Pasca Pilkada 2024 yang menunjukkan kekalahan "banteng" di sejumlah basis massanya; seperti Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur dan lainnya, politisi PDI-P beramai-ramai membahas dugaan keterlibatan atau "cawe-cawe parcok". Tak tanggung-tanggung, politisi PDI-P mengusulkan Polri direposisi di bawah TNI atau Kemendagri. Tentunya, dari premis dan konklusi yang ditawarkan PDI-P ini, masyarakat berhak mengajukan dua pertanyaan.
Pertama, apakah kegeraman PDI-P yang kalah dalam kontestasi Pilpres dan Pilkada 2024 mengindikasikan PDI-P pernah melakukan hal yang sama dalam 10 tahun terakhir? Sehingga dengan kekalahan beruntun yang dialami di Pilpres dan Pilkada 2024, PDI-P dengan mudahnya melempar narasi bahwa kekalahan mereka diakibatkan keterlibatan parcok? Kedua, dengan wacana reposisi Polri di bawah TNI atau Kemendagri, masyarakat Indonesia juga berhak mengajukan pertanyaan, sejauh apa komitmen PDI-P pada cita-cita reformasi. Tak elok rasanya, jika perjuangan anak bangsa dalam memperjuangkan reformasi hanya dijadikan komoditas politik.
Lalu bagaimana PDI-P menyikapi kemenangan disejumlah daerah, seperti Jakarta? Apakah PDI-P memakai standar ganda?
Sebagai partai politik yang lama melintang dalam percaturan politik Indonesia, harusnya PDI-P lebih dewasa dalam menyikapi kekalahannya. Tidak "asbun", apalagi menjadikan pembahasan podcast menjadi dasar untuk mendiskreditkan institusi lain. Apalagi sebagai "anak Orba" yang memiliki fasilitas dan jejaring hingga level kecamatan bahkan ranting, harusnya PDI-P memiliki basis data dan bukti yang lebih kuat. Jadi, tidak sebatas "omon-omon" semata.
Sudah seyogyanya kekalahan ini menjadi evaluasi internal bagi PDI-P alih-alih menyalahkan pihak lain. Jangan-jangan kekalahan PDI-P ini justru dikarenakan terpecahnya poros-poros kekuatan di internal PDI-P, seperti pilihan politik yang ditunjukkan sejumlah politisi senior PDIP yang berseberangan dengan arahan partai.
Atau, hasil Pilkada 2024 ini juga bisa jadi bahan evaluasi PDI-P terhadap Bappilu-nya dan tim khusus untuk pemenangan pemilihan kepala daerah (pilkada) 2024 yang dibentuk PDI-P. Apakah penempatan cakada telah sesuasi dengan pilihan yang rasional atau emosional, melewati mekanisme profesional atau transaksional?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H