Mohon tunggu...
Dya Ozee
Dya Ozee Mohon Tunggu... -

Live to Love Love to Live

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ayah, Ibu dan Dejavu

4 Januari 2014   11:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:10 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

orang yang bilang hidup itu mudah, pasti tidak pernah jatuh cinta.


Ibu saya bilang, hidup itu seperti roller coaster. Naiknya merambat, turun nya meluncur lalu berputar, berguncang dan sebelum kamu sadari waktu nya sudah habis. Heran nya, orang orang antri untuk menikmati 'siksaan' ini. pesan nya lagi : jadi tetap lah menggunakan safety belt, dan teriak lah, nikmati setiap mili lintasan nya. Kereta akan berhenti di titik mulai, dan akan mulai di titik berenti. Saya tidak pernah bisa mengerti ungkapan ini sama seperti ungkapan ungkapan ibu lain nya.


Ibu bukan wanita karier, bukan juga orang pintar. Sekolahnya tidak tamat SMA. Kerja nya hanya penjaga tiket di sirkus keliling. Kadang saya tidak bertemu ibu berbulan bulan, karena ibu bersama sirkus nya keliling Sumatra. Yang saya heran, kenapa ibu tidak memilih pekerjaan lain. Musti nya ibu bisa kerja jaga kios voucher telepon, atau jadi tukang foto copy, atau bantu bantu di tempat penitipan anak, misalnya. Ibu bahkan pernah menolak tawaran kerja dari perusahaan outsourcing padahal menurut saya itu satu satu nya kesempatan ibu kerja di kantoran.


"Biar kamu saja yang nanti kerja kantoran, Nin. Selesaikan ujian sma mu, kuliah, jadi sarjana, lalu cari kerja yang kamu suka, jadilah pimpinan. Nikah. Punya suami yang mendampingi kamu. Buat ibu itu sudah cukup. "


