Mohon tunggu...
Rizky Adriansyah
Rizky Adriansyah Mohon Tunggu... -

Pejuang Kedokteran & Kesehatan Bangsa | Anti Diskriminasi | Motto : BERANI TAMPIL BEDA [BerEtika, punya nuRANI, Tegas, AManah, Profesional, ILmiah, BErDAya saing] |\r\n\r\nKetua Divisi Kajian MER-C Indonesia | http://www.mer-c.org

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Program Internship: Cara Pemerintah Memaksa Dokter Dibayar Murah

28 April 2014   00:04 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:08 5602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Menurut Undang-undang No. 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran (UU dikdok), program internship merupakan program pemahiran dan pemandirian dokter yang menjadi bagian dari penempatan wajib sementara. Tujuannya adalah untuk menjamin pemerataan lulusan terdistribusi ke seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika dilihat dari substansi tujuannya, program internship bukanlah yang pertama kali pernah diselenggarakan, karena sebelumnya sudah ada program wajib kerja sarjana (WKS) dan program dokter pegawai tidak tetap (PTT).

Bedanya, program internship menjadi bagian dari “masa transisi” dalam proses pendidikan kedokteran dan “masa awal” dalam penyelenggaraan praktik kedokteran. Saya menyebutnya sebagai “masa transisi”, karena program internship merupakan kelanjutan program profesi dokter sebelum melanjutkan pendidikan kedokteran jenjang berikutnya. Jika begitu, apakah program internship menjadi bagian dari proses pendidikan kedokteran ?

Di dalam UU dikdok, pendidikan kedokteran yang diselenggarakan oleh fakultas kedokteran (FK) terdiri dari pendidikan akademik (sarjana, magister, doktor), dan profesi (dokter, dokter layanan primer, dokter spesialis, dan dokter subspesialis). Program internship tidak termasuk bagian dari pendidikan kedokteran. Program internship ini hanyalah program wajib atau “diwajibkan” setelah dinyatakan kompeten (melalui ujian kompetensi) dan lulus pendidikan profesi dokter.

Walaupun demikian program internship diselenggarakan secara “ramai-ramai” oleh kementerian pendidikan, kementerian kesehatan, asosiasi institusi pendidikan kedokteran (AIPKI), asosiasi rumah sakit pendidikan (ARSPI), dan organisasi profesi (IDI/PDGI). Supaya jelas “bagi-bagi” kewenangannya, maka diperlukan peraturan pemerintah (PP). Jika belum ada PP-nya, maka implementasi program internship yang hanya berdasarkan Permenkes no. 299/2010, Perkonsil No.1/2010, dan Kempenkes No.138/2011, akan memiliki cacat hukum di kemudian hari.

Program internship juga dapat disebut “masa awal” bagi lulusan dokter dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Untuk pertama kalinya dokter tersebut boleh menerima imbalan atas praktik kedokteran yang dilakukannya, walaupun ‘katanya’ masih dalam pengawasan. Sebelum UU Dikdok disahkan, program internship telah berjalan sejak maret 2010. Atas kerjanya dokter internship mendapat bantuan biaya hidup (BBH) yang awalnya sebesar 1,2 juta rupiah. Namun karena adanya gelombang protes dari berbagai pihak, akhirnya dinaikkan menjadi 2,5 juta rupiah.

Program internship juga dilatarbelakangi perkembangan global dalam praktik kedokteran yang mensyaratkan bahwa pasien tidak boleh dijadikan objek praktik mahasiswa kedokteran. Selama menjalani pendidikan profesi di rumah sakit atau kepaniteraan klinik, mahasiswa kedokteran tidak boleh lagi menangani pasien tanpa supervisi yang ketat. Pendidikan akademik selama 3,5 tahun dan pendidikan profesi selama 1,5 tahun serta lulus uji kompetensi tidak cukup untuk menerapkan praktik kedokteran secara mandiri. Bahasa kerennya, belum dianggap ‘pede’ alias percaya diri.

Pertanyaannya adalah mau diarahkan kemana program internship ini sebenarnya ? Jika tujuannya untuk menjamin pemerataan lulusan ke seluruh Indonesia, bukankah sebelumnya sudah ada program dokter PTT ? Jika dengan kebijakan program ini dokter juga belum terdistribusi secara merata, pasti ada yang salah dalam implementasinya. Sesuatu yang sangat aneh jika ratusan dokter harus antri mengikuti program ini, padahal ada ribuan puskesmas di pelosok belum memiliki tenaga dokter.

Kebijakan program dokter PTT boleh disebut kebijakan yang ‘maju-mundur’. Pada masa tertentu program dokter PTT diwajibkan, namun pada masa lain malah tidak diwajibkan. Pemerintah sepertinya dengan “senang hati” tidak lagi mewajibkan program dokter PTT karena isu pelanggaran hak asasi manusia. Gaji dokter PTT yang terus meningkat sepertinya menjadi alasan terselubung untuk menghentikan secara perlahan program dokter PTT dan digantikan dengan program internship.

Berbeda dengan program dokter PTT, program internship tidak memerlukan biaya besar karena cukup diberikan BBH yang nilai rupiahnya jauh lebih kecil dibandingkan gaji dokter PTT. Implementasinya juga tidak lagi menjadi “kewajiban tunggal” pemerintah/kementerian kesehatan. Para stakeholder lainnya seperti kementerian pendidikan (perguruan tinggi/FK, AIPKI) dan organisasi profesi akan saling berbagi kewenangan dalam menyelenggarakan program ini.

Pertanyaaan selanjutnya, akankah kebijakan program internship mampu menyelesaikan masalah implementasi program dokter PTT selama ini? Bak kata pepatah, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Pemerintah berharap melalui kebijakan program internship, profesi dokter dapat digaji lebih murah, lebih mudah mendistribusikannya, sekaligus memimpikan pelayanan kesehatan yang lebih bermutu. Perlahan-lahan (namun pasti), program dokter PTT ‘yang mahal’ akan dihapuskan dan diganti dengan program internship ‘yang murah’.

Uji coba program internship boleh dinyatakan sukses. Sampai dengan agustus 2013, sudah lebih dari 9000 dokter dari 39 FK yang mengikuti program ini. Gelombang protes hanya seputar masalah gaji yang rendah dan terlambat pembayarannya. Hanya segelintir orang yang mengkritik program internship ini sebagai “perbudakan”. Pendapat saya ini salah besar jika pemerintah berani membayar dokter internship dengan gaji yang sama atau lebih besar dari dokter PTT. Sekian dan merdeka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun