Mohon tunggu...
dudi iskandar
dudi iskandar Mohon Tunggu... -

Penulis dan peneliti

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Jokowi adalah Kita

3 Juni 2014   05:03 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:47 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_339812" align="alignleft" width="300" caption="Saya Sujatmi, Ibunda Jokowi "][/caption]

Jokowi adalah Kita

Kehormatan hidup bukanlah ditentukan seberapa tinggi pendidikanmu, seberapa banyak ijazah akademismu, seberapa banyak bintang-bintang jasa bertaburan di dadamu, tapi kehormatan hidup itu ada ketika namamu melekat di hati orang-orang sekitarmu, kerjamu bermanfaat untuk rakyat banyak, dan doamu tiap bangun tidur memohon agar hari ini lebih baik daripada hari kemarin. Kehidupan adalah kerja dan cinta. Itu kita jalani dengan sederhana saja. (Joko Widodo)

Adalah seorang pengusaha asal Prancis bernama Micl Romaknan yang kebingungan dengan banyaknya nama Joko di Indonesia. Ia kerap kesal karena surat dan dokumen yang dikirimnya ke Indonesia kerap salah sasaran. Karena tidak mau bisnisnya merugi gara-gara banyaknya nama Joko, Romaknan memanggil Joko Widodo, rekan bisnisnya, dengan “Jokowi,” untuk pemilik CV Rakabu. Romaknan tentu tidak menyangka nama Jokowi yang diberikannya menjadi sangat tenar dan berpeluang besar menjadi Presiden Indonesia periode 2014-2019.

Dalam kancah perpolitikan awal 2000-an, Jokowi adalah fenomena. Ia menembus kebekuan politik Indonesia dengan penampilannya yang sederhana, bersahaja, dan apa adanya. Sifat otentiknya itu memunculkan rasa penasaran tentang pendidikan dan lingkungan jenis apa yang membentuknya, keluarga macam apa yang menciptakan karakternya, dan terlebih perempuan seperti apa yang melahirkan dan mendidiknya.

Jokowi (akan?) mematahkan mitos presiden harus kaya, ningrat, perlente, berpangkat dan jauh dari rakyatnya. Soekarno adalah intelektual, Soeharto adalah jenderal, Gus Dur adalah kiai, Megawati adalah anak Presiden, Susilo Bambang Yudhoyono adalah jendral. Jokowi? Tidak memiliki titel seperti presiden negeri ini sebelumnya.

Modal terbesar Jokowi adalah pendidikan karakter seorang wanita bersahaja bernama Sujiatmi. “Kalau kamu cari uang, dagang saja, gedein perusahaanmu. Tapi kalau kamu nyalon walikota, kamu harus jujur dan ndak boleh macam-macam. Jangan gunakan uang dari jabatan walikotamu. Kalau mau kaya jangan jadi walikota, jadi pengusaha saja. Kamu masih bisa ngembangin pabrikmu, bisa lebih besar lagi,” papar Sujatmi mengenai ketika Jokowi akan terjun ke dunia politik 2005 silam.

Beberapa kalangan sinis menyebut kesederhanaan Jokowi sebagai pencitraan. Namun melihat keseharian Sujatmi, kita akan paham bahwa kesederhanaan tersebut memang mengalir dalam darah Jokowi. Bukti yang paling sohih adalah Jokowi tidak pernah mengambil gajinya selama 7,5 tahun menjabat walikota Solo. Satu lagi contoh yang paling aktual adalah selama 1,5 tahun Jokowi menjabat Gubernur DKI Jakarta, tidak pernah ada satu spanduk pun yang memasang Jokowi. Ini sangat kontras dengan gubernur lain di berbagai daerah.

Gambaran sosok Jokowi adalah potret mayoritas anak bangsa ini. Penampilan Jokowi apa adanya adalah nilai mulia bangsa ini; wajah ‘ndeso’ Jokowi adalah muka kita semua; pakaian murah Jokowi adalah pakaian keseharian rakyat Indonesia. Makanya tidak heran ketika Jokowi mengemuka ke publik, ia disambut antusias; bak pahlawan. Rakyat merindukan presiden mereka adalah presiden yang berasal dari wajah dan keadaan mayoritas bangsa ini.

Beragam potret kehidupan Jokowi hari ini yang ada di hadapan publik jelas merupakan hasil pendidikan karakter ibunya, Sujiatmi, seorang wanita yang kini banyak menghabiskan waktu tuanya untuk berkeliling mengikuti pengajian dan aktif di berbagai organisasi sosial.

Buku Saya Sujatmi, Ibunda Jokowi adalah sebuah sketsa tentang perempuan yang menemani Jokowi, saat ia masih berupa janin dalam kandungan hingga kini duduk sebagai gubernur DKI Jakarta. Nilai-nilai kesederhanaan, sifat jujur dan tidak serakah yang dihidupinya, semoga dapat menginspirasi lebih banyak lagi keluarga di Indonesia sehingga kelak akan muncul pemimpin-pemimpin baru yang jujur dan dapat dibanggakan.

14017206841180873214
14017206841180873214
14017208461417067592
14017208461417067592

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun