Tuhan, betapa aku merasa bingung akan pengetahuan yang Kauberi padaku, melewati buku yang berbisik, dosen, serta para sahabatku yang gemar bercerita tentangMu dan tentang semua yang mustahil di dunia ini. Bahkan aku sempat tak percaya dengan keberadaanMu. Maafkan aku Tuhan...
Saya mendengar anak saya berdo’a di dalam kamarnya, pintu kamar yang tak tertutup membuat jelas suaranya. Dia melanjutkan ucapnya dalam do’a.
Aku benar-benar tak mau membunuhMu, dengan kesombongan ilmu yang kudapat, ilmu yang sangat kusadari adanya, ilmu yang kuperoleh dariMu juga, Tuhan; melalui buku-buku yang berbisik, aliran angin yang mendesak dari bau nafas para sahabatku, dan semua hal tersebut semakin membuatku bersemangat, karena aku menganggap; Kau sendiri yang menyuruh aku untuk membunuhMu melalui semua jalan yang telah aku lalui selama ini.
Saya benar-benar tidak tahu sebelumnya, tentang anak saya yang benar-benar merasa bersalah, saya sungguh tidak tahu-menahu dengan pikiran-pikiran yang membuatnya menjadi seperti itu. Banyak orang yang berkata pada saya—perihal anak saya yang kini semakin menjadi aneh dan setiap perkataannya sering melantur, seperti tak di atur.
Kudengar lagi dalam lirih suaranya walau hanya samar-samar:
Mengapa Kau ijinkan kita mempelajari ilmu tentangMu, jika kelak ilmu tersebut hanya akan menenggelamkanMu, membuatku tak lagi mengenalMu, Tuhan?
Mengapa.. mengapa.. mengapa, Tuhan?
Benar, dia anak saya...
semenjak ia mengenyam pendidikan di bangku kuliah, di jurusan Ilmu Filsafat, dia menjadi begitu pendiam, tak banyak bicara—terlebih pada saya sendiri bapaknya. Dia pun jarang tersenyum, dan jarang bertatap muka di ruang keluarga, meski sekedar menonton televisi di waktu lenggang, atau hanya untuk makan bersama. Dia, anak saya...
Lebih memilih untuk menyendiri di dalam kamarnya, dengan buku-bukunya, kopi serta rokok kretek yang selalu ditentengnya.
Dia mengenal rokok dan kopi pun setelah masuk perguruan tinggi—mungkin ada benarnya juga kata sebagian banyak orang, bahwa rokok dan kopi bisa memberi atau menginspirasi seseorang untuk berpikir lebih kritis pada sebuah masalah dalam kasunyatan yang ada.
Saya sempat tertegun melihat buku-bukunya; tentang filosofi ketuhanan dan buku lainnya perihal ilmu Filsafat. Saya juga sempat membaca buku karangan nietzche yang tergeletak di atas kasurnya, saya benar-benar tidak sengaja membacanya. Ketika dia sedang kuliah, buku tersebut hanya dibiarkan tergeletak berceceran tak karuan di atas kasurnya.—buku tersebut bercerita perihal pendapat filsuf tersebut –Nietzche-; didalamnya menyatakan Tuhan telah dibunuh, Tuhan telah mati dan lain sebagainya. Di atas kasur tersebut juga ada sebagian buku kesusastraan—buku dari penulis kenamaan Yogya: Linus Suryadi
-Pengakuan Pariyem- yang di dalamnya menceritakan, bahwasanya: Pariyem, sebagai seorang pembantu yang menganut faham Kedjawen.
Dalam cerita tersebut, juga dituliskan perihal kurang pentingnya peranan Agama—Agama yang dianggap hanya akan merusak segala bentuk keharmonisan di dunia.
Lha di Sorga, Gusti Allah tak bertanya: ‘Agamamu apa di dunia’ Tapi Ia bertanya: ‘di dunia kamu berbuat apa’. Begitulah kutipan dari sepenggal kalimat yang saya baca.
memang dalam memberi penafsiran pada sebuah buku terlebih karya sastra atau buku filsafat yang banyak mengandung metafora, tak boleh kita cerna secara mentah-mentah, kita harus bisa memahaminya, saya pun sedikit tahu-menahu apa alasan Nietzche menulis buku tersebut, dalam sebuah majalah yang dulu pernah saya baca, disitu dituliskan: karena pada jamannya ‘dia’ merasa resah akan keberadaan Tuhan yang di abaikan oleh kebanyakan orang.—orang-orang lebih memilih untuk urusan keduniaannya, orang-orang lebih memilih kenikmatan dunia dan kesuksesan dunia daripadanya urusan manusia pada Tuhannya, sehingga ‘dia’ berpikir, bahwa orang-orang telah membunuh Tuhan, dengan cara melupakan keberadaanNya dan mengganti dengan faham yang lainnya.
Entah, hal tersebut benar atau salah, namun hal tersebutlah yang saya yakini sebagai pemikiran Nietzche, hasil pemikiran tentang konsep ketuhanannya.
