Keliling mengelilingi sawah yang luas membuat saya takjub dengan pemandangannya yang luar biasa. Berkeliling bersama sesama teman, santri, dan santriwati memberikan suasana yang tepat untuk menikmati udara yang segar dan pengalaman yang unik karena jalan sawah yang juga menantang. Tapi ada yang menarik perhatian saya selama berkeliling. Saya sadar bahwa di antara komunitas yang berkarya di bidang pertanian, mereka masih menghadapi masalah etika dasar, yaitu membuang sampah sembarangan. Dari sini saya belajar nilai yang penting.
Orang bisa sangat terampil dalam bidangnya, tetapi terkadang kita terlalu fokus pada hal-hal yang kompleks sehingga kita lupa akan hal-hal dasar. Saya merasa itu teori dibalik fenomena tersebut. Itu hal buruk pertama yang saya lihat di sana.
Pada waktu malamnya, kami mengikuti ibadah Islam sekaligus mengikuti acara penutupan lomba di komunitas Pesantren Al-Ittifaq. Di dalam masjid, kami berkesempatan untuk melihat cara mereka beribadah, budaya yang mereka rawat, dan kebiasaannya. Lagi-lagi, ekspektasi saya berbeda jauh dengan kenyataan akan cara mereka menjalankan agamanya. Saya mulai berpikir bahwa saya telah dicuci otak oleh media sosial dan berita yang hanya memperlihatkan sisi buruknya. Apa yang telah saya pikirkan selama ini membentuk diri saya yang sekarang. Dengan demikian, ekspektasi saya hampir selalu dihantam dengan kenyataan saat saya di pesantren.
"The mind is everything. What you think you become."
— Buddha
Hari kedua
Dimulai dengan bangun pada pukul empat subuh. Kami masih merasa lelah tetapi para warga sudah pergi mengaji. Kami ikut mengaji meskipun telat karena tidak terbiasa bangun sepagi itu. Dilanjutkan dengan makan pagi berupa daging yang lezat, sayuran, dan nasi yang berlimpah.
Agenda hari itu pun diumumkan dan saya tahu bahwa hari kedua ini (hari kamis) akan menjadi sangat seru dan berkesan. Pada hari itu, kami akan belajar bagaimana komunitas di sana bisa bertahan dengan berkarya dalam bisnis konsumsi dan pertanian. UMKM mereka berfokus pada konsumsi, maka kegiatan selanjutnya adalah bagaimana cara membuat mochi, bertanam, dan berternak. Di selang waktu, kami juga mengunjungi sekolah yang sangat berdekatan dengan masjid terdekat. Pada akhirnya, setelah semua itu sudah selesai, kami akan melakukan perjalanan ke curug sejauh 4 kilometer menanjak.
Sejujurnya, saya terkesan dengan praktek mereka. Kebanyakan sekolah memprioritaskan teori daripada praktek, tetapi Pesantren Al-Ittifaq langsung terjun ke dunia UMKM dengan guru yang juga memiliki pengalaman di bidangnya. Saya merasa bahwa ajaran seperti ini akan dengan matang mempersiapkan para santri dan santriwatinya dalam bertahan hidup setelah keluar dari pesantren tersebut. Tidak ada cara belajar yang lebih baik daripada langsung mempraktekannya.
Saya juga mengapresiasi betapa sederhana sekolahnya. Pelajar di sana akan duduk di lantai karena tidak tersedia bangku dan meja pun hanya setinggi dengkul, hal yang sama juga berlaku bagi gurunya. Memang hal yang paling penting dalam sekolah adalah keterlibatan siswa dalam pembelajaran yang dilakukan oleh guru yang benar-benar mendedikasikan dirinya demi generasi selanjutnya. Dibandingkan dengan siswa di Kolese Kanisius, kami kalah jauh.
Perjalanan ke curug membutuhkan waktu kurang lebih satu jam dan pemandangannya memanggil kami untuk berenang. Bagi yang tidak tahu, air curug sangatlah dingin, tapi saya tidak pernah menyelam ke dalam curug dan sangat disayangkan jika saya pergi tanpa mengetahui rasa dingin yang mencekam. Dari situlah saya memaksa diri saya untuk melakukan hal yang tidak nyaman. Meskipun demikian, ketidaknyamanan itu memberikan saya pengalaman yang tidak terlupakan. Ini sangat mencerminkan bagaimana sistem kehidupan kita bekerja. Kita berkembang jika melakukan hal yang dibenci, itu sudah merupakan hukum kehidupan.
"The first and best victory is to conquer self."
— Plato