, industri dan infrastruktur yang dari tahun ke tahun luasnya semakin meningkat. Akibatnya? Indonesia dari tahun ke tahun menjadi negara pengimpor beras. Dan pengimpor sebagian besar produk pertanian lainnya.

Anton Apriyantono mencatat bahwa alih fungsi lahan sawah beririgasi teknis dengan laju yang bisa mencapai 80.00 hektar pertahun. Sedangkan kemampuan cetak sawah nasional maksimal masih di bawah laju alih fungsi. Jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 220 juta jiwa, laju pertumbuhan 1,3 persen per tahun dan terkonsentrasi di Jawa mendorong laju alih fungsi lahan semakin tinggi dan Jawa menjadi tereksploitasi berlebihan yang tercermin dari luas pemilikan lahan rata-rata yang terus menciut.

Ilusi sebagai bangsa agraris yang tertanam selama berabad-abad lamanya, telah membawa bangsa ini kepada keterikatan kepada tanah sebagai sumber kehidupan, sekaligus sebagai sebagai inspirasi budaya. Kehidupan agraris identik dengan kehidupan masyarakat desa yang memiliki keterikatan tinggi satu sama lain berdasarkan unsur kekeluargaan, berkelompok, homogen seperti dalam mata pencaharian, adat istiadat dan agama.

Sekali lagi, ilusi sebagai bangsa agraris telah membawa bangsa ini melupakan lautnya. Dan, sekaligus meninggalkan produk budaya yang melekat pada kemaritiman itu sendiri. Keputusan untuk menyingkir ke dalam telah membuat bangsa ini terputus dari pergaulan global yang terjadi melalui interaksi jalur maritim.

Budaya Maritim

“Kita tidak bisa kuat, sentosa, dan sejahtera selama kita tidak kembali menjadi bangsa bahari seperti masa dahulu.”

Kalimat itu disampaikan Bung Karno dalam pidatonya pada Munas Maritim 1963. Saat itu Bung Karno menunjuk Ali Sadikin sebgai Menko Maritim. Bung Karno ingin menjadikan laut nusantara sebagai pilar utama penggerak perekonomian nasional. Sesungguhnya Bung Karno sudah lebih dulu memiliki kesadaran kemaritimannya ketika menunjuk Perdana Menteri Djuanda untuk membuat deklarasi wawasan Nusantara pada 13 Desember 1957 dan memperjuangkan di forum internasional asas archipelago Indonesia melalui United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1958. Namun baru pda tahun 1982 perjualan itu dikabulkan melalui konferensi PBB tentang hukum laut UNCLOS III. Berdasarkan hal itu  Indonesia juga memiliki hak berdaulat atas sumber kekayaan alam dan berbagai kepentingan yang berada di atas, di bawah permukaan dan di lapisan bawah dasar laut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 2,7 juta km² .yang mengelilingi laut kedaulatan selebar 200 mil laut.

Adanya pengakuan atas ZEE menjadi modal bangsa Indonesia untuk kembali melihat laut sebagai pusat aktifitas budaya seperti pada zaman keemasan Sriwijaya maupun Majapahit. Tapi sayangnya hal itu tidak dilakukan. Persepsi bangsa ini sebagai bangsa agraris telah menjadikan laut hanya dilihat sebatas sebagai potensi ekonomi sekunder. Laut hanya dilihat sebagai produksi ikan tangkap dan budidaya ikan semata.

Visi pembangunan poros maritim seperti digagas Presiden Jokowi, menurut Prof Dr Ir La Ode Masihu Kamaluddin,M.Eng, harus diikuti dengan mengembangkan ekonomi maritim ke depan harus ada revolusi mental yakni dari cara pandang yang tidak lagi bicara soal produksi ikan tangkap dan budidaya ikan, melainkan lebih berkosentrasi pada bisnis pengembangan transportasi dan pelabuhan.

Jelas, revolusi mental berarti mengubah secara radikal cara pandang dan sikap bangsa ini terhadap laut selama ini. Laut harus dilihat sebagai pusat aktifitas budaya, sehingga apapun gagasan, tindakan serta karya yang dihasilkan selalu berorentasi kemaritiman. Perubahan ini harus diikuti dengan perubahan pendekatan pertahanan maupun orientasi pembangunan, industrialisasi, dari yang selama ini berorientasi kontinenal menjadi maritim. Dan sudah barang tentu kita mesti berpikir ulang untuk terus menjadikan Jakarta sebagai ibu kota.

Rencana membangun tol laut yang akan menghubungkan Sabang sampai Merauke dan pembangunan 20 pelabuhan di seluruh perairan Indonesia sudah barang tentu akan menghidupkan kembali aktifitas kemaritiman Indonesia. Menggeliatnya kembali pelabuhan atau bandar-bandar besar dan kecil, industri-industri perikanan tentu berimplikasi pada dinamika kehidupan di daerah pesisir. Menghidupkan kembali laut berarti ke depannya bangsa ini harus bertumpu pada perdagangan sebagai kegiatan utama perekonomian. Aktifitas pertanian dan perkebunan diarahkan untuk menghasilkan produk-produk komoditas jadi, bukan lagi perdagangan barang mentah atau setengah jadi.   Kegiatan perekonomian maritim diprediksi dapat menyerap 40 ribu tenaga kerja sehingga kita tidak perlu lagi mengirim istri-istri kita, anak-anak perempuan kita untuk menjadi buruh di negeri orang.

Jalesveva Jayamahe!

Referensi Bacaan:

Pramoedya Ananta Toer, Arus Balik (1995)

Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara (2004)

Van Puersen, Strategi Kebudayaan (1994)

http://id.wikipedia.org/wiki/Kapal_jung

http://pigipugu.blogspot.com/2011/01/angkatan-laut-majapahit.html

http://indonesiadalamsejarah.blogspot.com/2012/04/hukum-laut-indonesia.html

http://news.okezone.com/read/2014/11/11/65/1063717/budaya-maritim-indonesia-didominasi-tiga-etnis

http://www.kaskus.co.id/thread/544a6b29a09a3962148b4567/budaya-maritim-keluhuran-nusantara

http://grelovejogja.wordpress.com/2007/08/07/kebudayaan-maritim-modern/

http://hilmarfarid.com/wp/?p=621

http://library.uinsby.ac.id/index.php/news-and-events/323-doktrin-maritim-ala-jokowi-jk

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun