Sejarah pariwisata di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kuatnya peran pemerintah di dalamnya. Ambil contoh Bali sebagai daerah destinasi pariwisata utama di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran pemerintah (Orde Baru) yang merancang Bali sebagai tujuan utama pariwisata di Indonesia dalam bingkai program pembangunan nasional. Secara konseptual, model kebijakan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan merupakan dasar pembangunan di Indonesia pada waktu itu. Hal ini secara signifikan telah memberikan dampak pada model pembangunan pariwisata, khususnya model pembangunan pariwisata di Bali. Pertumbuhan fasilitas pengunjung berupa hotel menjadi marak dan muncul kantong-kantong pariwisata baru dengan pola yang sangat masif dan eksklusif.
Dalam banyak kajian telah dipahami bahwa terdapat banyak sekali kritik yang tajam kepada model pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan, khususnya dalam konteks pembangunan nasional Indonesia di era Orde Baru. Hal itu juga berarti bahwa terdapat dampak yang signifikan terhadap pola pembangunan pariwisata yang berorientasi pada pertumbuhan, khususnya di Bali. Isu-isu ketidakadilan, isu gender, perusakan alam, kemiskinan kota, perubahan lahan, dampak lingkungan, kesenjangan wilayah, ini adalah sedikit dari banyak isu-isu yang kritis dalam pelaksanaan program pembangunan pariwisata berbasis pertumbuhan. Dalam bahasa Wearing and Schweinsberg menyatakan bahwa pariwisata telah berubah bentuk menjadi bagian dari kapitalisme global(Wearing & Schweinsberg, 2019; Fletcher, 2011)
Menyadari krisis yang terjadi akibat penerapan model pembangunan yang berorietasi pertumbuhan maka sejak era reformasi wajah pembangunan di Indonesia secara umum lebih terkesan mengikuti pola-pola pembangunan global yang berorientasi pada keberlanjutan pembangunan (sustainable development) (Hoessein et al., 2020). Boleh dikatakan hal ini adalah sebuah paradigma baru yang berfokus pada alam/lingkungan yang telah mengalami krisis dalam dekade-dekade sebelumnya. Begitu juga perubahan model pembangunan pariwisata berubah wajahnya kepada model yang mengedepankan nilai-nilai kultural, berbasis masyarakat (peningkatan ekonomi masyarakat), dan berbasis lingkungan. Konsep ini yang kemudian dikenal dengan model pengembangan pariwisata berbasis lingkungan (ekowisata). Pariwisata kemudian mengalami perubahan-perubahan pendekatan yang tadinya berorientasi massal (mass tourism) kemudian berubah menjadi pariwisata yang lebih mengedepankan nilai-nilai kultural, lingkungan, sosial, dll. Kebijakan-kebijakan pemerintah pada akhirnya juga terarah pada hal tersebut. Atau sebaliknya kebijakan-kebijakan pemerintah “memaksa” setiap elemen-elemen pariwisata untuk masuk dalam kebijakan global yang mengedepankan ecotourism.
Kebutuhan akan kehadiran wisatawan yang banyak sering kali dilihat sebagai parameter keberhasilan pariwisata. Pemahaman ini yang dikenal dengan kebijakan mass tourism. Seperti sudah di sampaikan di atas bahwa konsep mass tourism ini telah menghasilkan banyak persoalan dalam kenyataannya. Beberapa realitas yang terjadi di Bali dalam kaitannya dengan pariwisata, seperti krisis lingkungan – flora dan fauna, perubahan pola-pola tata ruang, dan lunturnya nilai-nilai kearifan lokal, terjadinya pola-pola urbanisasi di daerah pedesaan, kapitalisasi atraksi-atraksi pariwisata, dan beberapa isu lingkungan lainnya adalah dampak-dampaka yang dihasilkan oleh konsep pariwisata berbasis mass tourism. Dalam konteks Bali sebagai sebuah destinasi pariwisata utama di Indonesia yang sedang menggelorakan model ekowisata, benteng pertahanan Bali sebagai daerah wisata berbasis budaya semakin hari semakin rapuh diterjang kuatnya kapitalisme dalam bingkai model kebijakan pembangunan yang berorientasi pada neoliberalisme yang menerapkan serangkaian prinsip yang saling terkait: 1) privatisasi; 2) marketisasi; 3) deregulasi dan reregulasi (baik melalui atau melalui aktor negara); 4) komodifikasi; 5) penggunaan 'proksi pasar' dalam proses-proses pemerintahan; dan 6) dorongan terhadap 'mekanisme sayap' masyarakat sipil (Fletcher, 2023).
Catatan di atas memberikan gambaran bahwa pariwisata dalam hal ini ekowisata juga tidak terbebas dari pengaruh neoliberalisme. Menghubungkan pernyataan ini dalam konteks pariwisata di Bali tidaklah terlalu sulit. Dalam konteks Indonesia, khususnya pariwisata di Bali, hal ini dapat ditelusuri melalui sejarah pengembangan Bali sebagai destinasi wisata di awal pemerintahan Orde Baru. Picard and Vickers (Picard, 2006; Vickers, 2012) menguraikan dinamika proses neoliberalisme disain kepariwisataan Bali sebagai cara untuk mengembangkan ekonomi pembangunan Indonesia. Hal ini terkait dengan konteks global di mana pertumbuhan negara-negara Selatan di era-era tahun 1960-1990-an tidak terlepas dari program penyesuaian struktural, liberalisasi perdagangan dan penggunaan bantuan dan pinjaman untuk mendukung reorientasi perekonomian menuju prinsip-prinsip berbasis pasar. Hal ini terkait dengan penataan ulang pendekatan yang berpusat pada negara terhadap pembangunan, yang juga sering diungkapkan melalui gagasan kemitraan dan pembangunan partisipatif (Duffy, 2009). Sejalan dengan kondisi tersebut, pariwisata di Bali kemudian menjadi ladang investasi global pengembangan pariwisata dan hal ini berpengaruh pada kebijakan-kebijakan publik pada pemerintahan daerah yang mau tidak mau berhadapan dengan kekuatan global tersebut.
Catatan ini hanya sebuah warning untuk memahami kembali bahwa ekowisata sebagai sebuah antitesis dari model pariwisata konvensional juga masih berusaha untuk membebaskan dirinya dari arus kapitalisme neoliberalisme yang begitu kuat, sehingga kondisi lingkungan alam sebagai basis utama dalam prinsip membangun ekowisata sampai saat ini juga masih tergerus dan mengalami kehancuran secara perlahan tanpa di sadari. Atau hal ini sendiri yang sedang dinikmati oleh pelaku-pelaku bisnis pariwisata berbasis ekowisata, menjual krisis lingkungan sebagai model baru dalam berwisata. Krisis adalah lingkungan dianggap sebagai destinasi wisata baru untuk mendulang keuntungan darikue ekowisata. Yang ditampilkan bukanlah bagaimana usaha-usaha untuk mengatasi krisis dan kerusakan yang ada tetapi hal itu bisa menjadi pasar baru dalam jualan paket-paket pariwisata. Lagi-lagi masyarakat sebagai subyek utama pariwisata hanya menjadi penonton bahkan tetap menjadi korban dalam pembangunan pariwisata yang (katanya) berbasis lingkungan/ekowisata. Jika demikian, ekowisata sebenarnya sedang berjuang di tengah arus kapitalisme yang semakin deras, entahkah ia sedang melawan arus atau mengikuti arus deras yang tiada hentinya itu. Itu pilihan yang tidak mudah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI