Penalaran serupa dengan penalaran proporsional adalah penalaran probabilistic. Penalaran jenis ini menentukan tingkat kesimpulan yang diambil memberi kemungkinan benar atau memberi kemungkinan tidak benar. Penalaran model ini menggambarkan penempatan kualitas informasi yang diperoleh memiliki sifat peluang terhadap akurasi content dari informasi tersebut. Penalaran probabilistic ini dapat tercermin dari pernyataan perbandingan atau pernyataan yang mempertimbangkan sesuatu, contoh menjelang hari raya setiap jalur darat yang dilewati pemudik berpotensi macet, sehubungan dengan penerapan kurikulum 2013 maka evaluasi atas kurikulum sebelumnya masih menunjukkan relevansinya untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Namun dalam kenyataannya penalaran probabilistic-pun tidak lepas dari peluang kesesatan disetiap pernyataan keseharian yang muncul yakni digunakannya kata “mungkin” untuk menggambarkan satu pemusatan kesimpulan atas suatu objek pendapat, contoh mungkin karena puasa jadi tidak bersemangat dalam menyelesaikan pekerjaannya, sebentar lagi akan hujan mungkin pertunjukan wayang kulit malam ini akan dibatalkan, dan masih banyak lagi. Kata “mungkin” menjadi penanda probabilitas yang sebenarnya tidak menunjukkan peluang tapi ketidakpastian atas alur logika yang diambil dalam menyusun kesimpulan, “mungkin” lebih didorong oleh soal-soal psikis seperti takut salah, takut pernyataannya dievaluasi dan ditempatkan sebagai pesakitan karena berpendapat tidak benar atau pernyataan “mungkin” itu sebagai aktualitas verbal dalam mengambil posisi resisten terhadap audiens yang dianggap memiliki otoritas tertentu. Jadi “mungkin” penalaran probabilitas dapat menjadi model berpikir yang perlu dilatih agar kata “mungkin” benar-benar tidak ditempatkan lagi sebagai wakil/representasi atas logika probabilitas peluang.
3) Penalaran Korelasional
Untuk penalaran korelasional merupakan pola pikir yang berkisar pada hubungan timbal-balik atau hubungan terbalik antar unsur dari sekian informasi yang telah diyakini memiliki akurasi content dalam informasi tersebut. Penalaran korelasional mencerminkan penentuan atas kuat tidaknya suatu hubungan timbal-balik, baik secara linier maupun dialektik. Contoh penalaran korelasional ini banyak ditemukan dalam model berpikir matematik, maupun model berpikir deduktif dan induktif. Model berpikir matematik ini biasanya disebut proposisi. Ada 20 jenis proposisi dalam model berpikir matematik, diantaranya misal Proposisi Kategorik : Plato nama seekor anjing peliharaan Mickey Mouse; Proposisi Negative : meja bukan kursi; Proposisi Universal : setiap sarjana lulusan IKIP adalah pendidik; Proposisi Particular : sebagian manusia tidaklah bodoh hanya khilaf menjadi bodoh; Proposisi Apodiktik (kemestian/keharusan) : lima adalah sepuluh dibagi dua; Proposisi Empiric : jari tangan kiri manusia ada lima; Proposisi Majemuk (mengandung lebih dari satu pernyataan) : Abduh orang yang bijaksana dan rajin. Pernyataan itu memiliki dua pernyataan yaitu Abduh orang yang bijaksana. Abduh sangat rajin; Proposisi Kondisional/Implikatif : Jika Abduh murid yang rajin maka Abduh akan lulus ujian; Proposisi Ekseptif : Selain Abduh tidak ada lagi siswa yang mampu menyelesaikan soal matematika yang rumit itu; Proposisi Disjungtif (salah satu pernyataan salah) : Abduh atau Asyari adalah pemimpin sejati, dan lain sebagainya. Secara umum penalaran korelasional ini banyak ditemukan disetiap argument atau pernyataan-pernyataan komunikatif yang justru menunjukkan ketidaktepatan korelasional dalam alur logika yang dikemukakan, yang sering muncul diantaranya sekedar contoh : kalau ingin kejujuran ditegakkan dalam UN maka sangat tergantung pada siswa sebagai peserta UN, semua tergantung pada pemahaman anggota organisasi mau serius belajar atau sekedar main-main cari pacar, bukan pada berani atau tidak untuk merealisasikan agenda besar itu tapi siapa yang mau berkorban untuk merealisasikannya, dan masih banyak lagi contoh-contoh yang berhubungan dengan sesatnya penalaran korelasional ini. Kata “tergantung” menjadi tanda kalau terjadi hubungan kuat antara satu pernyataan dengan pernyataan lain yang sebenarnya tidak menggambarkan hubungan timbal-balik justru menafikan hubungan timbal-balik itu menghasilkan klaim-klaim yaitu sejenis logika penundukkan dan penguasaan dengan tujuan kepuasan karena telah berhasil melakukan tekanan logis atas otoritas tertentu yang dikandung dari suatu pernyataan. Dalam hal ini kerja-kerja afektif naluriah menampakkan diri melalui topeng rasionalitasnya. “Bukan pada berani atau tidak untuk merealisasikan agenda besar itu” sama dengan pernyataan diatas kalau pernyataan ini juga mengandung kesesatan penalaran korelasional yaitu pembiasan atau distorsi logika atas hubungan timbal-balik yang terkandung dalam pernyataan itu. Dan masih banyak contoh dalam keseharian kita yang bisa kita temukan, yang menunjukkan telah terjadi kesesatan penalaran korelasional.
4) Penalaran Kombinatorial
Sedangkan penalaran kombinatorial merupakan formasi penalaran yang bertumpu pada proses berpikir dalam pemecahan masalah. Penalaran kombinatorial ini menuntut suatu kompetensi didalam mempertimbangkan seluruh alternative pada situasi tertentu sehingga masalah dapat dipecahkan. Kekuatan kombinasi dari penalaran ini adalah kemampuan kognitif dalam memilih, memilah, dan mengisolasi factor-faktor yang berhubungan ataupun tidak berkaitan tapi memiliki kecendrungan menjadi alternative pemecahan masalah. Upaya untuk menghubungkan dan mengisolasi sekian factor-faktor ini hingga menjadi solusi yang efektif sekaligus efesien menjadi watak dasar penalaran jenis ini. Contoh dari penalaran kombinatorial ini dapat kita temukan diantaranya tidak sedikit mahasiswa yang membaca buku suka mengoleksi buku-buku yang dibacanya. Kombinasi yang muncul dari pernyatan ini adalah “mahasiswa”, “membaca buku”, “koleksi buku yang dibaca”, masalah yang berpeluang muncul adalah mahasiswa sosok belajar yang dekat dengan pengetahuan dimana mahasiswa dapat muncul menjadi sosok pemalas yang jarang belajar tapi pacaran atau sibuk mengoleksi dan mencari pacar. Masalah eksistensialis ini akhirnya menjadi penalaran yang benar karena dalam kenyataan, aktualitas mahasiswa malas belajar tapi rajin pacaran mengalami pembenaran hingga mewujud menjadi pola umum yang identik dengan mahasiswa. Jelas secara penalaran kombinatorial ini merupakan kesesatan berpikir. Demikian pula Tridharma Perguruan Tinggi lebih mempersiapkan dosen untuk tidak sekedar mengajar tapi melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat. Identitas dosen dikombinasikan dalam arena tanggungjawab akademik berwujud Tridharma Perguruan Tinggi. Masalah yang berpeluang muncul adalah tidak sedikit dosen lebih mengutamakan mengajar daripada penelitian dan pengabdian masyarakat. Jelas memang seperti itu kenyataannya karena tidak jarang pula dosen melakukan penelitian atau pengabdian masyarakat lebih dilandasi karena paksaan atau tuntutan dari atas ketimbang inisiatif dan kesukarelaan akademik dari dosen itu sendiri. Pelaksanaan silahturahmi berbentuk buka puasa bersama dari suatu komunitas belajar tentu lebih mempersiapkan kegiatan penalaran ketimbang persiapan makanan untuk berbuka, namun peluang