Reaksi dunia terhadap Undang-Undang Cipta Kerja cukup menggembirakan. Secara filosofis seakan upaya Indonesia dalam menarik investor luar diartikan sebagai keberanian negara ini dalam menutup jalan para birokrat opportunis dan calo tukang catut ijin setiap proyek investasi sebagaimana layaknya hambatan rent seeker yang biasa terjadi di negara berkembang.
Tak kurang Bank Dunia melihat UU Cipta Kerja sebagai upaya reformasi besar untuk menjadikan Indonesia lebih kompetitif dan mendukung aspirasi jangka panjang negara ini untuk menjadi masyarakat yang lebih sejahtera. Bank Dunia menilai penghapusan berbagai pembatasan besar pada investasi dan memberikan sinyal bahwa Indonesia terbuka untuk bisnis. Hal tersebut dinilai dapat membantu menarik investor, menciptakan lapangan kerja, dan membantu Indonesia memerangi kemiskinan. Untuk itu Bank Dunia menunjukkan komitmennya untuk bekerjasama dengan Pemerintah Indonesia dalam reformasi ini, menuju pemulihan ekonomi dan masa depan yang lebih cerah bagi seluruh rakyat Indonesia, demikian pernyataan resmi Bank Dunia 16 oktober 2020 yang lalu.
Yang menarik lagi adalah statement dari Morgan Stanley, bank investasi multinasional dan broker retail jasa finansial yang berbasis di New York. Morgan Stanley melihat Indonesia mau masuk ke Asia's manufacturing hub. Kita tahu Asia's manufacturing hub selama ini dipegang oleh China, mereka buka ekonominya tahun 2005 untuk ke depannya, tapi satu dekade terakhir ini terlihat banyak sekali negara-negara yang mau menjadi part of the Asia manufacturing hub seperti contohnya Vietnam dan Thailand, dan juga India. UU baru ini dianggap sebagai reformasi untuk kebijakan-kebijakan yang ada di Indonesia, salah satunya untuk menarik investasi langsung (foreign direct investment / FDI). Masyarakat internasional dan para investor asing semula menduga kalau perkembangan itikad memunculkan UU omnibus law ini akan terhenti karena adanya pandemi Covid-19, namun ternyata pemerintah Indonesia bisa membuktikan bahwa UU ini bisa disahkan dalam kondisi saat ini. Berita menggembirakan pun mulai masuk ke dalam negeri dengan adanya Omnibus Law tersebut, seperti rencana Tesla untuk membuat pabrik baterai di dalam negeri, sama halnya dengan LG Chem yang juga merencanakan hal yang sama, sejalan dengan pemberlakuan larangan Pemerintah melarang ekspor bijih nikel mulai 1 Januari 2020 yang diejawantahkan melalui Permen ESDM No.11 tahun 2019.Â
Sebetulnya bila dilihat inti dari Omnibus law, ide cerdas yang sudah diniatkan sejak pidato pelantikan presiden setahun yang lalu ini, tujuannya menarik investor dunia serta menuju perekonomian negara yang kompetitif, dengan menyasar pada tiga hal besar, yaitu UU perpajakan, cipta lapangan kerja, dan pemberdayaan UMKM. Undang-undang ini diharapkan dapat memperkuat kebijakan moneter, inflasi yang relatif stabil, kebijakan fiskal yang lebih akomodatif, dan dapat mempercepat belanja infrastruktur. Tujuan utama dibentuk dan disahkannya undang-undang ini adalah agar penanaman modal asing (PMA) dapat berjalan lebih lancar dan makin bertambah. UU Ciptaker ini dibentuk untuk menghilangkan birokrasi dan aturan yang sebelumnya dinilai tumpang tindih. UU Ciptaker dibentuk dengan merevisi 79 undang-undang dan 1.244 pasal. Di dalamnya telah mencakup relaksasi dalam penghapusan daftar investasi negatif, reformasi tenaga kerja, kemudahan dalam perijinan, pengadaan tanah, dan perampingan administrasi pemerintah. Khusus bagi para pelaku UMKM, di era digital ekonomi ini, diharapkan salahsatu  dampaknya adalah agar berkembang sebagai  perusahaan startup-startup teknologi yang makin pesat, karena berpotensi transfer teknologi dalam hal ekonomi digital.
Di negara maju maupun berkembang, peran UMKM sangat penting, sebab menyerap paling banyak tenaga kerja dibandingkan usaha besar. Dari data  BPS terakhir, jumlah pelaku UMKM tercatat 64.199.606 unit (99,9% dari pangsa pelaku usaha di Indonesia), dibanding unit usaha besar yang hanya sebanyak 5.460 unit. Kontribusi UMKM terhadap pembentukan atau pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 61,7% terhadap PDB, dan kontribusi pada penyerapan tenaga kerja sebesar 97% dari total angkatan kerja di Indonesia yang berjumlah 120,6 juta pekerja (BPS, 2018). UMKM juga menyumbang 14,17 persen dari total ekspor dan menyumbang 58,18 persen dari total investasi.
Berdasarkan Sensus Ekonomi 2016, terdapat 3 bidang usaha Usaha Mikro Kecil (UMK) non pertanian yang usahanya menempati urutan teratas dalam perekonomian nasional yaitu:
- Perdagangan besar dan eceran.Â
Usaha di bidang perdagangan besar dan eceran adalah penjualan barang tanpa proses mengubah bentuk produk yang diperdagangkan, kecuali penyortiran atau pengemasan ulang. Biasanya pedagang membeli dalam skala besar untuk dijual lagi secara eceran.
- Penyediaan akomodasi dan penyediaan makan minum.
Usaha akomodasi dan penyediaan makan minum meliputi restoran, rumah makan, kafe, katering dan yang serupa.
- Industri pengolahan.
Industri pengolahan yang dimaksud meliputi berbagai kegiatan produksi yang mengubah bentuk bahan baku atau mentah menjadi barang setengah jadi atau barang jadi yang siap digunakan atau dikonsumsi. Contohnya industri garmen yang mengubah kapas menjadi kain, industri konveksi yang mengubah kain menjadi pakaian, dan lainnya
Peran penting UMKM didalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi tidak hanya dirasakan di negara-negara sedang berkembang melainkan juga di negara-negara maju. Selain peranannya sebagai sarana memeratakan tingkat perekonomian rakyat kecil dan sarana mengentaskan kemiskinan, UMKM juga penyumbang devisa bagi negara, sebab pasarnya tidak hanya menjangkau nasional tapi juga hingga luar negeri. UMKM juga mulai banyak berperan sebagai start up pada berbagai market place di pasar e-Commerce. Itu sebabnya peranan UMKM begitu penting bagi perekonomian  di Indonesia. Untuk diketahui, bahwa kriteria UKM bagi pengusaha di Indonesia menurut UU No.20 tahun 2008 tentang UMKM, pasal 6 ayat 1, 2 dan 3 nya membagi UMKM atas kelas menurut perpaduan aset dan omset penjualannya. Pengusaha disebut Mikro bagi yang ber aset 0 sd 50 juta rupiah dan beromset 0 sampai 300 juta pertahun, Pengusaha kecil untuk yang beraset 50-500 juta dan omset antara 300 juta sd 2,5 Miliar dan pengusaha kelas menengah untuk kategori memiliki aset 500 sampai 10 miliar serta beromset penjualan 2,5 sampai 50 miliar pertahun.