Ada banyak contoh lain: ibu yang tidak henti-henti memberi makan anak yang sudah kelebihan berat badan; ayah yang membelikan anak laki-lakinya mainan sampai kamar sang anak penuh-sesak dengan mainan, dan membelikan anak perempuannya pakaian sampai selemari penuh; orang tua yang tidak menetapkan aturan untuk anak-anaknya dan membiarkan mereka melakukan apa saja yang mereka kehendaki.
Cara sang pendeta mencintai keluarga keliru, dan tidak jauh berbeda dengan masokisme, yaitu cara mencintai yang juga menyimpang namun kadar penyimpangannya lebih berat. Orang awam biasanya mengaitkan sadisme dan masokisme semata-mata sebagai kegiatan seksual. Mereka menganggapnya sebagai kenikmatan seksual yang didapat jika seseorang menyakiti atau disakiti secara fisik.
Sadomasokisme yang murni seksual sebetulnya salah satu bentuk gangguan jiwa yang relatif jarang kita temui. Yang jauh lebih umum, dan tentunya lebih parah, adalah sadomasokisme sosial. Mereka yang menderita kelainan ini tanpa sadar ingin saling menyakiti atau disakiti lewat hubungan antarpribadi yang sifatnya non-seksual.
Kita ambil contoh seorang wanita yang butuh bantuan psikiater akibat depresi ditinggal pergi suaminya. la terus-menerus bercerita kepada psikiater bahwa suaminya selalu menganiaya dia: suaminya tidak pernah memberi perhatian, sering berselingkuh, berjudi menggunakan uang belanja, pergi berhari-hari semaunya, pulang ke rumah dalam keadaan mabuk lalu memukuli sang isteri, dan akhirnya sang suami meninggalkan dia dan anak-anak tepat pada Malam Natal -- bayangkan... Malam Natal! Psikiater yang belum berpengalaman biasanya akan langsung menaruh simpati pada "wanita malang" dengan kisah sedihnya itu. Tapi rasa simpati akan segera hilang begitu sang terapis tahu lebih banyak tentang si wanita.
Sang terapis tahu penganiayaan terhadap sang pasien sudah berlangsung dua puluh tahun. Memang si wanita malang dua kali bercerai dari suaminya yang jahat tapi dia juga dua kali menikah lagi dengan sang suami, dan sudah tidak terhitung berapa kali mereka berpisah untuk kemudian kembali bersatu.
Selama satu atau dua bulan si wanita ikut terapi agar bisa hidup mandiri. Sepertinya semua berjalan baik, dan terlihat bahwa sang wanita bisa hidup tanpa suami, tapi kemudian sang terapis melihat roda kembali berputar.
Suatu hari datang dia datang ke tempat terapi dengan wajah riang untuk menyampaikan berita bahwa, "Henry ingin balik lagi. Dia menelepon malam-malam kemarin lusa, minta bertemu, dan saya temui dia. Dia minta kembali, dan sepertinya dia sudah berubah jadi saya terima dia."
Ketika sang terapis menjelaskan bahwa ini sudah terjadi berulang kali dan mereka sepakat bahwa kondisi yang demikian sifatnya merusak, sang wanita bilang, "Tapi, saya sayang dia. Cinta tidak boleh kita mungkiri." Jika sang terapis berusaha menelaah "cinta" ini dengan serius, pasien tersebut akan berhenti ikut terapi.
Ada apa sebenarnya? Sang terapis ingin tahu mengapa bisa demikian. Ia lalu ingat bahwa si wanita dengan penuh suka-cita bercerita tentang suaminya yang brutal dan suka menganiaya. Tiba-tiba sang terapis tersadar bahwa ada sesuatu yang janggal: mungkin wanita ini bersedia dianiaya sang suami, bahkan berusaha agar dianiaya karena dengan demikian dia bisa bercerita tentang penganiayaan tadi. Tapi kesenangan macam apa itu?
Sang terapis ingat sifat sang wanita yang selalu ingin benar sendiri. Apakah mungkin yang paling penting bagi sang wanita adalah keinginannya untuk selalu merasa lebih hebat dalam soal akhlak, dan untuk selalu merasa begitu, dia perlu dianiaya?