"Siapa tahu ibu ketemu jodoh di kantoran, ibu kan cantik, gak tua tua amat, pinter masak, pula' kata saya. Kesal sekali saya, waktu tahu ibu menolak kerja di kantoran.
"Anak bodoh. Kalo ibu kawin, nanti kalau ayahmu tobat gimana ? siapa yang mau terima dia ?'
"setelah 17 tahun meninggalkan ibu dalam keadaan bunting, ibu berharap dia balik... ? " pembicaraan saya akhiri sebelum saya makin kesal dengan kebodohan ibu. 'Aku berangkat dulu, Bu, pe er ku belum selesai, mau lanjutin di sekolah'
***
Di kelas, saya hampir tidak bisa konsentrasi. Guru sejarah ini ganteng nya ekstrim. Badannya atletis, wajahnya tidak di cukur, -brenggosan, kalau istilah ibu, bagi nya brenggosan itu ganteng- , dan mata nya.... yaa ampun.. matanya tajam. oh ya satu lagi, dari semua kelebihan fisiknya, yang paling menggoda adalah otaknya. Seandainya tidak pintar pun, ini orang sudah sempurna, ditambah kepintarannya, lengkap lah sudah. Ini baru yang dinamakan Tuhan tidak adil. Kok ada pria yang sempurna begini, sementara ada pria sontoloyo seperti pria yang kabur setelah menghamili ibu, yang seharusnya menjadi ayah saya. Saya belum pernah melihat ayah memang, tapi hampir dipastikan antara surga dan neraka beda nya dibanding Pak Arjuna, guru sejarah ini. Ibu selalu marah kalau saya bilang "laki laki yang menghamili ibu itu, adalah produk gagal nya Tuhan". Kata ibu, Tuhan tidak pernah gagal, dan jangan sebut 'laki laki yang menghamili ibu' sebut dia 'ayah' . Untuk perintah pertama saya mengalah pada ibu, oke, Tuhan gak pernah gagal, tapi untuk menyebut "ayah" saya mau muntah rasanya. Membicarakan topik ayah hanya akan menimbulkan keributan antara saya dan ibu.
"Nin, kamu tahu kenapa semua candi dan tempat ibadah berbentuk gunung ? candi, mesjid, gereja, vihara ?" tanya pak Arjuna, di suatu siang. Ia sering sekali bergabung dengan kami murid murid di kantin.
"nggak pak. kenapa ?" boro boro saya tahu, beribadah saja saya jarang pak, kata saya dalam hati.
"Jaman dulu, orang orang percaya bahwa Tuhan tinggal di tempat yang paling tinggi, yaitu gunung. nah lalu mereka 'membawa' gunung atau symbol gunung itu sebagai tempat ibadah di kampung atau kota tempat mereka tinggal, dengan harapan, Tuhan juga akan pindah ke rumah ibadah yang berbentuk gunung tersebut. "
saya cuma melongo. Saya tidak tertarik mendiskusikan tentang Tuhan dan tempat Nya berada. Saya hanya tertarik pada kata kata yang keluar dari bibir pak Arjuna. Mau kata kerja, kata sambung, imbuhan, kalau itu keluar dari bibir pak arjuna, bagi saya itu sabda. menghipnotis. Saya memutuskan untuk kecanduan kata katanya.
Berhadapan dengan pak Arjuna saya kerap kehilangan kata kata dan akal sehat. Banyak pertanyaan yang ingin saya lontarkan, tapi berakhir di ujung lidah saya. Mana berani saya bertanya "menurut bapak, kenapa Julius Cesar jatuh cinta pada Cleopatra yang gemuk, pendek dan berkulit sawo matang ?", atau bertanya "Menurut bapak, ken dedes cinta nggak sama ken arok ?" atau berpendapat " menurut saya sih, Rama pria pengecut" . Apalagi bertanya "Bapak punya pacar nggak ?".
Seakan tahu apa yang saya pikirkan, sore itu, pak Arjuna mengajak saya melihat perpustakaan kecil di rumah nya.
"Nin, kamu suka mythology ?" katanya sambil menghidangkan teh hangat -yang menurut saya teh paling enak sedunia-
"suka sekali pak, terutama mythology yunani dan roma "
"Pernah kepikir nggak kamu, kenapa Dewa dewa yunani-roma di ceritakan mirip manusia. mereka punya birahi dan punya ambisi."
"menurut saya, itu karena si pencipta cerita awal-awal nya dulu, mau cur-col pak. Mereka punya masalah dengan birahi dan ambisi nya tapi karena malu, dibungkuslah masalah itu dalam kisah. lalu cerita berkembang dan berkembang, sebagian jadi kepercayaan, sebagian jadi kebudayaan. eh bener gak ya begitu"
" Dengan kata lain, kamu mau bilang bahwa Dewa atau Gods dalam bahasa inggris nya, di ciptakan. bukan menciptakan."
" ya, para dewa di ciptakan sesuai gambar dan citra si pencipta - yaitu manusia"
"kamu cerdas, sayang"
jantung saya berhenti. sayang ? sebentar, saya ingin bertanya apakah ini sayang seperti Philia mencinta atau sayang seperti Eros mencinta.
Sejak sore itu, sore hari saya menjadi berbeda. Saya menantikan sore, di tiap pagi. Setelah selesai mengajar dan belajar , kami menghabiskan sore bersama. Membahas midas, membahas hercules, membahas narcism, membahas zeus, medusa dan beribu kisah dewa lainnya.  Kisah yang biasanya hanya saya baca sebagai sejarah, kini kami hidupkan. Kami mencipta ulang kisah kisah usang. Tiap sore saya berharap waktu tidak berlalu secepat roller coaster -seperti ungkapan ibu-
"Nin, hari ini, mari kita ciptakan kisah kita" kali ini suara pak Arjuna terdengar berat. Napas nya menderu. saya belum pernah melihat nya seperti ini. Sesuatu dalam hati saya berkata, lari nina, lari. Suara lain berkata Nina, ini kairos mu - waktu mu. biarkan waktu mu berhenti.
"Dengan apa kita mencipta kisah, pak ?" saya kaget mendengar suara saya sendiri. Di telinga saya, suara saya tiba tiba dewasa dan feminim.
"Buka kaki mu." lantas saya membiarkan pak Arjuna mengajak saya menjelajahi kosmik, semesta  yang tidak pernah saya kenal sebelum nya.
***
"Bu, saya hamil." saya tidak bilang 'kecelakaan'' seperti anak perempuan lain, kalau melapor pada orang tua nya tentang kehamilannya. kehamilan saya bukan kecelakaan. ini takdir. ini cinta. Ibu menatap saya, ia tidak marah atau menangis.
"Kamu cinta sama Bapak anak ini?"
"ya, Bu. saya sangat mencintai nya. Saya tahu ini salah, tapi saya tidak menyesal."
"Artinya, kamu tidak akan menceritakan pada ibu siapa bapak anak ini, karena pasti nya ia orang hebat dan ternama kalau tidak, mana mungkin dia bikin kamu jatuh cinta."
" ya, Bu" mata mulai saya panas.
"dan kamu, karena cinta mu itu, kamu tidak mau nama laki laki itu tercemar, karena menghamili anak umur 17 tahun, lalu kamu membiarkan laki laki  pergi dengan ambisi nya mengejar karir"
"ya bu." saya mulai terisak
"artinya kamu akan membesarkan anak ini dengan segala konsekuensi nya. termasuk di cerca sebagai mahluk penzinah."
"ya bu " air mata saya mengalir
"artinya, suatu saat kamu akan memilih suatu profesi dengan setia, dengan harapan, suatu saat kamu akan bertemu bapak anak mu, selagi kamu bekerja. dan kamu akan setia bekerja di tempat dimana kalian sering bertemu"
"ya bu "kali ini kalimat saya tercekat air mata
ada diam yang serasa abadi.
" bu...." kata saya berusaha memecah keabadian itu " setelah anak ini lahir, aku mau kerja di perpustakaan sejarah... seumur hidup ku. Sama seperti ibu memilih bekerja di sirkus keliling, hanya untuk menunggu Ayah. Menunggu keajaiban"
Ibu terdiam. Wajah nya terlihat jauh lebih tua.
**starbuck-mcd 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun