Meski desakan publik sangat kuat, tetapi pada dasarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak bisa diterbitkan.
Sebab, saat ini penerbitan Perppu itu tidak memenuhi syarat materiil konstitusional. Karena itu, Presiden tidak dapat mengunakan kewenangan eksklusifnya berdasarkan Pasal 22 UUD 1945.
Hal ini seperti dijelaskan oleh pakar hukum tata negara, Fahri Bachmid.
Ia menyarankan kepada pihak yang kontra terhadap Undang-Undang (UU) tentang KPK untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Inilah langkah yang paling baik saat ini.
Fahri menjelaskan, Presiden hanya dapat menerbitkan perppu jika dalam keadaan darurat. Secara konseptual, lanjut Fahri, situasi darurat itu didasarkan atas doktrin yang sudah dikenal sejak lama, yaitu prinsip adanya keperluan.
Secara konstitusional, pranata penetapan Perppu adalah berdasarkan pada tahapan terjadinya keadaan yang genting, sehingga memaksa Presiden untuk mengambil tindakan secepatnya atau adanya kebutuhan yang mengharuskan.
Untuk itu, Presiden sebaiknya menunggu putusan MK atas uji materi agar semuanya jelas dan tertib dalam tatanan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara.
Hal ini demi tegaknya demokrasi konstitusional yang dianut Indonesia.
Masyarakat juga perlu memahami mekanisme demokrasi yang sudah disepakati bersama. Jangan memaksakan kehendak ke Presiden untuk mengambil kebijakan yang belum tentu sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Mari kita pahami konstitusi dan aturan lainnya, agar kita bisa bernegara dengan tertib. Tidak seenaknya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H