Pendidikan bahasa inggris di Indonesia tidak mampu menjawab standard berbahasa inggris dunia kerja global. Hal ini bisa dilihat dari kepercayaan masyarakat yang lebih terhadap kursus bahasa inggris diluar sekolah ketimbang pendidikan formal disekolah itu sendiri. Jika pendidikan bahasa inggris di sekolah kita mampu menghasilkan lulusan yang memiliki standard yang bisa mengimbangi globalisasi( secara minimal bisa berkomunikasi secara aktif maupun pasif) sudah tentu tidak akan pernah ada lembaga kursus bahasa inggris diluar sekolah.
Lalu mengapakah hal ini terjadi?apakah yang salah dengan kurikulum pendidikan bahasa inggris?
Sebelum membahas soal kesalahan mendasar dari sistem pendidikan bahasa inggris di indonesia, saya hendak menceritakan satu hal yang menarik perhatian saya. Terdapat sebuah perbandingan yang saya dapat dari seorang teman saya yang kebetulan mantan misionaris mormon dalam mempelajari bahasa negara tujuan. Sebelum pergi melakukan penginjilan di negara tujuan,para misionaris ini hanya memiliki waktu belajar selama 3-4 bulan. Mereka belajar (atau tepatnya berlatih) selama 10 jam sehari. Setelah mendapat pelatihan itu mereka langsung dikirim ke negara tujuan mereka. Dan mereka langsung bisa berkomunikasi dengan penduduk negara tujuan. Luar biasa bukan? Jika kita membuat perbandingan proses belajar mereka yang relatif singkat namun rapid (3-4bulan selama 10 jam sehari) dengan proses pembelajaran bahasa inggris di indonesia ,dimana kita belajar 3/6 tahun di SD, 3 tahun di SMP dan 3 tahun di SMA selama 4 jam pelajaran per minggu) kita bisa menyimpulkan bahwa metode misionaris mormon ini jauh lebih sukses.
Lalu apakah hubungan kesalahan pendidikan bahasa inggris dengan perbandingan diatas. Hubungan kedua hal ini terletak kepada dua hal mendasar:
1. Waktu yang ditempuh siswa.
2. perbedaan  substansial dari materi yang diberikan kepada siswa.
1. Waktu yang ditempuh siswa
Dari segi waktu,jelas bahwa frekuensi berlatih seseorang yang  dari seseorang menentukan kelancaran seseorang dalam berbahasa inggris. Namun rasanya penerapan frekuensi pelatihan bahasa inggris yang tinggi seperti para misionaris mormon sangat sulit dilakukan karena dapat mengganggu keberlangsungan mata pelajaran yang lain. Lalu masih adakah cara mengatasi hal ini? Kita akan membahasnya dalam bagian solusi.
2. perbedaan  substansial dari materi yang diberikan kepada siswa.
Materi yang diberikan kepada siswa secara berkesinambungan selama bertahun-tahun menentukan kualitas output dari siswa itu sendiri. Seperti pepatah mengatakan pikiran yang diulang ulang akan menjadi kebiasaan dan kebiasaan yang diulang ulang akan menjadi karakter. Materi yang diberikan di pelatihan misionaris mormon berfokus kepada kemampuan KOMUNIKATIF (yang jika diurai lagi berisi dua hal mendasar yaitu kemampuan bertanya dan menjawab) siswanya. Maka bisa kita lihat dari karakter output pendidikan bahasa mereka.Mereka sangat lancar berbahasa indonesia. Lalu bagaimana dengan materi bahasa inggris yang diajarkan di sekolah Indonesia? Materi yang diajarkan di Indonesia membentuk murid hanya untuk LULUS TES,entah itu yang bersifat ulangan,mid semester,semester,kenaikan kelas maupun ujian kelulusan. Lalu secara substantial segala tes bahasa inggris itu secara mayoritas hanya mengakomodir aspek writing (menjawab soal) dan reading(membaca soal). Aspek listening ada hanya sebagai variasi kecil-kecilan(dengan mengaudiokan soal)  soal tertulis. Dan bisa kita lihat hanya mereka lah yang aktif dan rajin berlatih  secara pribadi yang dapat menjawab  soal listening dengan bagus. Lalu apalagi dengan Speaking, Aspek terpenting yang terdapat dalam sebuah bahasa. Mengapa speaking  adalah hal terpenting dalam BAHASA? Karena bahasa pada level paling mendasar adalah KOMUNIKASI LISAN. Bahkan secara psikolinguistikpun, anak kecil selalu belajar bahasa dengan cara BERBICARA dan MENDENGAR. Saya berani menjamin tidak ada orang tua manapun didunia yang menstimulasi/ mengajari anaknya bahasa ibu dengan MENULIS dan MEMBACA. Dari hal diatas bisa kita simpulkan bahwa pendidikan bahasa inggris kita gagal membentuk lulusan yang bisa berbahasa inggris secara aktif dan pasif karena secara fundamental PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS DI INDONESIA MENYANGKAL HAKIKAT MENDASAR DARI BAHASA INGGRIS ITU SENDIRI.
Lalu hal apa yang bisa pemerintah lakukan?  Hal yang mendasar yang bisa pemerintah lakukan adalah dengan memfokuskan pembelajaran bahasa inggris kepada kemampuan SPEAKING dan LISTENING. Karena sudah merupakan logika matematika umum dalam pembelajaran bahasa inggris bahwa MEREKA YANG BISA BERBICARA DENGAN GRAMMAR YANG TEPAT PASTI BISA MENULIS DENGAN GRAMMAR YANG TEPAT NAMUN SEBALIKNYA,MEREKA YANG BISA MENULIS DENGAN GRAMMAR YANG TEPAT BELUM TENTU BISA BERBICARA DENGAN GRAMMAR YANG TEPAT. ubah setiap ulangan ,tes,maupun ujian dengan tes lisan karena dengan membuat kemampuan berbicara sebagai tolak ukur kita bisa melihat konsistensi setiap murid dalam berlatih setiap hari. Dengan demikian nilai setiap tes maupun ujian yang baik tersebut dapat dipertanggung jawabkan melalui skill KOMUNIKASI dari siswa dan bukan  hanya skor yang tinggi diatas kertas. Dan siswapun akan termotivasi untuk berlatih setiap hari karna kemampuan SPEAKING merekalah yang akan menentukan kelulusan/kenaikan kelas. Disisi lain dengan memfokuskan pembelajaran kepada aspek speaking dan listening di sekolah kita tidak harus memiliki durasi 10 jam setiap harinya untuk berlatih bahasa inggris karena kita melamakan durasi tingkat pencapaian yang biasanya dicapai dalam 3-4 bulan menjadi 12 tahun. Dengan hal ini saya yakin Kemampuan berbahasa inggris bukan monopoli mereka yang berduit maupun blasteran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H