***
Benar, dia anak saya...
Nur Cahyaning Jagad, nama yang saya berikan padanya dua puluh satu tahun yang lalu, saat itu dia masih kecil ongkrek-ongkrek, dia benar-benar menggemaskan, saat dia menangis untuk pertama kalinya, saat dia membelalakkan matanya untuk pertama kali, saat dia melihat cakrawala yang kelak kan dia rengkuh dalam setiap pijakkannya, saya benar-benar merasa menjadi seorang bapak yang paling begja ing donya, selepas melihat kehadiran anak laki-laki saya: ‘Nur Cahyaning Jagad’ lahir di Klaten, Sepuluh Oktober pada tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh.
Namun, kelahiran anak saya tak sesuai dengan harapan saya.—seharusnya dia lahir membawa serta kebahagiaan, namun harapan hanyalah harapan, semua keputusan ada ditangan Tuhan, harapan saya sirna, setelah istri saya dinyatakan kehabisan banyak darah dalam prosesi kelahiran anak saya, dia meninggal satu jam setelah anak saya lahir. Sebelumnya saya berharap, memohon pada Tuhan: semoga kelahiran anak saya dapat berlangsung dengan lancar, merubah kehidupan keluarga kami, tapi begitulah kuasaNya.
***
Benar, dia anak saya...
Nur Cahyaning Jagad, kini dia telah tumbuh menjadi bakal yang istimewa, dia anak yang benar-benar mewarisi semua keterampilan yang saya miliki, saya teramat bangga akan keberadaannya.
Pernah suatu saat saya memberi arahan padanya mengenai buku-buku yang dibacanya.
“Nak, pernahkah kamu berpikir, bahwa tidaklah semua buku itu baik?”
“Ya, itu sama dengan perkataan Dosenku, Pak”
“O, baguslah. Bapak hanya ingin memberi sedikit yang Bapak tahu, Nak. Perihal buku-buku yang akan kamu baca. Bapak telah mengganggapmu sebagai seorang lelaki yang dewasa, bapak pikir kamu telah banyak mengerti tentang baik dan buruk. Jangan sampai kamu salah memilih jalan, Nak. Jangan sampai kamu salah dalam menilai sesuatu, menelan mentah-mentah suatu ajaran.
Pahamilah dahulu sebelum kamu memutuskan untuk menelan isi yang terkandung dalam buku bacaanmu. Bapak yakin kamu sudah bisa membedakan mana yang kurang baik dan mana yang baik, tentang pandangan buku-buku bacaanmu, Nak.”
“Iya, Pak. Saya tahu saya harus bagaimana, memang saya sempat sedikit ragu akan sebuah kemutakiran ilmu-ilmu tersebut. Tapi, kini saya berpikir bahwa buku-buku itu telah berbisik dan mendoktrin saya secara perlahan”
“Nah, Ternyata kamu sudah bisa membedakan, juga tentang doktrinisasi dalam sebuah buku, Nak. Kamu harus waspada dan hati-hati jangan menelan mentah isi dalam bukumu. Ingat?!!, jangan menelan mentah isi dalam bukumu, Nak. Kamu adalah anak satu-satunya yang Bapak miliki, Bapak benar-benar bangga akan keberadaanmu, Nak.
semoga saja Ibumu melihat kebahagiaan kita dialamnya, Nak”
Bapak dan anak tersebut saling berpeluk, meluapkan semua kesedihan yang ada, anak yang dahulu selalu diam seribu kata, kini dia telah bisa menjadi sahabat yang baik bagi sang bapak yang kesepian kerna di tinggal Istrinya. Si anak perlahan meneteskan peluhnya juga sang bapak.—bapak yang benar-benar bisa diandalkan menjadi tuladha dalam setiap tindakan si anak, juga si anak yang bisa ngeyem-yemi atining wong tuwa.
Namun, harapan hanyalah sebuah harapan dan segala keputusan tetap berserah, ada di tangan Tuhan.
Nur Cahyaning Jagad, kini dia telah menjadi bahan ejekan anak-anak kecil di desanya, Klaten. Dia berkata pada siapa saja.
“wek.. wek.. wek.. aku adalah sungai, aku akan tetap menjadi air mengalir, air yang kuat menenggelamkan semua, menjadi bah, menjadi pasang. Namun, kini aku telah surut, terik terus mengikuti jalanku, aku kering.. aku kering.. aku kering.. dan dimana Bapakku?, rupanya Bapakku telah mati, ya benar. Bapak telah mati, dia telah menyusul Ibu di alamnya, dia akan bahagia, dia takkan lagi kesepian, mereka telah bersatu di alam sorga kebanggaan banyak manusia, haha.
wek.. wek.. wek.. aku kaboten jeneng, Pak. Aku tidak bisa menjadi cahaya seperti Nur, aku tak bisa menjadi Cahyaning Jagad, penerang alam semesta, aku telah di dibisiki buku-bukuku untuk membenci namaku, wek.. wek.. wek..”