Singkong, makanan desa tak berkelas. Tak pernah masuk hitungan makanan layak saji. Sekedar teman minum teh di sore hari sambil nonton tv.
Itu di sini. Di kotamu. Dimana orang saat lapar terbiasa menghadapi sepiring nasi putih bersih kadang mengepulkan asap hangat. Ditemani lauk dan sayur penggugah selera. Di sini, saat orang mudah mendapatkan dan bisa memilih begitu beraneka makanan, maka singkong bukanlah pilihan utama.
Tapi, tahukah kamu, dibelahan bumi yang lain, singkong menjadi dewa penolong mereka. Jangankan untuk memilih nasi putih dengan uap mengepul aroma menggoda, mendapatkan sepotong singkong pun nyawa menjadi taruhan. Ditengah desing peluru. Ledakan mortir. Singkong penyambung hidup mereka. Para pengungsi suriah, lebanon, rohingya, palestina, dan ribuan pengungsi lain. Daerah rawan pangan. Bahkan kadang mereka yang tak mampu menyediakan nasi diatas piring hidup di kotamu.
Kadang kita menjadi singkong bagi seseorang yang kita anggap nasi putih. Tapi, janganlah patah semangat. Karena ditempat lain kita justru dibutuhkan dan dinantikan. Memberikan manfaat dan menyelamatkan. Mungkin kita kadang tersingkirkan oleh para nasi putih, yang menganggap kita tak sebanding dan sekelas dengan mereka. Tak usah risau, ditempat lain mungkin kita menjadi primadona dan menarik selera banyak orang. Tak perlu bingung jika ditinggalkan teman yng merasa kita bukan lah teman sepadan, justru dialah yang menunjukkan dia tak layak jadi teman kita. Bahkan Allah saja tak membedakan kecuali iman dan takwa seseorang. Tempat kita, singkong, selalu istimewa bagi lingkungan tepat, maka berdoa adalah jalan yang paling jitu menuju area yang tepat tadi. Jangan pernah berkecil hati.
Aku, di sini tak bisa menjadi nasi putihmu. Diantara pilihan menggoda. Aku, bukan pilihan, hanya teman sesore saat luang. Bukan yang dinanti penuh harap membangkitkan senyum saat ingat. Yang kadang barangkali tak pernah teringat. Aku terpinggirkan diantara sesaknya peran panggung hidupmu. Diantara senyum canda ceria saat bahagia menyapa. Bukan bahu yang terpilih bersandar saat batin letih merintih. Bukan pula teman berjalan bercerita tentang aktivitas kegiatan yang tengah kau jalani diatas roda kehidupanmu. Bukan.
Tapi, di panggung kehidupan lain, yang aku tak pernah tahu, aku merupakan nafas hidupnya. Tulang rusuk yang dicari dan dinantikannya. Helaan nafasnya dipersembahkan untuk ku karena aku tanggungannya atas janjinya kepada penciptanya. Â Aku istimewa baginya.
Aku tak dipilih olehmu karena takdir memilihkanku. Aku tak menjadi bagian dalam cerita hidupmu karena aku punya peran dalam cerita hidup yang disediakan untukku. Mungkin andai aku bersamamu aku hanya menjadi peran utama tanpa makna. Aku tak akan menjadi begitu penting karena banyaknya peran pembantu dalam ceritamu.
Aku berharap, panggung cerita yang disediakan untukku tak perlu gemerlap dengan lampu sorot ribuan watt. Tak perlu gegap gempita tepuk tangan berkomentar atas ceritanya. Tak perlu peran pembantu, karena aku dan dia sudah lebih dari cukup memerankan cerita kami.
Biarkan dunia bersinar benderang dengan cahaya lampunya, maka aku melihat serakan cahaya dunia dari atas gelap ditemani bintang. Biarkan hujan deras memenuhi aliran sungai meluapkan semua isinya, aku ingin rintik dan rinai nya yang jatuh menetes diatas daun menadah. Itu semua menjadikan segalanya saat aku tahu ada hati yang bersedia menempuhinya. Tak perlu rembulan di tangan kanannya tak perlu mentari di tangan kirinya. Tak perlu seberapa bernilai dirinya, karena akulah penentu nilai dirinya. Just need you as you were you are.
Aku, singkong dalam hidupnya...
(..???..)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H