Tragedi jatuhnya pesawat hercules  yang mengangkut amunisi dan menewaskan ratusan penumpang menambah deretan bencana yang melanda bangsa ini. Alat utama sistem persenjataan (Alutsista) yang normatifnya berfungsi melindungi warga negara dan kedaulatan negara  justru menjadi alat pembantaian warga terbaik, menebar momok menakutkan. negara yang telalu kaya raya ini tentu jadi ironi, anugerah kekayaan alam raya berlimpah dan prajurit-prajurit terbaik di dunia tapi alutsistanya hanyalah berkat kemurahan hati, sedekah oleh negara “dermawan’  yang diperoleh dari jalur (Hibah), mitos penyelenggaraan pemerintahan modern, pidato atas nama Tuhan, Nasionalisme tapi barbar bagi warga sendiri, narsis karna keahlian mengemis utang dan “limbah’ dari negara luar.
Tewasnya puluhan Prajurit terbaik bersama ratusan keluarga TNI bukti nyata hilangnya moralitas negara,  bagaimana mungkin bangsa ini bisa yakin; pemerintah peduli pada keselamatan ratusan juta warga negara? Jika pemerintah secara telanjang sdh gagal melindungi ratusan orang, maka, apa bisa berharap lebih pada pemerintah untuk jamin keamanan jutaan warga negara lainnya? Tidak soal mereka yang tewas kemarin atau besok, atau nanti adalah TNI, keluarganya, atau itu adalah kita!, maka respon pemerintah akan tetap sama, hanya selalu hadir; mengucap duka cita seolah berduka, atau tidak lebih, muncul bagai lembaga penyantun yang tidak berbeda dengan aksi lembaga sosial atau badan pengumpul zakat bagi yg tertimpa bencana.
Insiden jatuhnya pesawat Hercules yang menewaskan 114 jiwa dari keluarga bangsa ini bukanlah soal teknikal kebetulan tapi ini bersifat permanen dan laten, bisa meledak kapan saja, ini kecelakaan yang dipelihara dan warisan jahat karena alasan minimnya anggaran oleh pemerintah, asumsi ekonomi yang sangat kuat telah mengaburkan esensi kemanusiaan setiap jiwa yang harus dibantai akibat kepungan logika pemanfaatan materi pemerintah yang hanya loyal pada pemilik modal sampai tidak tanggung-tanggung rela talangi utang-utang mereka yang jumlahnya ribuan triliun. Tapi bagi warga negara yang bekerja hanya diberikan layanan tansportasi usang dan bisa beli baju bekas bermerek tapi limbah lalu dikuatkan dengan kebijakan kartu-kartu santunan.
Mitologi Hercules : Keagungan Kemanusiaan VS Â Syahwat kekuasaan
Visi Nawa Cita yang memimpikan Bangsa berkarakter harus terbentuk dari individu, dan keluarga yang berkarakter yang selama ini dibelenggu oleh peninggalan sistem pemerintahan yang kehilangan moral kemanusiaan atas warga Negara, tragedi yang terus berulang, berulang, warisan kegagalan pemerintah melindungi ratusan jiwa akibat sarana teknologi Negara yang sudah tamat riwayatnya, apalagi mau melindungi segenap tumpah darah bangsa ini? tentu hanya fiktif belaka. Harus menuggu Berapa banyak lagi keluarga bangsa ini yang harus tewas terbantai sehingga pemerintah tidak lagi menggunakan kata takdir, kalau ratusan korban hercules ini lantas pemerintah cuma bisa berlindung dibalik kalimat simple ‘kehendak tuhan; kalau begitu adanya, untuk apa menghukumi para pembunuh? Tapi Karena kita paham bahwa semua ada pemicu, atau sebab-sebanya, disinilah pemahaman dan hukum diberlakukan.
Puluhan prajurit sebagai warga negara yg nasionalismenya tdk dpt dipertanyakan lagi, bersama ratusan anggota keluarga lainnya harus tewas terpanggang bukan dalam pertempuran tapi dibantai oleh warisan teknologi usang, inilah yang di maksud teror kemiskinan; Prajurit dan alutsista sebagai sarana perlindungan setiap warga negara dan ketahanan negara harus jalani tugas-tugasnya dalam bayangan teror akibat pemerintah yang kehilangan sensitifitas kemanusiaan, lebih memilih loyal pada pemilik modal pdhal hnya dengkul utangnya segunung, dipoles program bangunan megah dibanding secara hati-hati dan sepenuh hati menjaga setiap jiwa dan moral warganya.
paham akademisi dan intelektual pemerintahan, memajukan  Kesejahteraan warga Negara bukan bagian dari pembangunan atau tanggung jawab sepenuhnya negara, menjaga moral dan karakter dengan penguatan financial setiap keluarga tidak dianggap sebagai pertahanan fundamental ekonomi, nyatanya,program yg dicanangkan bukanlah pembangunan sebab tidak relevan dan  hanya menunda bencana berikutnya.
Ratusan penumpang tewas terdiri, anak-anak, Istri atau sanak keluarga TNI tentu jadi Tanya tersendiri, kenapa mereka menggunakan penerbangan beresiko ini?, jawabannya; karena mereka tidak mampu! Buat membeli tiket pesawat komersial, ketiadaan uang, mereka hanya bisa manfaatkan fasilitas gratis buat keluarganya tanpa sadar dengan resiko yang dihadapi, sebab bekerja sebagai TNI atau POLRI oleh pemerintah hanya diberi jaminan sandang papan,pangan (SPP), sebagai kepala keluarga mereka tidak diberi kemapanan financial selain anggaran SPP apalagi untuk naik Pesawat buat MUDIK, (Mimpi Kali yee??). jika Tenaga, waktu, hidup mereka selama ini telah dipakai gratis oleh pemerintah dan bangsa ini atas nama nasionalisme, masa iya keluarga mereka tidak bisa nikmati pesawat perang gratis?? Sementara para pengemplang pajak ratusan triliunan puas keliling dunia pakai duit bangsa ini.
sebagaimana lazimnya keluarga miskin lainnya di bangsa ini. Lagi-lagi Kemiskinan Keluarga TNI hanya berbuah nestapa dan sial. Berapa banyak bintang dan Buah hati keluarga TNI lagi harus relakan dipanggang bersama burung-burung tua, penantian mengubur tulang belulang keluarga mereka sebagai tanda mata kejamnya kemiskinan. Disinilah relasi teologis, kenapa tuhan bersama dengan orang-orang miskin: karena mereka hidup ekstrim, sangat dekat dengan maut , semua bencana kemanusiaan, bagaimana ngerinya kemiskinan sampai-sampai Tuhan pun selalu terlibat aktif karna pemerintah pasif; hanya menunggu dan menunggu setelah bencana terjadi !!.Â
Sebaliknya akan Mustahil jika keluaarga TNI ini mapan dan berduit akan tega tanggung resiko menggunakan kapal perang buat mengangkut keluarga tercintanya. Pastilah pilihannya transportasi akan lebih baik atau mungkin yang terbaik, sebagaimana selera pada umumnya kepala keluarga yang mapan di bangsa ini. Tidak mungkin ada kepala keluarga yang mapan,mau menggendong anak-anaknya naik ke kapal bocor atau pesawat rusak, tapi dalam kondidi pas-pasan itu sama mustahilnya bagi mereka untuk naikkan buah hati mereka ke pesawat komersial yang tahun pembuatannya serba terbaru. Sebasb Hidup mereka tdk punya pilihan, serba terpaksa! Totalitas jiwa raga prajurit-prajurit untuk bangsa dan negara, tapi keluarga kecil mereka hidup rentan, frustrasi;  Pemerintah lebih memilih jaga  inflasi dibanding jaga eksistensi jiwa dan moral warganya
Dipihak lain, Media-media pemberitaan punya cara pandang berbeda atas musibah ini, arus utama pemberitaan menyoroti sisi komersialisasi alutsista TNI, bukannya membongkar kemiskinan TNI yang terpaksa menitipkan keluarganya yang tewas dalam penerbangan Militer, Media secara heroiknya membongkar bisnis penerbangan TNI daripada menjawab kenapa keluarga TNI harus naik Pesawat Militer?, inilah refresentasi ratusan ribu keluarga yang miskin sudah jatuh lalu ditimpuk tangga, mereka dihakimi dan cenderung dikriminalisasi akibat memanfaatkan kesempatan atau berbisnis.