Mohon tunggu...
Dwi Rahmadj Setya Budi
Dwi Rahmadj Setya Budi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis buku Suara Rakyat, Suara Tuhan; Mengapa Gerakan Protes Sosial Sedunia Marak?

Jangan risih jika berbeda, tapi waspadalah jika semua terlihat sama.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Penguasa di Balik Peretasan Tempo dan Tirto?

27 Agustus 2020   16:33 Diperbarui: 27 Agustus 2020   16:21 1660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustasi pembatasan pers, Sumber: Kompas

Media online Tempo dan Tirto diretas pihak tak bertanggung jawab. Tujuh artikel yang dimuat Tirto tiba-tiba raib dan deface website yang berupa perubahan tampilan pada halaman awal dialami oleh Tempo. Apakah ini hanya sebatas kejahatan ciber biasa atau ada tendensi dari pihak-pihak yang berkuasa?

Menurut Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan, kasus peretasan ini bukan sebatas peretasan semata. Dari media yang disasar, dia berkeyakinan ini merupakan peringatan keras oleh pihak-pihak tertentu yang merasa tidak nyaman dengan kritik maupun isu yang diangkat media ini. Diketahui,  dua media ini belakangan cukup banyak mengangkat isu yang membuat pemerintah tidak senang.

Peretasan yang dianggap banyak pihak sebagai pembungkaman ini seolah menegaskan catatan lembaga Reporters Without Borders (RSF) tentang kepemimpan Joko Widodo terkait kebebasan pers. Menurut RSF, Jokowi "gagal" memenuhi janji kampanyenya untuk menjamin kebebasan pers. Bentuk kegagalan itu dicatat RSF seperti kekerasan pada jurnalis, pembatasan akses media ke Papua Barat, penangkapan wartawan asing dan pendamping (fixers), dan kuatnya ancaman kepada para pewarta.

Terkait pembatasan akses media di Papua Barat, bahkan majelis hakim menilai pemerintah telah melanggar hukum atas tindakan throttling bandwith pada 19-20 Agustus 2019, pemutusan akses internet sejak 21 Agustus sampai 4 Sepetember 2019, serta lanjutan pemutusan akses internet pada 4-11 September 2019. Keputusan tersebut tak serta merta membuat pemerintah bercermin diri. Pemerintah mengajukan banding ke PTUN. Pengajuan banding pemerintah ini dianggap banyak pihak sebagai bentuk arogansi pemerintah yang tidak terima disalahkan.

Pembungkaman media oleh otoritas berkuasa kerap terjadi di negara-negara dengan pemimpin yang bertangan besi. Selain itu, pembungkaman media juga terjadi pada negara-negara yang memiliki kecenderungan protes sosial yang tinggi. Dalam konteks ini, negara kerap kali menyetir media untuk tidak menaikkan berita yang menguntungkan pihak oposisi.

Dalam buku "Suara Rakyat Suara Tuhan" karangan Hendri Teja dkk, dalam rentang tahun 2019, beberapa negara di dunia melakukan pembatasan ataupun pemberangusan kebebasan pers untuk kepentingan kekuasaan. Contohnya Rusia yang memperketat pengawasan terhadap media asing berbahasa Rusia seiring meningkatnya protes Moskow.

Beranjak ke benua Afrika, pemerintah Uganda membekukan 13 stasiun televisi dan radio yang kerap memberitakan pihak oposisi serta pemerintah Aljazair yang menangkap sejumlah jurnalis di tengah protes anti pemerintah. Sementara itu di Hong Kong, di tengah meledaknya protes sosial di tahun 2019, jurnalis Hong Kong juga menjadi sasaran serangan fisik dan verbal dari polisi. Tindakan ini tentu sangat bertentangan dengan semangat demokrasi. Apakah ciri ini mencerminkan kondisi Indonesia kekinian?

Benar atau tidaknya dugaan ataupun asumsi sejumlah pihak terhadap pemberangusan kebebasan oleh pihak berkuasa tentu harus dibuktikan secara hukum. Oleh sebab itu, pihak kepolisian dalam kasus ini diharapkan bisa bekerja secara profesional. Bahkan jika diperlukan, untuk mendorong profesionalitas Polri dan membersihkan asumsi negatif publik kepada istana, pemerintah perlu memberikan pernyataan kuat atas perang terhadap kejahatan ciber serta memerintahkan Polri menindak tegas pelaku kejahatan ciber, khususnya kepada media pers.

Seperti yang diungkapkan Presiden RI keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), selama 10 tahun kepemimpinannya, pemerintahan maupun dirinya sering dikritik keras oleh pemberitaan pers. Tapi SBY menilai, justru selama itu pula pers menyelamatkannya dari kemungkinan adanya abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan). Semoga penguasa hari ini dapat menjadikan pers sebagai mitra untuk perbaikan diri, seperti halnya yang dilakukan pemimpin-pemimpin republik sebelumnya.

Pers adalah satu dari lima pilar demokrasi. Memberangus pers sama saja artinya dengan menghilangkan hak publik untuk mendapatkan informasi. Tergerusnya kebebasan pers merupakan sinyal runtuhnya institusi dan prinsip demokrasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun