Dan layar pun diturunkan. Kuayunkan kakiku melangkah pergi. Kita tak bisa lagi bersama.
Dan aku mendapati airmataku sudah berhamburan menetes membentuk aliran kecil dipipiku. Meski tak bisa menyembuhkan luka, tak mengurangi sakitnya hatiku, kutumpahkan dalam isakan tergugu. Aku menangis karena betapa bodohnya tak bisa kutahan deraian air mata yang tak berguna meski airmataku mengisi samudra. Aku tak menyalahkan mereka, atas lukaku. Akulah yang memutuskan untuk terluka atau tidak. Sembilu hati, merasakan badai petir seperti yang dirasakan Salman Al Farisi.Â
Malam semakin larut, menghanyutkan rasa, meski tak ada cinta, bukan berarti tak bisa. Sudah menjadi kewajiban keduanya. Pedihku semakin menjadi, laraku semakin ngilu tak terperi. tetesan airmataku tak terbendung lagi. Kau sekarang tak mungkin peduli. Tak boleh lagi untuk peduli.Â
Lambaian kudung putih tertiup angin senja, senada dengan bunga putih yang dia pegang. Dan serasi dengan gaun biru pada tubuh rampingnya. Se Biru Langit, menusuk Qolbu dia bersanding bak Fatimah  AzZahra pada Ali.Â
*lahat, 4 okt’16
Aku benar Bang? Aku tahu, meski tak ada yang memberitahuku, seperti halnya Roksy. Takdirku tahu maka aku tahu.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H