Setiap kali beliau akan muncul di televisi, di Radio, di media online atau di media cetak. Selalu rajin share draf dan berargumen memancing pendapat. Sering share di group yang didominasi para dosen dan pakar pendidikan. Kadang beliau dengan rendah hati meminta masukan kepada anggota group. Inilah yang membuat penulis merasa kagum. Sering sekali  beliau share tulisan ke group sebagai bahan-bahan untuk dibawa ke ranah publik yang lebih besar termasuk ke gedung MPR-RI. Banyak kebijakan pemerintah yang dia sosialisasikan jauh sebelum di putuskan pemeribtah jadi peraturan yang mengikat.
 Semula terkesan  diskusi di group terasa seperti aneh, saat draf di kupas ngawang-ngawang. Alam pikiran dibawa ke alam masa yang akan datang. Tapi akhirnya jadi sebuah kebijakan yang kontroversi  juga. Sayangnya saat draf yang di edarkan itu jarang sekali menuai kontra. Rata-rata pembaca  hanya mengacungi jempol, atau basa-basi saja. Karena di group itu, semua pada sibuk dengan urusan masing-masing. Karena Draf yang di share profesor  kadang terlalu tebal. Â
Beda lagi dengan Prof. Dr. Muchlis R. Luddin, MA yang telah wafat Kamis, 29 Juli 2021, lalu.  Parasnya selalu terkenang karena murah senyum dan tampak awet muda. Dan rahasiah tentang hal itu dia tuliskan di media online "kumparan" dia kupas secara ilmiah. Banyak sekali tulisannya masih dapat kita nikmati di berbagai media. Prof. Dr. Muchlis R. Luddin, MA. mulai sangat sulit ditemui penulis, tatkala beliau sibuk menjadi Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Tiba-tiba  penulis di kejutkan saat membaca kabar di group WA tentang sakitnya beliau, memerlukan donor darah.
Padahal selama itu tampak jarang sakit. Dan sesibuk apapun beliau, selalu tampak tersenyum dengan ramah. Seolah tidak pernah sakit. Rahasiah awet mudanya  beliau tuliskan. Tulisannya banyak beredar di media online, yang sering juga beliau cetak dalam bentuk buku. Dan hal inilah yang sedang penulis tiru. Seperti tulisan yang anda baca saat ini, terus  penulis revisi setiap ada kesempatan.Â
Kritikan  Prof Muchlis yang paling pedas diantaranya tentang calon peraih Nobel dari perguruan tinggi yang selalu gembar gembor sebagai perguruan tinggi yang membuka "Word Class University". Argumen beliau tentang hal inilah  yang paling penulis sukai. Akhirnya iklan perguruang tinggi yang memasang nama itu, menghilang dari peredaran.
Banyak tokoh bergelar Profesor yang saya kagumi. Tapi yang saya tuliskan ini, bukan karena gelarnya. Keunikan yang dianggap berbeda dengan sosok lainnya. Â Sosok perilakunya membekas di hati, bukan karena gelarnya. Â Hanya individu yang bisa ditinjau dari sudut pandang lain yang di paparkan di sini. Banyak berkarya dalam senyap namun rutin dan melekat pada perilaku keseharian(DN).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H