Membicarakan tema tentang relevansi sastra dan realitas sosial muncul dari adanya suatu pemikiran negatif yang menganggap karya sastra tidak memiliki kaitan sama sekali dengan realitas. Bentuk estetika dan struktur linguistik teks sastra adalah yang paling esensial, sementara unsur atau faktor lain dianggap tidak penting. Dengan demikian, kehidupan ataupun dunia di luar karya sastra dianggap tidak relevan bagi sastra.
Rene Wellek dan Austin Warren berpendapat bahwa sifat sosial bukanlah inti dari sebuah karya sastra. Hal ini disebabkan fenomena sosial yang terdapat dalam karya sastra terkadang tidak sengaja dituliskan oleh pengarang, atau merupakan imajinasi belaka. Jika kehidupan sosial di masyarakat selaras dengan gambaran dalam sebuah karya sastra, tidak berarti dapat mendukung kompleksitas karya sastra dan menaikkan nilai artistiknya, karena banyak karya sastra yang sedikit sekali atau bahkan tidak sama sekali memiliki relevansi dengan kehidupan sosial. Artinya Wellek dan Warren menganggap bahwa karya sastra yang bersifat sosial hanya merupakan salah satu dari genre sastra belaka. Oleh karena itulah, Wellek dan Warren menyebutkan ciri-ciri utama karya sastra adalah fiksi, imajinasi, dan invensi.
Berbeda dengan Wellek dan Warren, Shawqī Dayf berpendapat bahwa karya sastra merupakan ekspresi sosial, dan berkaitan dengan pranata sosial, ideologi, sendi-sendi, dan gagasan-gagasan. Karya sastra tidak hadir dalam ruang kosong, ia merupakan refleksi kehidupan dan merupakan kegelisahan individual ketika berinteraksi dengan masyarakat. Seorang pengarang (sastrawan) hadir dalam masyarakat tidak semata-mata turun dari langit, tetapi ia tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, tumbuh dari pemikiran, perasaan dan pendengaran. Menurutnya tidak benar jika seorang pengarang mampu memisahkan dirinya dan masyarakat yang melingkupinya. Hal yang sama juga dikemukakan Etienne Balibar dan Pierre Macherey dengan berpendapat bahwa karya sastra bukanlah suatu gejala yang berdiri sendiri, karya sastra menjadi tidak ada di luar kondisi-kondisi sosial dan sejarahya.
Dasar filosofis relasi sastra dan realitas sosial adalah adanya refleksi pengarang tentang kehidupan yang dipadu dengan daya imajinasi dan kreasi yang didukung oleh pengalaman dan pengamatan atas realitas sosial-kemasyarakatan. Karya sastra adalah bentuk dan hasil kreatifitas yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya, dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Sebagai karya kreatif, karya sastra harus mampu melahirkan suatu kreasi yang indah dan berupaya menyalurkan segala kebutuhan keindahan manusia. Di samping itu juga, karya sastra harus pula mampu menjadi wadah bagi seorang pengarang untuk menyampaikan ide-ide yang dipikirkan dan dirasakannya tentang realitas kehidupan manusia. Dengan demikian karya sastra memiliki peran yang signifikan bagi kehidupan manusia, dan tentunya segala yang menyangkut kompleksitas kehidupan manusia pun dapat diungkapkan dalam karya sastra.
Karya sastra mempunyai kesempatan yang luas untuk membicarakan pelbagai hal, mulai dari politik, ekonomi, budaya, agama, dan sebagainya. Luasnya kesempatan ini adalah seluas dan sebanyak fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat. Melalui karya sastra, seorang pengarang mengungkapkan problema kehidupan, yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat, dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Kekayaan faktual yang dimiliki karya sastra mengandaikan beragamnya sumber informasi dalam proses mencipta, sekaligus sebagai saluran informasi dalam proses penerimaan pembaca terhadap karya sastra. Hubungan struktur sastra dengan struktur sosial adalah pengambilalihan dan pemanfatan struktur dan realitas sosial ke dalam dunia imajiner.
Sebagai bagian integral struktur sosial, karya sastra secara inheren mengandung berbagai muatan sosial. Walaupun karya sastra menyajikan kualitas estetis melalui alat-alat indera, tetapi ia juga menyediakan berbagai informasi mengenai fakta-fakta sosial. Linda Hutcheon berpendapat bahwa melalui medium bahasa, sastra secara terus menerus menelusuri proses pemahaman, sehingga menghasilkan fakta. Sedangkan sejarah merekonstruksi fakta-fakta, tetapi jelas fakta-fakta tersebut dapat difahami semata-mata melalui jejak-jejak tekstual. Hakikat fiksi dan fakta terlibat ke dalam konstruksi paradigmatis yang cenderung simetris, yang disebut sebagai metafiksi historiografi.
Senada dengan Hutcheon, Gregory Jusdanis berpendapat bahwa karya sastra bersifat semi otonom yang terpisah sebagai sebuah bentuk seni, tetapi juga menjadi bagian dari masyarakat. Menurutnya, kita membutuhkan karya sastra sebagai ruang di mana kita berinteraksi, dan yang lebih penting kita mengalami pengalaman keterpisahan antara kehidupan dan yang mirip dengan kehidupan, yang permanen dan metamorphosis. Karya sastra sangat penting bukan hanya karena menggambarkan kebenaran, tetapi juga memberdayakan kita untuk merefleksikan antara realitas-realitas yang dapat diverifikasi dan realitas-realitas yang didistorsi oleh reproduksi. Kemampuan untuk membedakan antara yang aktual dan yang imajinasi adalah sangat esensial bagi kita sebagai manusia. Kapasitas kita untuk mengimajinasikan yang baru, untuk memproyeksikan diri kita kepada pikiran orang lain, dan untuk memperjuangkan dunia baru adalah berlandaskan dari pembedaan ini.
Realitas dalam karya sastra bukanlah menampilkan realitas seperti adanya, melainkan menampilkan realitas dengan mengutamakan substansi pesan yang dikemas dengan gaya fiksi. Artinya, realitas yang ditampilkan karya sastra haruslah dipandang sebagai konstruksi atas realitas. Seorang pengarang mungkin saja memiliki pandangan dan konsepsi yang berbeda ketika melihat sebuah peristiwa, dan itu bisa dilihat dari bagaimana mereka mengkonstruksi peristiwa yang diwujudkan ke dalam karya sastra. Menurut Foucault, karya sastra merupakan sumber dinamika yang dianggap mampu menciptakan makna yang sangat kaya, sebab melalui konstruksi subordinasi pengarang atas karya dihasilkannya, maka kualitas estetis karya dapat dievokasi secara maksimal. Karya sastralah yang menunjuk pengarang, sekaligus posisi struktur mentalitas subjek yang direpresentasikannya. Dominasi pengarang dalam proses kreativitas, khususnya fungsi-fungsi subjek dalam struktur biografis, dengan sendirinya memiliki kekuatan tersendiri.
Realitas yang terbentuk dalam karya sastra adalah realitas yang dihasilkan dari relasi pengarang dengan sumber lingkungan sosial yang membentuknya. Realitas adalah gejala-gejala yang sudah ditafsirkan sebelumnya, sebagai konstruksi sosial. Realitas dalam karya sastra bukanlah sesuatu yang “berada di luar” yang objektif, atau dengan kata lain, seolah-seoalah “sudah ada” sebelum ditulis pengarang. Tetapi, realitas yang dimaksud adalah realitas yang dibentuk dan diproduksi tergantung bagaimana proses konstruksi berlangsung, atau dalam istilah Peter Berger dan Thomas Luckmann, realitas ini bersifat subjektif. Artinya, realitas yang terbentuk dari pemahaman dan pemaknaan subjektif pengarang. Seperti dikatakan Ian Hacking bahwa dunia tidak dapat dibungkus secara diam-diam dalam fakta-fakta. Fakta-fakta adalah konsekuensi dari cara-cara yang kita tempuh dalam merepresentasikan dunia. Artinya, realitas sosial bukanlah sesuatu yang sudah inheren dan melekat yang kemudian kita temukan, akan tetapi realitas sosial sangat tergantung dari bagaimana kita melihat realitas itu sendiri.
Individu, atau dalam istilah lain pengarang adalah aktor yang kreatif dari realitas sosialnya. Artinya, tindakan pengarang tidak sepenuhnya ditentukan oleh norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, dan lain sebagainya. Dan kesemuanya itu tercakup dalam fakta sosial, yaitu tindakan yang tergambarkan struktur dari pranata sosial. Setiap individu memiliki kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya di mana ia berasal. Ia dapat secara kreatif dapat mengembangkan dirinya melalui respons-respons terhadap stimulus dalam dunia kognitifnya. Dalam proses sosial, individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya. Seperti dikatakan Kenneth J. Gergen bahwa realitas sosial itu adalah apa yang dirasakan oleh individu-individu dalam kehidupan sehari-hari. Lebih lanjut Gergen berpendapat bahwa konstruksi sosial itu sebenarnya dihasilkan oleh pengalaman-pengalaman psikis individu. Apa yang dirasakan individu tersebutlah yang mendefinisikan realitas sosial.
Dalam proses penciptaan, seorang pengarang dapat berkreasi, atau bahkan memanipulasi dan menyiasati berbagai realitas sosial yang diamatinya menjadi berbagai kemungkinan kebenaran yang hakiki dan universal dalam karyanya. Maka dengan peran seorang pengarang dalam mengkonstruksi realitas sosial ke dalam karya fiksinya, hal-hal yang tadinya terasa pahit dijalani dan dirasakan pada dunia nyata, dapat berubah menjadi sesuatu yang menyenangkan untuk direnungkan dalam karya sastra.
Sebagai hasil kontemplasi secara individual yang dihasilkan melalui imajinasi dan kreativitas, karya sastra memiliki tujuan untuk menyampaikan pesan kepada orang lain sebagai komunikasi. Karya sastra bukan semata-mata bahasa, melainkan bahasa yang sudah dimodifikasi secara artifisial. Sebagai gejala komunikasi, karya sastra menunjuk pada sistem yang menghubungkan karya dengan pengarang dan pembaca.
Menurut Niklas Luhmann, karya sastra seperti puisi dan novel misalnya, sebagai tipe komunikasi yang memungkinkan kemungkinan dalam “ke-diaman” (dalam hal-hal yang dijadikan diam). Karya sastra mengandaikan kehadiran pembaca atau pendengar dalam kediaman (yang diam). Dalam artian bahwa diam di sini bukan berarti sikap diam ketika karya sastra dibacakan, tetapi ekspektasi atau harapan-harapan dari si pendengar dan pembaca yang terkoneksi antara karya sastra dengan pendengar atau pembaca. Dengan demikian, sesuai dengan kapasitas bahasa yang dimilikinya, karya sastra justru bermaksud untuk menyediakan gambaran realitas secara metaforis, konotatif, dan bermakna ganda. Cara-cara tersebut dianggap mampu untuk menampilkan kualitas psikologis dengan relevansi, baik terhadap subjek kreator, maupun subjek pembacanya.
Penyajian pesan dalam kemasan fiksi dapat memberikan kesempatan pembaca lebih bisa menikmati pesan yang disampaikan karena pembaca merasa tidak hanya membaca pesan yang ada, melainkan juga mengetahui pesan yang dimaksud. Seorang pengarang melukiskan adegan-adegan sensorik pada tingkat keintiman yang begitu dekat dengan pengalaman dan sensasi pembaca, sehingga terwujudlah hubungan khusus antara konstruksi teks, dan kondisi psikis pembaca. Pembaca menyatu dengan penulis dan bersama-sama mereka menemukan makna. Richard Rorty berpendapat bahwa, karya sastra dapat bersifat formatif terhadap masyarakat. Menurutnya, cerita-cerita, narasi, puisi, dan novel-lah yang dapat melenyapkan segala bentuk kesepian dan keabsurdan manusia, dan bukan argumentasi rasional yang bersifat abstrak. Penderitaan tidak akan mentransendir dirinya melalui argumentasi, tetapi kita dapat menemukan dan memahami nasib kehidupan orang lain lewat karya sastra. Rorty beranggapan bahwa semua pembicaraan mengenai esensi, substansi, dan rasio universal tidaklah memiliki makna. Makna kehidupan sekarang ini hanya dapat ditemukan melalui karya sastra. Melalui tutur kata, dan tulisan-tulisan para penyair, mata kita dibuka untuk melihat penderitaan yang dialami orang lain. Sehingga kepekaan dan solidaritas kita diasah, serta kita didorong untuk melenyapkan segala bentuk penderitaan, atau minimal menguranginya. Dengan demikian, inilah peran penyair dan novelis yang dirumuskan oleh Rorty di dalam membentuk solidaritas sosial. Merekalah yang kini dapat menggambarkan penderitaan manusia, serta kemudian mendorong manusia untuk bergerak ke arah kemajuan moral.
Karya sastra menduduki posisi yang penting dalam masyarakat, oleh karena itu hubungan keduanya tidak dapat dipisahkan. Hakikat karya sastra adalah rekaan atau imajinasi, sedangkan hakikat masyarakat adalah kenyataan dan fakta-fakta sosial. Meskipun jika dipertentangkan antara imajinasi dan kenyataan, maka keduanya tampak berbeda secara mendasar, namun implikasinya dalam mengantisipasi berbagai kecenderungan struktur mental masyarakat sangat besar. Imajinasi dan kenyataan, atau dalam istilah yang lebih tepat, fiksi dan fakta adalah saling melengkapi. Imajinasi dalam karya sastra adalah imajinasi yang didasarkan atas realitas, atau kenyataan. Menurut Nyoman Kutha Ratna, sebagai karya seni, karya sastra tidak secara keseluruhan imajinasi, hal ini disebabkan beberapa hal: pertama, meskipun hakikat sastra adalah imajinasi, tetapi jelas karya sastra dikonstruksi atas dasar realitas. Kedua, dalam setiap karya sastra, terkandung unsur-unsur tertentu yang memang merupakan fakta objektif. Dan ketiga, karya sastra yang secara keseluruhan imajinasi justru tidak dapat dianalisis, tidak dapat dipahami secara benar, sebab tidak memiliki relevansi sosial.
Karya sastra, sekalipun bergelimang dengan tebaran imajinasi dan estetika, tanpa ada persoalan humani yang disentuhnya, ia tak akan bermakna apa-apa dalam benak pembaca. Karya sastra hanya akan melambungkan khayalan yang muluk-muluk tanpa ada koherensi kemanusiaan yang diluncurkannya. John Storey, dengan mengutip F.R. Leavis dan Denys Thompson mengatakan bahwa, memahami fiksi dengan segala aspek imajinatifnya bukannya memperkuat dan menyegarkan kegemaran akan kehidupan, melainkan menambah ketidakmampuan seseorang dengan membiasakannya pada pengelakan yang mencerminkan kelemahan pada penolakan untuk menghadapi realitas. Storey menambahkan bahwa pembacaan seperti itu bisa melahirkan sebuah kebiasaan berfantasi yang akan menyebabkan maladjustment (ketidakmampuan berhadapan, atau menyesuaikan diri dengan kebutuhan lingkungan sosial) dalam kehidupan nyata.
Hal yang sama juga dikemukakan Teeuw, bahwa dalam meneliti sebuah karya sastra tidak dapat dipisahkan antara sistem sastra dengan latar belakang sejarah. Karya sastra yang dilepaskan dari kenyataan, kehilangan suatu yang hakiki, yaitu keterlibatan pembaca dalam eksistensi selaku manusia. Analisis yang hanya menekankan otonomi karya sastra berarti menghilangkan konteks dan fungsinya, sehingga karya sastra itu dimenaragadingkan dan kehilangan relevansi sosialnya.
Oleh sebab itulah, melihat relasi sastra dan realitas sosial masyarakat merupakan studi yang menarik, sehingga kajian terhadap sastra di masa pra-Islam sangat penting, guna melihat dan menganalisis sejauhmana karya sastra melalui medium bahasa yang digunakannya memiliki relevansi dengan fakta-fakta sosial. Dalam kesusasteraan Arab Jāhiliyyah, di antara karya sastra yang layak dilakukan studi untuk melihat sastra relasinya dengan realitas sosial masyarakat adalah puisi (shi‘r). Menurut Muhsin J. al-Musawi, puisi (shi‘r) pada masa Jāhiliyyah merupakan arsip (dīwān) dan bukti bagi kebudayaan mereka sebelum Islam serta potret yang menggambarkan berbagai kehidupan suku-suku dan tempat kelahirannya. Puisi juga merupakan sumber sejarah yang otentik untuk mengetahui posisi perekonomian, sosial, dan budaya Arab. ‘Abd al-‘Azīz ibn Muhammad al-Faysal menyatakan bahwa puisi Jāhiliyyah merupakan cerminan dan bukti nyata kehidupan bangsa Arab. Jika bangsa-bangsa lain meninggalkan bukti berupa bangunan dan ritus-ritus sejarah, maka bangsa Arab meninggalkan puisi sebagai sumber peninggalan sejarah yang ditransmisikan secara turun temurun.
Masyarakat Jāhiliyyah adalah masyarakat yang sering dikenal dengan masyarakat yang terikat dengan kesukuan (qabīlah), maka tradisi dan kultur yang tercipta pun tidak lepas dari semangat kesukuan. Fanatisme inilah yang membuat mereka merasa bangga dapat membela qabīlah, melebihi pembelaan mereka terhadap individu dan keluarga. Dan puisi-puisi yang muncul pun tidak jauh dari pembanggan terhadap qabīlah.
Mohammed A. Bamyeh berpendapat bahwa puisi pada masa Jahiliyah merupakan mesin propaganda sistem kesukuan pada masa itu. Sehingga tema-tema kesukuan menjadi popular di dalam puisi Arab Jahiliyah. Bamyeh berpendapat bahwa konstruksi realitas sosial masyarakat Arab Jahiliyah dipengaruhi oleh dua faktor; pertama, politik tribal (qabīlah), dan yang kedua, puisi yang menjadi institusi sosial pada masa itu.
Namun, bentuk fanatisme ini ternyata bukanlah sesuatu yang menjadikan keharusan dalam pola puisi Arab Jahiliyah. Menurut Adūnīs, puisi pada masa Jahiliyah tidak selalu monoton dengan satu pola, yakni puisi yang berafiliasi dengan qabīlah. Tetapi terdapat kecenderungan lain yang berbeda, yakni puisi-puisi yang lahir dari hasil pemikiran kreasi penyair-penyair Sa‘ālīk, yang menghancurkan sistem-sistem nilai dominan tersebut dengan menggantikan, membangun dan mentransformasi menuju dimensi dan perspektif baru. Pernyataan ini diperkuat oleh Roger Allen yang mengatakan bahwa kecenderungan berbeda dalam pola puisi Sa‘ālīk ini diciptakan untuk merefleksikan skenario oposisi anti tribal (qabīlah).
Para penyair Sa‘ālīk lahir dengan semangat humanisme yang menjadi narasi besar mereka. Mereka dihadapkan dengan fenomena kelas sosial masyarakat Arab Jahiliyah yang didominasi oleh kaum elit mereka sehingga menimbulkan kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin. Khalīl ‘Abd al-Karīm dengan mengutip Ahmad Amīn mengatakan bahwa kemiskinan (al-sa‘lukah) merupakan penyebab utama munculnya masyarakat miskin, karena kondisi masyarakat jazirah Arab yang berpotensi menimbulkan kesenjangan alami antara si kaya dan si miskin serta carut marutnya hukum positif yang berlaku pada waktu itu. Kemiskinan menjadi sesuatu yang mencekam karena terpusatnya kekayaan di tangan kelas tertentu, yakni kelas kaya raya. Mereka hidup dengan segala kemewahan sedangkan mayoritas masyarakatnya terbelenggu dalam kemiskinan dan kesusahan. Sehingga kondisi ini berdampak pada larinya komunitas miskin dari qabīlah-qabīlah mereka dengan semata-mata bertujuan untuk dapat menghidupi diri mereka secara mandiri.
Realitas kemiskinan ini tercermin dalam puisi-puisi para penyair Sa‘ālīk. ‘Abd al-Karīm berpendapat bahwa signifikansi puisi-puisi penyair Sa‘ālīk tercermin dalam dua hal: pertama, puisi-puisi mereka mengilustrasikan adanya ketimpangan sosial dalam stratifikasi sosial masyarakat Arab pada masa itu. Kelas orang kaya yang memiliki harta melimpah ruah, hidup dengan penuh kemewahan dan serba kemikmatan. Sedangkan kelas fakir miskin, hidup dalam kelaparan dan kesusahan. Dan yang kedua, puisi mereka mendorong kepada para fakir miskin untuk menghapus hukum-hukum yang diskriminatif, kejam dan tidak toleran serta melakukan perubahan. ‘Abd al-Karīm menolak anggapan bahwa puisi-puisi mereka hanya merupakan puisi yang mengekspresikan kekesalan dan kekecewaan atas kemiskinan yang melanda mereka. Puisi-puisi mereka merupakan media yang sangat efektif dalam membentuk solidaritas sosial di tengah masyarakat oral tradition (thaqāfat shafawiyyah). Sehingga puisi-puisi para penyair Sa‘ālīk memiliki pengaruh tersendiri di kalangan masyarakat miskin. Sesuatu yang dalam pandangan ‘Abd al-Karīm, turut memberikan pengaruh dan mendorong mereka segera memberikan respon terhadap propaganda yang telah disebarkan Muhammad melalui ke-egaliteran dan keadilan sosial-nya.
Salah satu ikon penyair Sa‘ālīk yang dikenal sebagai seorang pembela masyarakat miskin pada masa Jāhiliyyah adalah ‘Urwah Ibn al-Ward. Menurut Adūnīs, puisi-puisi ‘Urwah merupakan puisi memberontak dari tradisi kekerabatan yang di dasarkan pada darah keturunan, dan suku. Puisi-puisi ‘Urwah merupakan puisi yang terbuka untuk manusia sebagai manusia, sehingga melampaui bentuk loyalitas kesukuan, etnis, dan kelas sosial. Dalam puisi-puisi-nya, ‘Urwah telah merepresentasikan bentuk dunia bersama, dan ini ia wujudkan bukan sekedar teori semata, tetapi ia mempraktikkan secara langsung dengan mengubah hidupnya untuk memperjuangkan dan mewujudkan kebersamaan tersebut dengan menolak segala bentuk kezaliman, eksploitasi, dan merendahkan manusia. Sehingga dalam pandangan ini, puisi-puisi ‘Urwah merupakan penjelasan yang tidak hanya menegaskan bentuk penolakan terhadap apa yang dominan, tetapi mempropagandakan sesuatu yang menjadi keharusan.
Menurut Yūsuf Khulayf, puisi-puisi ‘Urwah merupakan puisi yang menceritakan tentang pengabdiannya untuk kepentingan orang lemah dan pemikiran sosialis yang melibatkan orang miskin dalam harta orang kaya. Harta itu dijadikan milik para miskin, bahkan mereka akan merampas harta tersebut jika mereka tidak diberi, tujuan dari semua itu adalah untuk merealisasikan sebuah keadilan sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H