Bekerja ekstrim, bergelut sebagai abdi Negara, tugas ekstrim setiap waktu ternyata tidak cukup mengubah mindset pemerintahan untuk mengubah mazhab dan kebijakan penghasilan sebagai i'tikad (political Will) dan operasionalisasi dari sistem Negara kesejahteraan, Kemiskinan akibatnya minimnya penghasilan telah memicu epidemi prilaku menyimpang di kalangan aparat TNI POLRI, berbagai pola, modus dan jenis kejahatan yang ditempuhnya menjadi sasaran pemberitaan dan cibiran. Namun yang terkuak dipermukaan hanyalah fenomena gunung es dari semua ekses tindakan negatif sebagai korban teror ekonomi, kemelaratan telah cukup menyeret pilihan kehidupan keluarga aparat TNI Polri pada titik tragis, dimarginalkan, menanggung derita sebagai warga negara, korban dari sistem ekonomi pemerintah yang hanya mengakui kebutuhan warganya sebatas Sandang, pangan dan papan.
Padahal, Bangsa ini punya sejarah, tradisi dan budaya besar, berdiri dari keluarga besar, punya segalanya untuk mewariskan kebesaran tapi justru dikerdilkan oleh Uang, diseret dalam bencana kemanusiaan akibat sistem dan kebijakan gaji, Upah, penghasilan yang menganut paham vegetatif pemerintah yang cocoknya hanya berlaku di zama Pra sejarah atau Zaman batu: dimana yang dipentingkan Kenyang, bisa berteduh dan tidur.
Nawa Cita dan Revolusi Sistem Kemanusiaan
Rencana kenaikan yang di Pidatokan Jokowi dengan persentase 50% bagi TNI POLRI menunjukkan beliau masih terjebak oleh paham sesat frame Sandang,Pangan dan papan, tidak menyentuh sisi moral dan kemanusiaan, kenaikan tersebut masih mengingkari spiritualitas dan sosialitas manusia dan bangsa Indonesia. Getaran kemanusiaan sebagai pilar Nawa cita tidak nampak dalam nominal, saking kuat dan lamanya doktrin Sandang pangan, papan yang diterapkan oleh pemerintah. Menyingkirkan Paham jauh lebih penting sebelum menarik nominal dan persentase kenaikan penghasilan.
Pemerintah yang hanya mengakui kebutuhan Sandang pangan dan papan,(SPP) mengindikasikan kegagalan bangsa ini untuk melepaskan diri dari paham eksploitatif, Dehumanisasi. Cara pandang vegetatif: (bergerak,bernafas dan kenyang), Membuang jauh-jauh (menegasikan) konsepsi manusia dan kebutuhan kemanusiaan indonesia, kuatnya paham SPP yang berlaku bagi warga negara yang bekerja hanya diberikan penghasilan agar perutnya terisi, punya pakaian yang layak untuk dinasnya, dan untuk sesaat diberi tumpangan berteduh bak pengungsi korban bencana. Hidup warga negara seolah hidup di zaman batu, yang penting bisa kenyang, badan terbungkus lalu kerja-kerja-kerja.
Praktek Gaji vegetatif secara nominal ditanggung oleh pemerintah hanya terbatas pada kebutuhan fisik, biologis semata. sangat lumrah bila harga bahan pokok sedikit saja naik, terjadi inflasi, harga BBM naik maka otomatis memicu kepanikan warga, gejolak massal di seantero negeri sebab isi kantong warga negara hanya bisa bertahan pada situasi normal. Penghasilan dari negara tidak bisa melindungi bila terjadi pergerakan harga-harga bahan pokok menanjak.
Warga negara yang bekerja khususnya TNI POLRI divonis tidak punya sumber pertahanan ekonomi untuk berhadapan dengan gejolak pasar, apalagi mau membiayai atau menopang kebutuhan diluar menu harian, mustahil bisa urun rembug dalam kegiatan keluarga yang melibatkan biaya tinggi, penghasilan minim memasung kehidupan keluarga mereka cenderung individualistik, jauh dari hingar bingar kegiatan kekeluargaan dan lingkungan sosialnya, status bekerja yang mereka sandang tidak bermanfaat bagi proses pembelajaran kemanusiaan, hidup secara hemat adalah satu-satunya celah yang harus ditempuh agar tetap bertahan hidup menunggu kejadian luar biasa agar menarik mereka dari jurang kemelaratan.
Penghasilan yang rendah lagi merendahkan harkat manusia mereka, harus membuang jauh-jauh sikap budaya gotong royong, pekerjaan TNI POLRI sebagai bintang keluarga besar mereka nihil kontribusinya bagi menopang ekonomi dimana mereka berasal, tumbuh dan dibesarkan. Tercebut secara kultural, terisolir secara sosial akibat doktrin sesat pemerintah.menjauhi acara-acara keluarga, Pernikahan, Kematian, sunatan, besuk orang sakit dan sebagainya dengan resikonya punya biaya tinggi.
dimana doktrin yang tiap saat dipidatokan bahwa di hatinya hanya boleh ada negara dan bangsa sebagai epicentrum gerak dan napas kesehariannya, nihilisme kepentingan politik dan kekuasaan tapi pada saat yang sama, mereka nihil mendapat pengakuan pemerintah atas penghasilan yang layak sebagai satu-satunya sarana dan jaminan total bagi hak-hak sebagai warga negara dengan kepentingan kehormatan keluarga besar yang hidup di indonesia melekat kuat hukum sosial budaya maka fakta hidupnya tidak lebih baik dari gelandangan dan pengungsi terpapar dalam teror dan rongrongan kemiskinan.
Akibat paham sesat keijakan gaji, hanya berupa tunjangan kebutuhan Sandang Pangan Papan oleh politik pemerintah maka hampir delapan ratus ribu TNI POLRI yang merepresentasikan jumlah keluarga besarnya terpasung secara ekonomi, jalani hidup menyakitkan, serba keterpaksaan oleh doktrin politik penghisapan pemerintah, inilah bukti, tidak hanya menguras habis isi kekayaan negeri juga sekaligus menguras hidup warga negaranya, dampak politik penghisapan tidak hanya ditanggung oleh generasi yang hidup sekarang namun pasti mengorbankan genarasi anak cucu yang resikonya tidak dapat lagi diukur ataupun bayangkan.
kemiskinan generatif yang melanda TNI POLRI sebagai tumpuan hidup keluarga, orang tua dari anak-anak, kakek dari cucu-cucunya dipastikan tidak sempat terbetik persiapan untuk menyambut hidup dan mimpi mereka.
sebab hanya orang sejahteralah yang bisa mewujudkan mimpi dan mengokohkan sejarahnya masing-masing. Keluarga TNI POLRI dipastikan kalau tidak menempuh caracara kotor mustahil memilihkan cara hidup masa depan anak-anak mereka, sebab tunjangan dari negara hanya cukup bulan ini, selebihnya harus utang atau mesti gali lobang tutup lobang.
Indikasi jika gaji atau penghasilan sebagai jaminan hidup bagi 2 generasi sebagaimana praktek budaya yang hidup di tengah bangsa indonesia telah diluluh lantakkan oleh praktek kebijakan pemerintah yang hanya mengakui SPP saja, tidak lebih. Indikator dan indeks kesejahteraan yang dianut oleh lembaga keuangan dunia tidak berlaku disini, yah tidak diakui oleh pemerintah. Pengakuan sebatas SPP bagi TNI POLRI seseungguh pernyataan jelas pemerintah bahwa bagi TNI POLRI dan keluarganya : dilarang Sejahtera!.
Paham atau konsepsi sesat Pemerintah yang sangat vegetatif dan eksploitatif adalah ancaman terbesar dari semua jenis kejahatan yang ada, paham ini tidak hanya menghancurkan ekonomi warga negara, kehancuran yang lebih mengerikan bahwa bangsa ini hanya melahirkan generasi miskin: kriminal dan kelaparan. Bangsa yang dibangun diatas sistem kekeluargaan akan runtuh digantikan oleh sistem kanibalisme dimana individu yang kuatlah yang akan berhak menikmati Indonesia.
Penghasilan yang tidak layak generasi kita sekarang memaksa tutup mata atas nasib generasi mendatang, tidak mungkin memilihkan cara hidup, cara tumbuh dan cara belajar bagi keluarga yang ideal sebagai bangsa yang berbudaya tinggi, karna warga negara sudah dipaku mati untuk hemat dan efesien hanya keluarkan anggaran sesuai kebutuhan “SPP” yang dianut Pemerintah. Sehingga jangankan berpikir untuk generasi mendatang, warga negara hanya bisa bertahan hidup untuk sebulan lamanya. Selanjutnya hidup dalam serba ketidak pastian dan kebetulan-kebetulan semata.
jika sekarang saja, efek kemiskinan generasi ini saja sudah dijejali kriminalitas dan segudang bencana Kemanusiaan: narkoba dan Prostitusi massif dimana-mana, hilangnya rasa aman dan saling Percaya, maka bagaimana lagi nasib anak cucu bangsa ini di masa depan?.
Apabila pembiaran Kemiskinan sebagai moyang dari segala kejahatan tidak tersentuh oleh komentar dan keberpihakan dari elit Parpol dan Pemerintah, tentunya kenyataan yang akan dialami oleh anak cucu hanya mewarisi derita, tragedi yang dibumbui sejarah fiktif.
Oleh karenanya, Jokowi dengan Nawa Citanya tidak boleh dibiarkan hanya tegas pada Pengedar Narkoba sebab itu hanya efek kemiskinan, JoKowi tidak boleh hanya revolusioner pada sepak bola demi meraih prestasi, tapi jokowi dan nawa cita harus diseret dengan segala cara untuk berpihak pada kebutuhan mendesak bangsa ini guna memerangi kemiskinan, terkhusus ancaman paham sandang pangan papan yang secara sistemik modus pemiskinan pemerintah sendiri atas TNI POLRI sebagai lembaga yang memiliki peran mengawal serta mewujudkan nawa Cita sebagai keberpihakan, kesadaran kemanusiaan dan moralitas Konstitusi.
Sudah seharusnya Jokowi dan Nawa Cita harus tegas bahwa Keberpihakan pada Penghasilan yang layak demi menopang Kemanusiaan dan mendongkrak Optimisme sebagai Bangsa, karna bangsa Ini adalah keluarga besar, Jokowi Sebagai Kepala Keluarga harus bisa memilih prioritas alokasi anggaran antara jaminan tertinggi demi pertumbuhan fisik maupun kejiwaan anak-anaknya ataukan fasilitas bangunan ekslusif yang konon (teorinya) akan menguntungkan.
Secara nominal, maka 50 juta perbulan adalah angka yang logis untuk mengakomodasi kebutuhan sebagai TNI POLRI sebagai warga Indonesia, yang tanggung jawabnya bukan hanya domain individu dan fisik semata, tetapi akan dapat menanggung proses pembelajaran dan bertumbuh dalam sistem kekeluargaan, sosial dan lingkungan spiritualitasnya.
Tentu, sebagai kepala Keluarga yang waras, Jokowi akan berpihak pada pertumbuhan anak-anaknya dibanding membangun fasilitas ekslusif yang tidak mungkin bisa di nikmati oleh anak-anaknya dalam kondisi kelaparan, bodoh atau idiot. Nah,Penghasilan TNI POLRI adalah sarana bagi setiap kepala Keluarga agar ikatan kekeluargaan bisa tumbuh, belajar, berkilau dan akhirnya menyejarah dalam peradaban. Akhirnya, Jokowi dan Nawa cita adalah Pilihan warga negara, rakyat telah memenangkannya, tantangannya sekarang ada di Pundak Jokowi apakah nawa cita bisa menjadi pintu masuk dan mengakhiri praktek politik dan ekonomi sesat; dimana waktu kampanye, dari kita, oleh kita dan untuk kita, jangan sampai setelah Pemilu: dari rakyat, oleh rakyat, untuk Bangsat !.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H