Setelah di hadapi kasus nasional vaksin palsu, instansi BPOM seperti bergerak gesit memperbaiki citra kinerjanya dalam melindungi konsumen dari produk palsu atau ilegal. Dengan kepemimpinan baru yang notabene adalah dibawah koordinasi Presiden langsung, citra BPOM mulai melejit dengan banyaknya pemberitaan akan ‘adanya’ instansi ini. Juga bahwa tugasnya adalah bukan hanya memeriksa parsel hari raya akan produk kedaluwarsa saja. Dan pembawa acara berita televisi mulai belajar bahwa penyebutan BPOM adalah be-pom, bukan be-pe-pom.
Media berita menjadi sarana penting untuk instansi pemerintah memperbaiki citranya. Jangankan instansi pemerintah, pada kasus kopi sianida saja bisa terbolak-balik citra seseorang karena sering diberitakan media besar. Sebagai konsumen media, kita jadi tergelitik dengan media blow-up yang terkadang memberitakan suatu fakta tanpa konklusi. Misal, jadi vaksin palsu itu siapa oknum yang bertanggung jawab, kena pasal pelanggaran apa, dan dijerat hukuman apa? BPOM dan Kementerian Kesehatan sepakat akan tugas pengawasan seperti apa?
Tidak lama petugas BPOM (dan media) lembur soal vaksin palsu, muncul lagi kasus BIKINI (bihun kekinian). Pangan ringan produksi industri kecil ini membuat heboh karena kemasannya yang mengandung unsur pornografi. Teguran BPOM ini terjadi setelah produknya berhasil dipasarkan terutama di sosial media. Bagi pelaku usaha, tentu mengerti produk tidak semerta-merta bisa booming di pasaran. Banyak proses yang dilalui. Untuk kasus Bikini ini, saya coba pelajari dari referensi daring, produsen adalah mahasiswi wirausaha yang mendapat tugas proyek. Dalam tugas perkuliahan tentu ada mentor yang menyelia si produsen. Apakah mentor tersebut tidak pernah tahu akan ‘adanya’ instansi BPOM atau Dinas Kesehatan, sehingga tidak tahu apa regulasi produksi dan distribusi pangan? Apakah dunia akademisi wirausaha tidak mengikutkan mata kuliah regulasi bisnis?
Kemasan mengandung unsur pornografi. Sebagai perkerja yang sering melakukan pembinaan terhadap pengusaha kecil jamu, sebenarnya saya tidak asing dengan situasi ini. Banyak produk jamu, terutama yang berjargon obat kuat, mendesain kemasan dengan unsur pornografi. Agak membuat tergelitik bahkan, seakan-akan laki-laki dan perempuan kaukasian itu konsumen jamunya. Dari kemasan saja, banyak sekali produk yang harus digrebek BPOM, belum lagi ketentuan keamanan dan kualitas produk yang belum tentu dipenuhi.
Pengusaha muda BIKINI sekarang pun punya ‘rekan senasib’ digrebek BPOM. Produk makanan bayi BEBILUCK disebut ilegal dan membahayakan masyarakat. Cerita Bebiluck juga tidak semerta-merta muncul dan memiliki pasarnya. Dalam petisi online si produsen memaparkan ceritanya berurusan ijin usaha dengan birokrat instansi pemerintah. Beliau mengaku bahwa produknya sudah diupayakan memiliki ijin yang sesuai. Pertama diakui produk mempunyai nomor P-IRT, namun belakangan nomor P-IRT tidak berlaku untuk produk makanan bayi. Pertanyaannya, kenapa sempat keluar nomor P-IRT untuk produk Bebiluck?
Pengakuan ybs tentu dapatlah ditelusur ulang. Pengakuan bahwa produk sudah diuji keamanan pangan di lab kenamaan ; pengakuan sudah mencoba mendaftarkan usahanya di BPOM ; pastilah ada dokumentasi, kronologis dan kondisi terakhir usaha sebelum penggerebekan.
BPOM mungkin telah mendapat laporan adanya produsen ilegal ini, atau mungkin secara gerak aktif sudah menyelidiki produsen yang berpotensi merugikan kesehatan masyarakat luas. Apapun, BPOM telah menunjukkan kinerjanya yang gerak cepat menghentikan produsen Bebiluck. Dan … telah berhasil menggandeng media mayor untuk memberitakan kinerjanya tersebut. Sebagai instansi yang bertugas melindungi masyarakat akan produk sehari-hari yang ilegal, BPOM telah menunjukkan prestasinya mengubah citra dalam beberapa bulan saja.
Produsen mengeluhkan besarnya biaya dan waktu yang harus dikeluarkan untuk menjadi usaha yang legal di Indonesia ini. Saya rasa ini bukanlah cerita baru-baru ini. Hitung-hitungan ilmu wirausaha dengan birokrasi di Indonesia pasti hasilnya adalah, MODAL BESAR. Modal yang tidak diperuntukkan untuk biaya produksi, tapi bahkan pra pendirian usaha, dan pra produksi. Lalu sampai kapan bisa masuk cash-flow dan BEP? Lalu haruskah wirausaha yang mau terjun membuka usaha di bidang makanan atau produk konsumsi lokal mengurungkan niatnya. Beralih membuka toko kelontong mungkin lebih mudah, atau menjadi distributor produk impor.
Kembali analogi dengan pengusaha kecil jamu. Repotnya situasi mereka adalah rumitnya legalitas usaha dibanding omset usaha. Pengusaha jamu banyak yang memiliki usaha turun temurun, yang adalah produk resep keluarga. Repot sekali bagi mereka untuk memenuhi ketentuan dan standar BPOM akan jamu yang diarahkan sama dengan standar obat. Misalnya bahan baku, pengusaha besar saja masih keblinger dengan standarisasi bahan baku jamu, boro-boro pengusaha kecil mau peduli soal itu. Pasti kembali kepada testimoni konsumen, jamu saya baik-baik saja selama ini, tidak ada yang keracunan, akhirnya aturan BPOM diabaikan.Â
Harus dipahami bahwa usaha kecil itulah mata pencaharian mereka, pemerintah tidak seharusnya semerta-merta menghentikan dengan tuduhan ini-itu, yang mungkin belum dipahami (self-thought: Produsen belum memahami aturan atau pembuat kebijakan yang belum memahami yang diaturnya?) Pejabat BPOM sendiri pasti juga was-was jika mata pencahariannya terganggu, mutasi ke tempat ‘kering’ saja bisa bikin stress toh!
Lain halnya dengan pengusaha yang memang nakal. Diantara pengusaha-pengusaha yang berjuang membangun usaha di negeri sendiri, banyak juga pengusaha nakal yang memang dasarnya ogah mengikuti aturan. Seluruh masyarakat pasti setuju jika BPOM gigih memberangus keberadaan mereka. Jangan sampai sia-sia anggaran negara untuk pembinaan usaha bidang obat dan makanan, jika yang dibina mereka-mereka itu, yang sudah tau tapi bodo amat dengan perbaikan usahanya.