Indonesia adalah satu bangsa untuk semua suku bangsa dan bangsa yang ada dan hidup di Bumi Nusantara. Semua suku bangsa memiliki kebebasan berkebudayaan demi kemajuan Indonesia yang dimiliki bersama itu. Aspek berkebudayaan di dalamnya mengandung aspek religius atau aspek berkepercayaan terhadap "Tuhan" yang diyakininya. Kalaulah merujuk pada keanekaragaman kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di Nusantara, kita akan melihat keanekaragaman kepercayaan kepada Tuhan dengan berbagai ekspresi budaya spiritual dan dalam berbagai ritual yang dilakukannya.Â
Semua bentuk kehidupan berkepercayaan itu dijadikan landasan bersama sebagai bangsa Indonesia dalam kerangka sistem nilai kepercayaan bersama terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Berdasarkan kajian antropologi, Indonesia terdiri atas lebih dari 500 suku dan subsuku bangsa dengan ciri-ciri bahasa dan kebudayaan tersendiri.Â
Setiap suku bangsa dan subsuku bangsa di Indonesia dapat dikatakan mempunyai satu daerah asal, pengalaman sejarah, dan nenek moyang. Suku bangsa atau etnis adalah golongan sosial yang memiliki ciri-ciri tersendiri berdasarkan karakter budaya etnisnya dan cenderung dipertahankan keberadaan budaya mereka, secara khusus oleh pada pendukung etnis tersebut. Gambaran saling mempertahankan keberadaan ciri-ciri budaya etnis ini begitu indah terlukiskan dan hidup di sepanjang bentangan pulau-pulau di Nusantara, sehingga para pendiri bangsa ini memberikan motto kepada bangsa Indonesia: Bhinneka Tunggal Ika (Ira Indrawardana, 2014).
Dari banyaknya suku bangsa yang berada di Bumi Nusantara ini tentunya dahulu terdapat ajaran yang beragam pada tiap tiap daerah nya, adapun dari ajaran yang berbeda tersebut masyarakat Nusantara doeloe memiliki 1 kesamaan dalam ajaran yaitu ajaran dalam menyembuhkan penyakit yang diobati melalui olah rasa orang yang menyembuhkan demi kepentingan manfaat yang dapat dirasakan oleh pasien.Â
Cara yang dipakai untuk menyembuhkan pasien ialah dengan cara mengucapkan kalimat "jampe jampe" yang di arahkan pada air putih lalu air putih yang telah di beri "jampe jampe" diberikan kepada pasien. Dewasa ini, keilmuan "jampe jampe" dianggap oleh sebagian orang sebagai keilmuan yang tidak logis dan tidak akademis. Hal tersebut disampaikan sebab masyarakat sekarang lebih percaya pada keilmuan yang diajarkan oleh masyarakat barat mengenai hukum kausalitas (sebab-akibat), menurut masyarakat sekarang bahwasannya keilmuan "jampe jampe" sangatlah tidak logis sebab dapat menghasilkan kesembuhan tanpa alasan/sebab yang dapat di jelaskan.Â
Sebagai informasi, keilmuan "jampe jampe" sebenarnya pernah dipakai oleh seorang tokoh intelektual Nusantara bernama Sostrokartono. Sostrokartono merupakan kakak dari tokoh wanita Nusantara yaitu RA. Kartini yang memiliki kemampuan berbahasa hingga 26 bahasa, Sostrokartono dahulu pernah bekerja sebagai wartawan di Belanda dan sering mengunjungi kerajaan tempat Ratu Belanda tinggal, pada suatu hari di kerajaan tempat Ratu Belanda tinggal terdapat keriuhan dikarenakan cucu dari Ratu Belanda mengalami sakit yang tidak kunjung sembuh walau sudah di bawa ke dokter, melihat kecerdasan satu satunya anak dari Asia yang dimiliki oleh Sostrokartono, Ratu Belanda lantas bertanya kepada Sostrokartono apakah bisa menyembuhkan cucunya atau tidak, Sostrokartono lantas menjawab bisa dan langsung datang kepada cucu Ratu Belanda dan membawa segelas air yang telah di "jampe jampe" lalu menyuruh cucu Ratu Belanda minum sembari mengusap kepalanya. Berselang 1 hari dari kejadian tersebut ternyata cucu Ratu Belanda sembuh dari sakitnya.
Dari kejadian tersebut Ratu Belanda merasa terheran heran lantas bertanya kepada Sostrokartono bagaimana caranya air yang diberi "jampe jampe" dapat menyembuhkan orang sakit, Sostrokartono lantas menjawab tidak tahu, adapun yang dilakukan oleh dirinya kepada cucu Ratu Belanda merupakan ajaran orang tua terdahulu di bumi nusantara dalam menyembuhkan orang sakit. Berdasarakan sejarah tersebut bahwasannya keilmuan "jampe jampe" merupakan keilmuan yang tidak terkena hukum kausalitas atau dalam bahasa akademis yang lain disebutkan sebagai keilmuan metakosmos. lain halnya dengan dengan keilmuan yang diajarkan oleh orang barat bahwasannya semua aspek keilmuan harus berdasarkan hukum kausalitas baik itu mengenai mikrokosmos ataupun makrokosmos. karena menurut mereka hukum sebab akibat tidak dapat dipisahkan dari apa apa yang terjadi di muka bumi ini. Keilmuan yang diajarkan oleh leluhur nusantara mengajarkan bahwa ajaran mereka hanya menitik beratkan pada nilai bijak yaitu jika ajaran yang di anggap magis dapat menyembuhkan orang lain maka sudah tidak perlu menanyakan aspek kausalitas lagi. Oleh karenanya di dalam keilmuan akademis perlu ditambah selain makrokosmos dan mikrokosmos terdapat juga keilmuan metakosmos. Dan dewasa ini, ajaran "jampe jampe" yang diajarkan oleh leluhur Nusantara masih banyak diamalkan oleh tokoh masyarakat untuk menyembuhkan, meruqyah, dsb. Lestarikanlah keilmuan metakosmos sebab suatu saat nanti keilmuan tersebut dapat teruji secara klinis dan akademis.
SUMBER REFERENSI:
Indrawardana, I. (2014). "BERKETUHANAN DALAM PERSPEKTIF KEPERCAYAAN SUNDA WIWITANÂ ". Diakses melalui: file:///C:/Users/AZMI/Downloads/1284-Article%20Text-2670-1-10-20141208.pdf
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H