Mohon tunggu...
Dwi Rahmadj Setya Budi
Dwi Rahmadj Setya Budi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis buku Suara Rakyat, Suara Tuhan; Mengapa Gerakan Protes Sosial Sedunia Marak?

Jangan risih jika berbeda, tapi waspadalah jika semua terlihat sama.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi "Bunuh Diri"

24 Oktober 2020   15:37 Diperbarui: 24 Oktober 2020   15:40 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal mutlak yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah kemampuan berkomunikasi. Lemahnya komunikasi yang terbangun antara pemimpin dan yang dipimpin kerap kali menimbulkan konflik. Baik itu dalam lingkup yang sederhana seperti keluarga, tetangga, teman sepermainan, maupun yang lebih kompleks seperti tataran perusahaan maupun dalam level pemerintahan.

Secara sederhana, konflik yang diawali oleh ketidakmampuan dalam berkomunikasi biasanya dipengaruhi beberapa hal, yakni masalah personal, kurang mau mendengarkan, dan salah persepsi. Memang, ketiga hal ini terlihat sepele. Tapi bukankah ada ungkapan yang mengatakan banyak orang yang terjatuh bukan karena batu yang besar, melainkan disebabkan oleh kerikil kecil?

Masalah Personal. Setiap manusia terlahir berbeda. Ada orang yang sifatnya cuek. Ada juga orang yang cenderung sensitif. Lalu, ada juga orang yang sangat perfeksionis, sehingga dalam segala hal harus terlihat sempurna.

Kurang Mau Mendengarkan. Dalam sebuah pengambilan kebijakan; baik itu dalam lingkup sederhana maupun level yang paling tinggi seperti pemerintahan, tidak jarang sebuah keputusan yang diambil menuai perdebatan yang cukup panas. Kondisi itu biasanya disebabkan oleh arogansi untuk selalu ingin didengarkan dan merasa berbuat paling benar untuk orang banyak.

Salah Persepsi. Kemampuan komunikasi yang baik akan membantu penyampaian pesan sampai kepada penerima pesan. Namun, apabila komunikasi disampaikan dengan cara yang tidak tepat, maka tidak tertutup kemungkinan akan menimbulkan salah persepsi. Atas tiga hal ini, maka dibutuhkan leadership yang mampu mengelola atau setidaknya bisa meminimalisir konflik yang akan terjadi.

Lalu apa jadinya jika tiga hal ini justru terjadi pada tingkatan pemimpinnya. Misalnya, seorang pemimpin bersikap cuek atau lebih memilih bertemu dengan bebek daripada menghadapi protes bawahannya, pemimpin yang sensitif ketika dikritik dan melakukan tindakan represif, pemimpin yang tidak mau mendengarkan masukan ketika merumuskan suatu kebijakan, atau pemimpin yang selalu beranggapan setiap yang dikeluarkan adalah demi kebaikan bersama meskipun yang dipimpin tak merasakan hal yang sama?

Secara teori, saluran komunikasi yang tersumbat akan menumpuk "sampah" kekecewaan. Jika hal ini tidak segera diatasi, maka cepat atau lambat akan menyebabkan banir deligitimasi terhadap sebuah kepemimpinan. Hal ini justru hanya membuat roda organisasi tidak berjalan dengan baik dan mengakibatkan stagnasi yang berubah menjadi kerugian.

Komunikasi Tidak Berjalan Baik, Jokowi Bisa Bunuh Diri

Gelombang protes UU Cipta Kerja belum sepenuhnya surut. Meskipun gerakan yang terlihat sudah tidak begitu masif, tapi gerakan protes masih menjadi bara api di lapisan grassroots. Hal ini tentu berbahaya jika pemerintah salah dalam mengendalikan api dan hanya berfokus untuk mengendalikan asapnya.

Menurut Direktur Eksekutif Romeo-Strategic Research & Consulting (RSRC), Ahmad Khoirul Umam, jika pemerintah tidak mengantisipasi kekecewaan publik dengan cara yang efektif, maka hal itu akan berdampak pada menurunnya kredibilitas pemerintahan Jokowi-Maruf Amin. Hal itu setidaknya telah terlihat dan terkonfirmasi oleh survei Litbang Kompas yang menunjukkan ketidakpuasan publik pada pemerintah yang menembus angka sekitar 52,5 persen.

Adapun cara untuk benar-benar bisa memadamkan api; tidak sekedar mengendalikan asap seolah baik-baik saja, yaitu dengan cara membuka komunikasi politik dengan efektif. Dengan demikian, berbagai kebijakan publik akan benar-benar sesuai dengan aspirasi dan harapan masyarakat. Sehingga, berbagai potensi kontroversial bisa ditekan.

Untuk mendatangkan kesepakatan yang bisa diterima secara bersama, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan pemerintah. Misalnya membuka ruang dialog/komunikasi dengan cara negoisasi, konsiliasi, mediasi, dan arbitrasi atau melibatkan pihak ketiga. Namun, apabila pemerintah tidak melakukan koreksi atas sikap yang menimbulkan gesekan di tengah masyarakat, sama halnya pemerintah sedang melakukan bunuh diri secara politik  (political suicide).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun