Jakarta kota kelahiranku. Hampir setengah abad aku tinggal, belajar, dan bekerja di kota tercinta ini. Dahulu, becak dan bemo jadi raja jalanan. Mobil masih sedikit, dan hanya dimiliki para pejabat dan pengusaha kaya. Gedung tinggi hanya ada Sarinah dan Hotel Indonesia, persis seperti yang diungkapkan oleh Obama saat berkunjung ke Jakarta beberapa waktu yang lalu. Tak banyak lampu menghiasi jalanan, hanya di Sudirman-Thamrin saja yang terang, itupun hanya lampu jalanan biasa. Jalanan lengang, pohon-pohon rindang membuat jalanan di kota tercinta ini terasa demikian teduh. Jumlah penduduknya saat itu sekitar 3 juta, cukup banyak tapi masih cukup longgar untuk kota sebesar Jakarta. Tempat hiburan baru ada bioskop dan beberapa tahun kemudian (1968) muncul Taman Ismail Marzuki, tempat berbagai karya kesenian ditampilkan. Namun lapangan-lapangan olah raga, seperti sepak bola, basket, bulu tangkis, dan voli banyak tersebar di seluruh penjuru kota. Banjir di daerah tertentu yang sangat rendah kontur tanahnya kerap terjadi bila hujan cukup deras.
Setengah abad kemudian, Jakarta telah berubah jadi kota modern. Gedung pencakar langit sudah tak dapat dihitung lagi jumlahnya, terbentang dari Utara sampai Selatan, dari Barat sampai Timur. Jangan tanya jumlah mobil, apalagi motornya, sungguh tak tahu bagaimana cara menghitungnya. Di setiap rumah bisa lebih dari 2 kendaraan yang dimiliki. Jenis-jenisnya? Apa juga ada. Dari motor Cina sampai motor gede , dari mobil Kijang kotak sampai Jaguar, semua mudah dijumpai. Jumlah penduduknya sudah 8,5 juta jiwa, hampir 3 kali lipat dari 50 tahun lalu.Tempat hiburan tersebar luas, mulai dari Ancol sampai Taman Mini, dari diskotik sampai panggung opera. Ibu-ibupun dapat memuaskan nafsu belanjanya di berbagai mal dan hypermarket. Lampu yang terang benderang sangat indah dipandang dari pesawat saat hendak mendarat di Bandara Soekarno-Hatta di malam hari. Molek nian kotaku tercinta.
Namun, paras sebenarnya kotaku ternyata tak seelok yang tampak dari udara. Banjir kini semakin meluas ke daerah yang dulunya tak pernah terendam sepanjang sejarah kota ini, bahkan di saat hujan tak terlalu deras. Ruang kosong hampir tak ada lagi di Jakarta. Semua telah tersulap menjadi rumah, dari yang mungil sampai yang super mewah, atau menjadi bangunan ruko, kantor, apartemen, dan mal. Pohon-pohon rindang yang dahulu menjadi penyerap air sudah tinggal sedikit yang tersisa. Panas terik tak terbendung lagi karena terpantulkan ke segala penjuru oleh kaca-kaca gedung pencakar langit. Asap kendaraan bermotor memenuhi udara Jakarta, sehingga bila kita pandangi langit kota ini, akan sulit mendapatkan warna biru, yang tampak hanyalah warna kelabu. Air sungai dan kali hitam pekat tak bergerak, dipenuhi dengan sampah yang tertahan di pinggir pintu air.
Lalu lintas semakin padat dengan ditingkahi perilaku pengemudi yang kurang disiplin. Cobalah kita lewati tengah kota di jam 7-10 pagi atau jam 4-7 sore, maka kemacetan akan menyambut kita dengan pongahnya. Sumpah serapahpun tak akan di dengar sang dewa kemacetan, sehingga muncullah istilah pamer paha (padat merayap tanpa harapan) yang merupakan luapan kekesalan yang tak tersalurkan dari para pemakai jalan yang terkena macet. Trans Jakarta yang diharapkan menjadi penyelamat masalah kemacetanpun kelihatannya tak banyak membantu, penumpang begitu banyak namun jumlah bus masih belum mencukupi. Belum lagi jalanan khusus busway seringkali dipergunakan pemakai jalan lain yang sudah putus asa karena terkurung kemacetan. Angkot, Metro Mini, Kopaja dan bus kota yang sembarangan menaikkan dan menurunkan penumpang di tengah jalanpun semakin memperburuk kemacetan. Sepeda motor bak laron yang berkerumun menyalip-nyalip di antara mobil-mobil yang antri.
Kalau melihat carut marutnya lalu lintas Jakarta, mungkin hanya lalu lintas New Delhi di India yang dapat menyainginya. Ya, saat saya berkesempatan berkunjung ke New Delhi, saya merasa bahwa inilah sister city yang tepat untuk keadaan kota Jakarta saat ini. Bising, pengemudi yang sembrono, dan jalanan yang tambal sulam benar-benar membuat kedua kota ini bak kembar siam.
Saat ini, kulihat Jakarta sedang bersolek. Jalan layang Antasari-Blok M sedang dibangun, tentunya dengan harapan dapat mengurangi kemacetan. Busway koridar IX dan X mulai dioperasikan. Sungai dan kali mulai dikeruk, dengan harapan dapat menampung air hujan sehingga dapat mencegah banjir. Akankah kota Jakarta tercinta ini semakin molek di tahun 2011? Bagaimana dengan kesemrawutan lalu lintas? Bagaimana dengan ketidak jelasan tata kota, sehingga daerah pemukiman bisa dengan mudah diubah jadi perkantoran, ataupun daerah resapan air berubah jadi real estate? Akankah ini dibenahi juga sehingga paras Jakarta makin molek luar dalam? Semoga! Kita serahkan saja pada ahlinya dan kita tunggu saja hasil karyanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H