Mohon tunggu...
Muhammad Ruslailang Noertika
Muhammad Ruslailang Noertika Mohon Tunggu... Akuntan - daengrusle

membaca sejarah, membaca diri sendiri. Kuli ketik, menetap di Abu Dhabi, UAE.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

#indonesiajujur: Lelucon Kejujuran di Halaman Rumah Kita

12 Juni 2011   08:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:35 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ada banyak orang memaknai hidup begitu dangkalnya, mengibaratkan seperti makan dan minum. Apa yang dimakan, diminum, biarlah perut yang akan mencerna nya sesuka hati, toh akan keluar juga sebagai kotoran. Hidup seperti itu adalah hidup yang tak layak dijalani, karena tak direnungi. Bukankah dalam proses pencernaan, ada sebagian gizi makanan yang terserap menjadi otot, darah, dan tulang yang sangat dibutuhkan badan kita. Hidup bukan persoalan menghabiskan waktu dengan makan-minum, bernapas, atau beraktifitas selama 50 atau 60 tahun. Bukan soal seberapa lama kita hidup dari sejak lahir hingga wafat. Bukan itu, bahkan sama sekali bukan. Yang terpenting justru bagaimana nilai hidup yang kita bawa selama menjalani ‘masa pinjam’ umur itu. Hidup 50-60 tahun itu teramat singkat, tanyakan kepada orang-orang tua kini, betapa cepatnya waktu berlalu dari kanak-kanak hingga menua. Kita adalah negara dengan label bangsa yang teramat religius. Undang-undang negara ini meng-haram-kan penduduknya untuk tidak beragama. Sekali anda tak punya agama, maka anda dianggap melanggar hukum! Apa dasar diturunkannya agama oleh Tuhan? Bukan ritual ibadah secara rutin yang dijalani, tapi akhlak. Tuhan mengutus nabi nya untuk menyempurnakan akhlak di tengah masyarakat yang cacat moral, cacat etika. Akhlak yang baik, dianggap sebagai solusi praktis sekaligus strategis untuk mencapai tujuan hidup di dunia: kebahagiaan. Lain tidak. Bukan kekayaan, bukan gelar akademik, bukan semua hal materiil itu. Tapi Akhlak! Apa implementasi praktis akhlak dalam masyarakat? Sangat singkat: Kejujuran. Sejak mula kita diasup dalam ratusan buku ajar bahwa: Kejujuran adalah mata uang yang berlaku di mana saja. Bukan emas, bukan rupiah atau dollar. Di mana sistem kemasyarakatan dibangun, maka kita akan mendapati bahwa pondasi awalnya adalah kepercayaan. Kepercayaan tentu lahir dari rahim kejujuran, bahwa kita saling percaya karena kita mengharap ada kejujuran yang menyelimutinya.

Tapi sejak mula juga kita dihadapkan pada kenyataan yang mencemaskan, bahwa kejujuran itu menjadi lelucon di halaman rumah kita  meski saban hari dikhotbahkan para pemuka agama hingga mulut berbusa-busa.

Baru-baru ini ada kejadian yang menjadi contoh nyata betapa pilu kita memperlakukan kejujuran. Seorang anak cerdas di Surabaya bernama AL, anak kandung seorang ibu Ny Siami yang hidupnya sederhana tapi mengajarkan betapa pentingnya kejujuran diberlakukan dalam setiap hal, apatah lagi di sekolah, tempat AL menggali ilmu. Si Anak cerdas nan jujur, AL itu melaporkan ke ibunya betapa praktek kecurangan berupa nyontek massal dalam ujian terjadi di sekolahnya, SDN Gadel 2 Tandes, Surabaya. Ny Siami mengadukan pelanggaran akhlak ini ke pihak sekolah namun tak ada tanggapan. Akhirnya singkat cerita kejadian memalukan ini terendus media dan tersebar ke khalayak. Malang buat Ny Siami, bukannya jadi pahlawan malah menjadi pesakitan di hadapan warga lingkungannya. Sebagaimana whistle blower di Indonesia yang tidak dihargai, demikian pula Ny Siami yang dituntut untuk meminta maaf atas ‘kejujurannya’. Alamak, dunia macam apa yang dibentuk oleh masyarakat kita? Dimana kehormatan akan harga diri sebagai bangsa yang beradab dan beragama? Bukannya berterimakasih kepada Al dan ibundanya yang jujur Ny Siami , malah mereka menjadikannya pecundang di rumah mereka sendiri. Sudah begitu jamak kecurangan dan kebohongan dilakukan oleh kita, dan kemudian menjadi semacam hal yang lumrah. Dan inilah borok yang seakan bukan luka yang harus diobati, kejujuran menjadi semacam keanehan di masyarakat kita. Berita lengkap bisa dilihat di laman-laman berikut : > Ny. Siami, Si Jujur yang Malah Ajur | http://bit.ly/l3Is4t > Orang Tua AL Minta Maaf, Diteriaki Wali Murid “Tak Punya Hati Nurani” | http://bit.ly/iJvGCj > Diusir, Ny. Siami Akhirnya Kosongkan Rumah | http://bit.ly/jvQX2O

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun