Jika datang tengah malam, dapat dipastikan akan terdengar lagi suara tangis, nafasnya tersengal-sengal seperti diserbu ribuan burung pipit, matanya kian sipit dan dapat dipastikan pula tangisnya semakin kencang. Suara tangisnya menembus dari lubang-lubang terkecil dalam pintu, dalam dinding, bahkan lewat melalui celah pori-pori dan serat kayu.
Semua kejadian itu mulai terjadi sejak satu tahun yang lalu, banyak tetanggaku yang menduga bahwasanya beliau menangis dikarenakan anaknya yang hilang dibawa orang, namun banyak juga yang menduga beliau mulai gila karena banyak uangnya habis karena kalah dalam pemilihan lurah tahun lalu, banyak sahabat beliau pun mempunyai versi tersendiri dengan apa yang dialaminya sejak setahun yang lalu, jeritan yang selalu hadir tiap tengah malam itu dikarenakan beliau selalu bermimpi diserbu ribuan bahkan jutaan burung pipit.
Pernah suatu saat, tetangga beliau bercerita padaku bahwasanya dahulu beliau adalah seorang yang sangat dihormati banyak orang. Orang-orang itu selalu hadir kerumahnya setiap satu bulan sekali, entah apa yang dilakukan orang-orang itu, namun kebanyakan yang datang kerumah beliau adalah mereka yang -mohon maaf- orang kurang mampu.
Dapat dipastikan pula setiap mereka datang kerumah beliau pasti akan ada suara bentakkan keras dan dapat dipastikan juga akan ada suara orang yang menangis, entah apa yang dilakukan beliau pada mereka atau bahkan apa yang dilakukan mereka kepada beliau, yang pasti setiap mereka datang akan ada suara tangis dan bentakkan yang begitu kerasnya.
"Mohon maaf Pak, kami terlambat untuk menyetor beras ini Pak, sawah yang kami kelola mengalami kesulitan saluran irigasi Pak" ungkap pasangan suami-istri yang datang kerumah beliau, mereka mengiba dengan penuh rasa takut, mereka selalu menundukkan kepalanya dan tak mampu untuk menatap kedua mata beliau, perasaan was-was akan nasib yang tak tahu bagaimana akhirnya. Mereka selalu beranggapan bahwasanya seorang juragan pasti akan marah jikalau hasil panennya terlalu rendah.
"O, hanya masalah itu Pak Gito ?" ungkap beliau kepada seorang petani yang datang kerumahnya. Dengan sedikit senyum beliau melanjutkan perkataannya—“tak apalah, siapa yang dapat menduga atas hasil panen kita Pak, semua kita pasrahkan kepadaNya" jawab juragan itu
"Ma.. Maafkanlah kami Pak" dengan sedikit gagu petani itu menjawab perkataan juragannya
"Tak apalah Pak Gito, mungkin kali ini bukan rezeki kita, mungkin saja lain kali kita bisa menghasilkan panen yang lebih baik dari ini."
"Iya Pak, sekali lagi maafkan kami Pak"
“Iya, tak apa Pak”
Setelah memberikan hasil panen dan sedikit bercakap kepada juragannya, mereka pamit untuk kembali pulang.
dan tak lama kemudian petani berikutnya datang dan hal itu berlanjut sampai petani ketigapuluh, karena juragan membawahi sekitar tigapuluhan petani di desa tersebut.
"Syukur Bu, kukira juragan akan marah dengan hasil panen yang kita berikan kepadannya" sahut suami kepada istrinya yang sama-sama seorang petani itu.
"iya Pak, aku juga berpikiran seperti itu Pak. beliau memang tak seperti juragan-juragan kita yang dulu"