Anakku mau aku melihat betapa cepat ia berlari,
berapa senti ia bisa melompat tinggi,
"Ibu lihat kan tadi?"
"Sebentar, ya, Nak," kataku.
"Sebentar lagi Ibu ke kamu."
Anakku mau aku mendengarnya menyenandungkan lagu.
"Sebentar, Nak," tegasku.
"Sebentar Ibu ke situ."
Anakku mau aku bermain dengannya terus,
sebelum darinya aku berlalu.
Ada yang mesti aku urus;
hanya sekian waktuku.
"Sebentar lagi, Nak," itu yang dia dengar keluar dari mulutku.
Anakku mau aku melihat gambar goresan tangannya.
Aku bilang aku akan ke sana,
tapi ada yang harus kutata.
Sebab dunianya dunia warna-warni,
dunia yang panggung seni,
banyak undangan darinya, supaya hatinya aku kunjungi.
Sayang sekali.
Yang di sana belum kutangani.
Selalu ada yang perlu kurapikan.
Kerjaku masih belum tuntas.
Akan selalu ada lagi.
Yang itu dan yang ini.
Masih berdebu, belum juga kubersihkan.
Kerjaku tak kunjung tuntas.
Lalu ... larinya, lompatnya,
atau serunya,
"Bu, lihat ini!" ...
akankah hanya menjadi memori
akan apa yang olehku terlewati?
Begitu sibuk aku mencentangi
belasan baris di daftar tugas hari ini.
Yuk, Nak, kita duduk dulu.
Yuk, kita istirahat dulu.
Ajak Ibu masuk ke dunia kamu.
Biar Ibu tinggalkan dunia Ibu.
Jauh tinggi,
anakku mengangkasa.
Kepak lengannya bak rajawali.
Darinya aku belajar: kami butuh yang sama.