Beberapa hari lalu terjadi peristiwa besar bagi dunia olahraga Indonesia, Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima) dibubarkan. Buat sebagian besar masyarakat, pembubaran Satlak Prima ini mungkin bukan merupakan peristiwa penting dan berdampak besar, namun bagi dunia olahraga, peristiwa ini akan merubah banyak hal, terutama dalam pembentukan atlet unggulan yang akan bertanding membawa nama Indonesia pada kompetisi internasional.
Penyiapan atlet unggulan secara sistematis dimulai sejak 2009 dengan berjalannya PAL (Program Atlet Andalan), tidak berlangsung lama, pada tahun 2010 pemerintah membuat program yang lebih komprehensif bernama PRIMA (Program Indonesia Emas). Prima adalah Program Pemerintah untuk menciptakan Atlet Andalan Nasional yang mampu berprestasi di tingkat internasional. Mengapa diperlukan suatu program khusus seperti PRIMA, karena pada saat itu dianggap PB atau PP cabang olahraga tidak mempunyai sumberdaya yang cukup untuk menciptakan atlet unggulan yang berdayasaing tingkat internasional. Pemerintah berharap, melalui Prima, sumber daya tersebut dapat diberikan. Dari mulai SDM, sarana prasarana, dukungan iptek serta keuangan.
Di awal berdirinya, PRIMA menunjukkan hasil yang bagus, karena berhasil mengimplementasikan iptek dalam olahraga Indonesia. Namun dalam jangka panjang jelas PRIMA tidak akan memberikan manfaat yang besar. Seperti terlihat pada perkembangannya, tahun demi tahun prestasi atlet Indonesia cenderung menurun dibandingkan dengan negara tetangga atau dunia internasional.
Di mana kelemahan PRIMA?
Melalui sports science, kita semua tahu, bahwa menyiapkan atlet berprestasi itu bukanlah program instan. Atlet mesti disiapkan sejak dini. Persiapan dini tersebut tentunya dengan melibatkan ilmu pengetahuan dan teknologi olahraga. Inilah yang tidak ada di Prima. Target Prima adalah atlet yang sudah jadi. Prima menyeleksi atlet yg sudah berprestasi. Tidak ada program yang menyentuh persiapan dini. Jika pada masa awal tersebut atlet tidak tumbuh dan berkembang maksimal, maka potensi fisiknya tidak akan keluar secara maksimal.
Itu menjelaskan mengapa di awal Prima terlihat berhasil, namun kemudian menjadi stagnan. Kesalahan yang timbul di awal atlet berlatih tidak akan dapat diperbaiki pada fase berikutnya.
"Damage done between ages 6-10 and 10-16 cannot be fully corrected (players/athletes will never reach their genetic potential) and national training or sport centers receiving mediocre athletes, regardless of funding and expertise, cannot recover from the 'damages' of earlier training." (Balyi, 2005)
Masalah utama olahraga Indonesia ada di sistem persiapan jangka panjang, bukan dipendanaan semata. Bagaimana kita menyiapkan anak-anak dengan baik dan benar, dengan melibatkan iptek olahraga. Sayangnya hampir semua cabang olahraga bekerja dengan sistem instant, training centre dan sebagainya. Tidak ada yang mengembangkan secara continue, jangka panjang tidak terputus-putus menyesuaikan dengan event (kejuaraan).
Risiko pembubaran Prima.
Dengan dekatnya waktu "hajatan" besar Asian Games (hanya sekitar 10 bulan), sebenarnya pemerintah telah melakukan tindakan yang sangat berani dengan membubarkan Prima, tapi upaya ini patut mendapat acungan jempol, dengan kegagalan demi kegagalan (dari 2 Sea Games) tindakan radikal harus dilakukan. Namun setelah pembubaran bagaimana?