Sahabat saya lahir di kaki pegunungan Kendeng. Orang tuanya seorang petani miskin. Sekolahnya hanya tamat SMP. Selepas itu ia merantau. Hampir-hampir boleh dikatakan menggelandang, di ibukota yang sarat dengan ketidakpastian. Bekerja apa saja, dari buruh, kuli, ngamen, sales, hingga reparator jam tangan. Umur 31 ia menikah. Lalu beranak. Setelah pindah ke Yogya bertemu saya. Cocok, karena sama-sama suka begadang.
Ia gemar bercerita perihal teman-temannya yang telah sukses. Semacam komparasi yang mempertanyakan, mengapa ia tidak sukses sebagaimana mereka?
Ah. Manusia memang berbeda satu dan lainnya. Tak ada yang sanggup menentukan kelahirannya. Tak ada yang mengerti siapa kelak jodohnya. Tak ada yang bisa menduga perihal rizkinya. Serta, tak ada yang mampu menolak kematiannya.
Segala hal yang telah terjadi adalah ketentuan yang maha kuasa. Ia bersifat niscaya. Sementara segala sesuatu yang belum terjadi menjadi misteri. Artinya, di situlah ribuan celah kemungkinan bisa terjadi. Manusia memiliki peluang yang sama rata dalam memperjuangkan dan memaknai masing-masing hidupnya. Jika teman begadangku itu belum sukses, siapakah yang tahu nasibnya ke depan?
Sebuah syair yang masyhur berkata, kesadaran adalah matahari. Sepakat. Karena kesadaran memiliki nilai fungsi yang introspektif dan dialektif. Dalam makna, satu kerendahatian dalam mengevaluasi diri secara terbuka baik dan buruknya. Masa lalu, yang terbentang dalam garis kelahiran hingga kekinian merupakan buku tebal pembelajaran yang unik otentik. Artinya, jika toh masa lalu itu penuh dengan gelombang, tidak lantas bermakna kutukan yang titik. Ia masih koma. Dan manusia syah menggelontorkan rencana-rencana segarnya.
Suatu malam, sahabat yang saya ceritakan di atas menampakkan batang hidungnya. Senyumnya lebih cemerlang dari hari-hari biasa. Ia menyodoriku sekantong plastik singkong goreng dengan bangganya. “Ayo bong, yang nggoreng istriku! Terus ini rokok kesukaanmu!”
Wah. Aku jadi tersipu. Belajar banyak jadinya dari sahabatku yang dermawan itu. Ia tak lagi diributkan dengan kondisinya yang begini dan begitu. Wajahnya diliputi cahaya kesadaran, bahwa segala sesuatu telah diatur serapi-rapinya oleh yang mahakuasa. Manusia sabar saja meniti jalan panjang misterinya. Enak dan tidak enak menjadi sangat relatif. Teringat sebuah firman:
”(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri” Q.S. Al Hadid ayat 23
Matur nuwun sobat!
------------------------------
Yogya, 5 September 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H