Sejumlah pihak telah meramalkan Indonesia akan jatuh ke jurang resesi di ujung tahun ini. Bahkan terbaru, Mahfud MD mengklaim persentase peluang Indonesia jatuh ke jurang resesi mencapai 99,9 persen. Mustahil rasanya untuk mengharapkan keajaiban dengan angka 0,1 persen agar Indonesia selamat.
Tentu siapa saja, pihak manapun, tak menginginkan hal ini terjadi. Tapi bagaimanapun, skenario terbaik harus dipersiapkan dengan matang dan terukur. Tak boleh ada kata santai menghadapi badai yang tak biasa ini. Apalagi jika sikap santai ini dilontarkan oleh elite kekuasaan. Ini namanya tak memiliki empati.
Dari berbagai riset, resesi memiliki dampak pada pelemahan daya beli masyarakat yang sejatinya menjadi fundamental perekonomian nasional Indonesia. Pada pertumbuhan ekonomi kuartal II lalu yang minus 5,32 saja, Indeks Penjualan Riil (IPR) juga terkontraksi dalam tren negatif. Tercatat IPR minus 17,1 persen pada Juni lalu.
Indikator lainnya juga menunjukkan lesunya industri manufaktur yang ditunjukkan dari penurunan impor bahan baku/penolong sebesar 2,5 persen pada Juli lalu. Hal ini seakan membenarkan bahwa permintaan dalam negeri melemah. Dengan kondisi ini, tentu berat bagi perusahaan untuk dapat bertahan hidup.
Perusahaan tak bisa mencapai break even point (kondisi di mana pendapatan sama dengan modal yang dikeluarkan atau titik impas). Situasi sulit ini jika tak mendapat treatment oleh pemangku kebijakan, bisa saja berujung pada keputusan merumahkan karyawan hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) dan gulung tikar.
Semakin banyak perusahaan yang collapse, semakin bertambah angka pengangguran, semakin meningkat angka kemiskinan. Berdasarkan prediksi Center of Reform on Economics (CORE), jumlah penduduk miskin di Indonesia tahun ini bisa mencapai 30 juta hingga 37 juta orang.
Apalagi jika kita mengkalkulasikan dengan hitung-hitungan sederhana terkait penyediaan dan penyaluran vaksin di Indonesia. Dengan asumsi pemerintah mampu menyediakan 68 ribu vaksin setiap hari, maka dibutuhkan 367 hari atau satu tahun untuk memberikan vaksin kepada 25 juta golongan masyarakat usia lanjut atau komorbid.
Dengan hitungan sederhana ini, kurva pemulihan pertumbuhan ekonomi satu tahun ke depan akan berbentuk U, bukan V. Artinya, pemulihan pertumbuhan ekonomi akan mengalami perlambatan. Hal ini pun juga dengan catatan, yakni apabila semua pihak mematuhi protokol kesehatan yang telah ditetapkan.
Di sinilah diperlukannya mitigasi resesi ekonomi dan crisis management leadership dari penerima mandat rakyat, dalam hal ini pemerintah. Pasalnya, tekanan hari ini ibarat pukulan ganda. Selain faktor ekonomi masyarakat yang harus diselamatkan, ada juga faktor kesehatan masyarakat yang harus diperjuangkan. Kedua-duanya sama membutuhkan energi dan pundi-pundi yang tak sedikit.
Jika pemerintah tak mempersiapkan mitigasi resesi ekonomi dan menanamkan trush yang kuat pada masyarakat bahwa pemerintah akan bekerja dengan sungguh-sungguh, maka tidak menutup kemungkinan akan memunculkan kepanikan di tengah masyarakat mendengar kata resesi.
Misalnya, terjadinya panic buying (perilaku masyarakat yang kemudian melakukan pembelian dalam jumlah banyak) dan penarikan uang dalam jumlah besar. Situasi yang seperti ini tentunya justru akan memperburuk dan memperlambat pemulihan ekonomi nasional serta bisa membawa Indonesia ke jurang krisis ekonomi yang lebih dalam.