masalah yang kemudian muncul adalah inisiatif lebih mengedepankan urusan makan-minum daripada mempersiapkan model penalaran apa yang akan dikemukakan, apakah diskusi, apakah sharing actual dalam memaknai bulan suci, atau sumbangan tulisan yang dapat dijadikan bahan rembug saran untuk mengisi acara buka bersama itu. Hal ini dapat terjadi karena penekanan subjek penalaran ada pada “buka puasa” yang identik dengan makan-minum padahal “buka puasa” tidak sekedar “sudah sah untuk” makan-minum. Jelas ini merupakan distorsi atas penalaran kombinatorial, yang telah mewarnai pola pikir pada umumnya yang telah dianggap sebagai suatu kewajaran semata. Agar tercapai tujuan yang sesuai dengan aspirasi maka sangat ditentukan dari cara pandang yang didasari cara pikir yang diambil. Pernyataan inipun sering muncul dan tidak jauh berbeda dengan pernyataan diatas sangat bias penalaran kombinatorial yaitu menempatkan subjek penalaran pada “cara pandang” dan “cara pikir”. Bias-nya adalah apa yang menentukan “cara” itu hingga dapat dikenakan untuk konteks berpikir dan berpandangan, serta bagaimana tahu kalau itu adalah “cara” sehingga pernyataan itu (Agar tercapai tujuan yang sesuai dengan aspirasi maka sangat ditentukan dari cara pandang yang didasari cara pikir yang diambil) mengandung penalaran kombinatorial yang sahih secara alur logisnya. Dan masih banyak contoh-contoh lain dalam keseharian kita yang berkaitan dengan kesesatan berpikir dalam penalaran kombinatorial ini.
Demikianlah beberapa formasi penalaran yang secara tidak sadar telah kita gunakan ditiap pentas komunikatif yang dilakukan baik secara perseorangan maupun kolektif. Formasi penalaran itu sendiri merupakan alur dari system pengetahuan realitas yang perlu diuji empiriskan kembali agar lebih terumuskan hingga dapat dijadikan pedoman pembelajaran bagi cara untuk berpikir kita masing-masing. Meskipun disadari pemaparan ini-pun tak luput dari bias subjektif namun setidaknya melalui uraian tulisan ini dapat diperoleh penjajagan awal atas tingkat kualitas dari penalaran yang telah dilakukan.
Mohon dimaklumi kalau bernalar itu sendiri sangat dipengaruhi oleh model serta pola pendidikan dan cara pembelajaran yang dilakukan khususnya bagi kita sebagai bangsa timur yang sarat dengan nilai-nilai religio-magis, sangat penuh dengan hal-hal agamis tapi jauh dari hal-hal yang rasionalis hingga secara agama berusaha untuk tetap benar dan tidak sesat tapi secara berpikir dan bernalar sesat dimana-mana, itulah identitas kita sehakekat-hakekatnya. Berupaya untuk mematuhi perintah Tuhan sampai darah penghabisan tapi tidak mengerti dibalik perintah itu menuntut kualitas untuk bernalar dan berpikir, karena Tuhan-pun tidak menginginkan umatNya bodoh apalagi jahil, itulah dasar universal dari tiap ajaran Tuhan yang dibahasakan oleh masing-masing agama, yang ditakdirkan berbeda-beda ini agar saling mengenal dan berlomba-lomba mewujudkan kebaikan di atas mayapada ini. Karena menjadi pemeluk agama telah mengandung resikonya sendiri-sendiri. Jadi sekali lagi berpikir dan bernalar itu sangat penuh resiko, apalagi tidak berpikir dan bernalar lebih beresiko lagi, meskipun tahu agama beserta hukum-hukumnya.
Pustaka Tulisan
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No. 075, November 2008 Tahun ke-14, Jakarta: Balitbang Diknas, hlm. 1054-1057.
Abimanyu, S. 1987. Teori Belajar dan Implikasinya dalam Proses Belajar Mengajar. Ujung Pandang: P3T IKIP Ujung Pandang (sekarang Universitas Negeri Makassar)
Hidayah, Siti. 2004. Konsumerisme Religius : Etika Agama dalam Etos Konsumsi, Skripsi Jurusan Antropologi FIB UGM, tidak diterbitkan.