Mohon tunggu...
Noor Azizah
Noor Azizah Mohon Tunggu... pelajar -

email baru avantidm@gmail.com. terimakasih.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Pengantin (ber) Gaun Biru

4 Oktober 2016   01:40 Diperbarui: 4 Oktober 2016   09:01 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

 

Aku termangu di depan jendela yang terbuka, duduk di sofa dalam kamarku. Langit indah dengan taburan bintang menemani bulan sabit, menggantikan mentari yang lelah bersinar.

Aku memandang langit dengan hati tak menentu. Belitan keresahan berpilin tak berkesudahan. Aku tak tahu haruskah aku meneteskan airmata, ataukah aku beranggapan ini semua tak nyata.

Adegan sore menjelang senja tadi masih kuat dalam ingatan setiap detilnya.

Langit berangsur jingga. Menjadi latar, syahdunya suara yang begitu akrab ditelingaku, melantunkan janji suci sehidup semati. Suara yang biasa menemani mengusir sepi, pelipur rinduku, sekarang mendatangkan badai petir dihatiku.

 Nada tegas suaranya, menggetarkan gendang telingaku. Seketika membawa ribuan belati mencincang hatiku tanpa ampun. Bahkan tak tersisa serpihan terkecil pun. Aku berharap langit runtuh menimpaku atau bumi terbelah menelan tubuhku. Agar aku tak perlu tahu kenyataan yang membunuh jiwaku. Menyerap habis energi kehidupanku. Tentu saja yang kuinginkan tak terjadi. Aku jadi begitu iri dengan kaki lincah antelop yang gesit berlari menghindar dari sergapan leopard. Karena kakiku tertanam kuat tak bisa kugerakkan. Aku jadi memahami kenapa gajah mengeluarkan suara terompet berisik saat marah. Karena aku pun ingin berteriak dengan kemarahan, bahwa kau milikku. Tapi kau memang bukan milikku apalagi sekarang. Dan mulutku terkunci rapat. Meski ingin kubuka lebar, selebar bentang lenganmu saat merengkuhku menenggelamkanku dalam hangat detak jantungmu, tak bisa. Aku tak bisa melakukan yang kuingin kulakukan.

 Wajahmu memang tak sebahagia yang kukira. Tak menyiratkan raut senada ikrar sucimu. Disana seolah berkata,"Aku tak bisa memberimu cinta membara. Tak bisa merindu menggebu, ataupun menggila menginginkanmu. Tapi aku adalah suamimu. Kau adalah tanggung jawabku."
Dan aku seolah mendapat tamparan atas apa yang kubaca di wajah pengantinmu."Tak apa, aku toh tak juga mencintaimu meski aku berjanji setia padamu seperti bintang setia pada bulan. Aku adalah bulan yang bersembunyi tatkala matahari muncul. Bukan karena aku tak ingin ada disampingmu, tapi karena cintamu tidak untukku. Kita akan berteman, dan bersama menempuhi jalan bersama."

 Aku benci memandang tangannya merasakan hangat genggammu. Aku benci memandang matanya menatap sorotmu. Aku benci melihat dia disampingmu. Aku benci dia memilikimu. Tapi tidak. Aku ternyata tak bisa membenci kalian. Meski hatiku tertikam, aku tak merasakan benci. Meski nyeri menjalari sekujur tubuhku. Membelit erat dan duri-durinya menusukiku. Aku tak merasakan kebencian. Justru bara kemarahan membakarku. Karena aku tak bisa berlari dari sini, aku tak bisa keluar dari perangkap hatimu. Yang sekarang kau buka lebar untukku agar aku bisa berlari keluar. Aku meletakkan harapan bak pungguk merindukan bulan. Seperti mengikat asap. Karena kau tak pernah ingin ada disampingku.

Kau berkali kali meyakinkanku untuk meletakkan harapan. Dan bodohnya aku  karena jiwaku masih berguncang, setiap kusebutkan namamu. Padahal aku sekarang tahu kau diciptakan bukanlah untukku. Sekarang itu pasti. Tapi sayangnya aku tak mau peduli. Sebab cinta kadangkala memang bukan untuk bersatu. Mungkin kau datang untuk mengajariku tentang keikhlasan tentang kesakitan. Tentang menyerah untuk sebuah harapan yang harus kusandarkan.

Kau menyerahkan dirimu pada dia yang nyata daripada menantikan pertemuan denganku yang fatamorgana. Dan kau memang bukan tulang rusukku. Karena tulang rusuk tak pernah tertukar. Kau memberiku janji kebersamaan yang tak pernah kau tepati. Kau melepaskan genggammu padaku. Berpaling meninggalkan aku di tengah perjalanan membiarkan aku berdiri terperanjat menghadapi dentuman pertanyaan besar dalam benakku. Kau membuaiku dalam angan panjang tentang sebuah cita cita. Sekarang, senyata dia didepanmu. Sejauh aku membayangimu. Aku tak akan bisa melupakan kenangan akan rasa sakit yang kau berikan. Meski seiring waktu akan berlalu. Dan kukira tak ada bahagia diatas luka. Tetapi aku dalam upaya mengikhlaskan mendoakan kau bahagia.

Adegan berikutnya, aku menyaksikan kau tuntun dia melangkah menuruni tangga batu dari rumah mungil tempat kau ucapkan ikrar setiamu menuju pesta kecil. Aku masih berdiri di sana, dibawah lemparan kelopak bunga yang menaburi jalan kalian. Senyum kalian tersungging, genggam kalian mengerat seakan menantang dunia, meski tanpa cinta kalian akan berjuang mempertahankan cerita kalian dan menjaga ikatan rapuh kalian. Mungkin suatu saat menguat bisa jadi hancur berantakan. Dan aku tak ingin menjadi penyebab hancurnya ikatan rapuh kalian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun