Mudik itu asyik. Banyak cerita unik di dalamnya. Mudik itu indah. Banyak kisah mengiringinya. Mudik itu seru. Banyak deru di sekitarnya. Mudik itu melelahkan, tapi ikhlas karena lillah mejalaninya.
Bicara mudik seakan tiada habis untuk diulas. Entah sejak kapan mengenal kata mudik. Yang pasti ada Lebaran, ada mudik. Baik menjalaninya maupun cuma jadi penonton. Lho, kok penonton? Emang mudik sebuah pertandingan? Apa mudik sebuah perlombaan? Menonton mudik itu bagi yang tidak mengikuti aktivitas di dalamnya. Seperti beberapa ucapan saudara atau teman, atau siapa saja yang kebetulan memang sejak lahir hingga dewasa dan berkeluarga tetap di satu kota.Â
Alias tidak merantau dan kebetulan pula ditakdirkan mendapat pasangan hidup di dalam satu kota pula. Atau bisa juga yang masih single alias jomblo (maaf ya, jangan sensi) karena masih menimba ilmu baik di bangku sekolah/kuliah dan tidak jauh dari rumah.Â
Tentunya masih serumah dengan orantuanya. Mereka dapat dipastikan tidak pernah terlibat dalam arus mudik. Ya, tentunya hanya  melihat lewat saluran televisi, alias jadi penonton.
Tapi itu, bukan hal yang terlalu urgen untuk dibahas. Kita bahas yang mudik saja. Ya,siapa tahu bermanfaat, iya kan...? memakai jargon #Inces Syahrini juga boleh lah. Heee...Â
Kata orang Sunda mudik itu balik ka lembur/lemah cai sewang-sewangan (kembali ke kampung halaman masing-masing). Pulang kampung untuk bertemu orangtua, dan sanak saudara. Rasa kengen, bahagia, sedih, dan haru adalah bumbu-bumbu yang dirasakan setiap kali mudik.Â
Saking banyaknya orang yang mudik berbarengan ketika mau Lebaran, ya akhirnya berjejalanlah semua semua di mana-mana. Di ruas jalan mana pun yang dilewati pemudik pasti berjejer kendaraan.Â
Jalur darat kendaraan pribadi dan umum mengular, di lautan kapal berjubel isinya dengan penumpang dan jalur udara tiket sudah habis di booking. Semua dilalui pemudik. Yang di Utara ke Selatan, yang di Timur ke Barat. Begitu pula arah sebaliknya. Semua berjejal.
Saat Lebaran mendekat, ada yang mendesak dalam dada. Hati berguruh bagai gelombang pasang terus didorong rasa rindu yang membuncah. Pikiran sudah melayang di kampung halaman. Apalagi saat orangtua masih ada. Gelombang rindu sulit terbantahkan. Tiada puisi paling indah selain memandang orang-orang terkasih. Tiada sajak paling sejuk selain memeluk dan mendekap Ayah dan Ibu.
Itulah alasan terkuat dan terhebat saat mudik. Semua rela berdesakkan. Semua rela berjejal untuk antri membeli tiket meski harga meroket. Tak peduli berdiri di dalam moda kendaraan apa pun. Tak peduli menghirup segala jenis bau-bauan dalam kendaraan. Tak peduli bermacet-ria dan berjam-jam meski di ruas jalan tol. Demi apa? Semua demi mudik!