Aku bimbang, antara memberinya kabar dan tidak. Aku tahu, dia menanti kabarku. Tapi relung hatiku memilih tidak melakukan. Biarlah. Toh aku membencinya kan? Untuk apa kuberi dia kabar. Tak ada urusan. Aku memilih memposting di dinding facebook. Dia pasti melihatnya, lantas nyinyir berkomentar, menghadirkan puluhan notifikasi.
Tapi, jauh di sudut hati, aku ingin memberinya kabar. Mungkin sedikit rindu, menatap wajahnya, mencari cari dalam sorot matanya. Sesuatu yang ingin kuyakini, namun aku takut menemukan apa yang kucari. Kuyakinkan diriku dan dia, aku membencinya. Itu lebih baik bagi kami berdua. Dia dan aku memiliki dunia yang berbeda, meski kami memiliki kesamaan dalam hal kesukaan dan sifat, tak membuatku dan dia tanpa sekat. Terasa ada batasan dinding tinggi yang kami pasang, dan kami berlomba saling meninggikan, sekaligus berusaha mencari pintu sambungan dalam diam.
***
 Al mengabarkan dia ingin bergabung dalam pendakianku Desember ini. Ungaran dan Telomoyo, dua gunung dalam satu waktu. Aku mengiyakan. Pun Rama mengungkapkan keinginan untuk ikut. Selang berapa lama, Abi urun suara bergabung. Timku ideal empat orang.
"Kau dimana?"
"Di lab Matematika. Kenapa?"
"Aku perlu bantuanmu."
"Oke, datang saja ke lab. Kutunggu."
Aku baru saja melepas jas lab, membereskan peralatan pengamatan, mencatat dalam jurnal, saat pintu lab terbuka. Dia tak pernah mengetuk pintu, saat tahu aku berada dalam ruangan. Mengambil kursi, duduk diam di sana mengamatiku membereskan peralatan praktikum.
Ku tarik kursi dan duduk di depannya. Belum sempat ku buka mulut, seraut wajah muncul di ambang pintu. Udin, tersenyum sumringah dengan mata jenaka dibalik kacamata.
"Halo," sapanya, "Apa kabarmu?"