Mohon tunggu...
Drei Pandu Ananto
Drei Pandu Ananto Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

mau tidur

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merayakan Perbedaan, Menyatukan Indonesia

22 November 2024   09:02 Diperbarui: 22 November 2024   19:39 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekskursi Kolese Kanisius di Pesantren Al-Ittifaq/Dok. pri

Di dunia ini kita berdansa,

Dalam simfoni kehidupan yang penuh warna.
Beda warna, beda nada,
Namun, bersama-sama kita mencipta.
 

Perbedaan adalah harta yang perlu dijaga,
Seperti potret bunga-bunga di taman.
Budaya yang beraneka ragam,
Menambah kekayaan dalam perjalanan ini.

Pada tanggal 30 Oktober 2024, pelajar Kolese Kanisius pergi melakukan ekskursi dengan satu tujuan. Membangun kesatuan dalam perbedaan. Perjalanan tiga hari ini menyuarakan satu nilai dominan, yaitu toleransi antar agama. Di tengah kesibukan seorang pelajar di Kolese Kanisius, kami diutus untuk meluangkan waktu demi memperkuat relasi dengan warga berkeyakinan Islam. Perbedaan bukan merupakan hal asing di Indonesia, terutama dalam hal agama.

Hari pertama

Pada pukul 07.00 WIB, briefing perjalanan dimulai. Pelajar Kolese Kanisius sudah dibekali dengan informasi dari narasumber-narasumber ternama untuk mempersiapkan diri dalam mengenal budaya dan gaya hidup baru di pesantren pada hari sebelumnya. Tidak lama kemudian, bus-bus memulai keberangkatannya menuju pesantren masing-masing. Perjalanan saya adalah menuju pesantren Al-Ittifaq.

Keberadaan pihak Kolese Kanisius di Pesantren Al-Ittifaq langsung disambut dengan sangat hangat. Kedatangan kami di pesantren dimulai dengan mempertunjukkan kamar yang akan kami tinggali untuk tiga hari ke depan. Setelah itu, kegiatan ekskursi dimulai dengan melakukan upacara pembukaan di tempat pesantren tersebut. Tempat pesantren yang saya ekspektasikan ternyata sangat jauh dengan kenyataan. Tentunya, saya tidak tahu banyak mengenai budaya, kebiasaan, dan cara hidup seorang muslim sejak saya sendiri ada penganut agama Katolik, jadi semua pengalaman yang saya dapatkan di sana menjadi pengalaman yang baru.

Mendengar rumor bahwa pesantren yang saya kunjungi menjadi salah satu yang terbaik di antara pesantren lain yang kelompok ekskursi lainnya dapatkan—membuat saya bersyukur dengan apa yang saya dapat, meskipun ada beberapa first impression yang kurang menyenangkan juga.

"There are only two ways to live your life. One is as though nothing is a miracle. The other is as though everything is a miracle."
— Albert Einstein

Setelah upacara pembukaan sudah selesai, kami beristirahat dengan makan siang dan berinteraksi dengan kelompok ekskursi yang masih baru. Terdapat percikan semangat saat kami dikabari bahwa kami akan berkeliling di sawah luas yang bisa langsung dilihat dari atap pesantrennya. Namun, percikan itu tidak dialami sebagian besar dari kelompok saya.

Keliling mengelilingi sawah yang luas membuat saya takjub dengan pemandangannya yang luar biasa. Berkeliling bersama sesama teman, santri, dan santriwati memberikan suasana yang tepat untuk menikmati udara yang segar dan pengalaman yang unik karena jalan sawah yang juga menantang. Tapi ada yang menarik perhatian saya selama berkeliling. Saya sadar bahwa di antara komunitas yang berkarya di bidang pertanian, mereka masih menghadapi masalah etika dasar, yaitu membuang sampah sembarangan. Dari sini saya belajar nilai yang penting.

Orang bisa sangat terampil dalam bidangnya, tetapi terkadang kita terlalu fokus pada hal-hal yang kompleks sehingga kita lupa akan hal-hal dasar. Saya merasa itu teori dibalik fenomena tersebut. Itu hal buruk pertama yang saya lihat di sana.

Pada waktu malamnya, kami mengikuti ibadah Islam sekaligus mengikuti acara penutupan lomba di komunitas Pesantren Al-Ittifaq. Di dalam masjid, kami berkesempatan untuk melihat cara mereka beribadah, budaya yang mereka rawat, dan kebiasaannya. Lagi-lagi, ekspektasi saya berbeda jauh dengan kenyataan akan cara mereka menjalankan agamanya. Saya mulai berpikir bahwa saya telah dicuci otak oleh media sosial dan berita yang hanya memperlihatkan sisi buruknya. Apa yang telah saya pikirkan selama ini membentuk diri saya yang sekarang. Dengan demikian, ekspektasi saya hampir selalu dihantam dengan kenyataan saat saya di pesantren.

"The mind is everything. What you think you become."
— Buddha

Hari kedua

Dimulai dengan bangun pada pukul empat subuh. Kami masih merasa lelah tetapi para warga sudah pergi mengaji. Kami ikut mengaji meskipun telat karena tidak terbiasa bangun sepagi itu. Dilanjutkan dengan makan pagi berupa daging yang lezat, sayuran, dan nasi yang berlimpah.

Agenda hari itu pun diumumkan dan saya tahu bahwa hari kedua ini (hari kamis) akan menjadi sangat seru dan berkesan. Pada hari itu, kami akan belajar bagaimana komunitas di sana bisa bertahan dengan berkarya dalam bisnis konsumsi dan pertanian. UMKM mereka berfokus pada konsumsi, maka kegiatan selanjutnya adalah bagaimana cara membuat mochi, bertanam, dan berternak. Di selang waktu, kami juga mengunjungi sekolah yang sangat berdekatan dengan masjid terdekat. Pada akhirnya, setelah semua itu sudah selesai, kami akan melakukan perjalanan ke curug sejauh 4 kilometer menanjak.

Sejujurnya, saya terkesan dengan praktek mereka. Kebanyakan sekolah memprioritaskan teori daripada praktek, tetapi Pesantren Al-Ittifaq langsung terjun ke dunia UMKM dengan guru yang juga memiliki pengalaman di bidangnya. Saya merasa bahwa ajaran seperti ini akan dengan matang mempersiapkan para santri dan santriwatinya dalam bertahan hidup setelah keluar dari pesantren tersebut. Tidak ada cara belajar yang lebih baik daripada langsung mempraktekannya.

Saya juga mengapresiasi betapa sederhana sekolahnya. Pelajar di sana akan duduk di lantai karena tidak tersedia bangku dan meja pun hanya setinggi dengkul, hal yang sama juga berlaku bagi gurunya. Memang hal yang paling penting dalam sekolah adalah keterlibatan siswa dalam pembelajaran yang dilakukan oleh guru yang benar-benar mendedikasikan dirinya demi generasi selanjutnya. Dibandingkan dengan siswa di Kolese Kanisius, kami kalah jauh.

Perjalanan ke curug membutuhkan waktu kurang lebih satu jam dan pemandangannya memanggil kami untuk berenang. Bagi yang tidak tahu, air curug sangatlah dingin, tapi saya tidak pernah menyelam ke dalam curug dan sangat disayangkan jika saya pergi tanpa mengetahui rasa dingin yang mencekam. Dari situlah saya memaksa diri saya untuk melakukan hal yang tidak nyaman. Meskipun demikian, ketidaknyamanan itu memberikan saya pengalaman yang tidak terlupakan. Ini sangat mencerminkan bagaimana sistem kehidupan kita bekerja. Kita berkembang jika melakukan hal yang dibenci, itu sudah merupakan hukum kehidupan.

"The first and best victory is to conquer self."
— Plato

Kegiatan hari kamis tersebut diakhiri dengan mengaji selama dua jam. Pengajian malam itu selesai pada pukul sembilan malam, dilanjutkan dengan evaluasi hingga pukul sepuluh, dan siap beribadah lagi pada pukul tiga subuh. Saya masih kagum dengan konsistensi dan dedikasi mereka dalam menjalankan kewajiban agama mereka setiap hari. Tidak semua orang bisa melakukannya.

Hari ketiga

Hari terakhir dimulai dengan bangun pada pukul empat subuh lagi dan beribadah dekat dengan makam. Ibadah tersebut disertai semangat dari pada pemuda yang sedang berdoa. Mereka layaknya teriak selama berdoa padahal waktu masih menunjukkan setengah lima subuh. Energi yang luar biasa sedangkan saya hanya berdiam sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan saya kepada mereka yang sedang menjalani kewajiban agamanya. Sesudah itu, kami diberikan kesempatan untuk membereskan semua barang bawaan kami dan langsung makan pagi. Diinformasikan bahwa agenda pada hari terakhir sangatlah sedikit dan padat karena kami sudah harus berangkat sekitar pukul sebelas pagi.

Selama menjalankan hari ketiga, saya sebenarnya kurang semangat karena telah menggunakan hampir semua energi saya pada hari sebelumnya yang amat sangat berbeda suasananya dengan hari terakhir. Pada poin ini, saya yakin semua siswa hanya ingin cepat-cepat pulang. Bagaimanapun juga keinginan saya, pada waktu itu saya tetap ingin terus menjalani ekskursi dengan hati yang masih sedikit terbuka pada pengalaman baru meskipun kurang unik dibandingkan dengan pengalaman curug. Bagi saya, ini merupakan tantangan mental dan hanya berusaha seikhlas mungkin.

Perjalanan pertama pada hari itu adalah perjalanan menuju rumah jamur dan beternak lagi. Saya sadar akan keberagaman mereka dalam mengelola sebuah bisnis dan hanya bisa mengaguminya. Setelah itu, kami balik ke tempat penginapan untuk bersiap-siap dengan upacara penutupan ekskursi tahun 2024 dan satu jam kemudian mulailah perjalanan balik kami ke sekolah tercinta, Kolese Kanisius.

Secara keseluruhan, tentu nilai yang paling dominan adalah nilai toleransi sejak itu tujuan utama dari ekskursi. Namun, saya memang tidak membahas banyak toleransi karena sejak dulu saya memang merupakan pribadi yang sangat toleransi. Saya lebih cenderung mendapat nilai-nilai yang bersifat pribadi seperti mengontrol emosi, bersikap sabar, interaktif dengan para santri dan santriwati, rela membantu dengan tulus, disiplin, dan nilai-nilai kehidupan lainnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa tidak hanya nilai yang saya dapatkan selama ekskursi tetapi juga kenangan dan memori indah. Saya ingin menutup pengalaman ini dengan quote dari John Locke.

"Pengalaman adalah guru terbaik, tetapi hanya jika Anda belajar darinya."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun