Selamat datang dan selamat membaca
Setelah perjalanan panjang di Papua, Papa dan paman Ung kembali ke kampung dengan harapan baru. Namun, kehidupan tidak berjalan semulus yang mereka bayangkan. Papa kembali bertani, jadi tukang bangunan dan lainnya. Selama hal tersebut bisa menghasilkan uang, ia akan melakukan semuanya.
Tetapi, keinginan Papa untuk mencoba peruntungannya di tanah Papua kembali membuat ketegangan dalam keluarga. Mama, teringat akan pengalaman gagal sebelumnya, bereaksi marah. Pertengkaran yang hebat terjadi di antara mereka, dengan barang-barang terlempar dan teriakan yang memenuhi rumah. Saya dan adik saya, Juda, takut dan tegang melihat adegan tersebut. Juda, yang masih berusia 2 tahun, terus menangis sambil memeluk saya, mencari perlindungan.
Melihat hal itu, saya merasa memiliki tanggung jawab untuk menghentikannya. Saya berlari dan memeluk lengan papa.
"Pa, jangan pergi pa" (Sambil menangis sejadi-jadinya)
Itu adalah reka ulang adegan dari banyaknya sinetron yang saya tonton pada awal 2000an. Tayangan mengenai seorang istri yang memohon agar tidak ditinggalkan suaminya. Dan yahh, saya melakukan hal tersebut karena terinspirasi dari sinetron-sinetron yang saya tonton. Melihat hal tersebut, mama memarahi saya.
Tentu saja saya tidak mendengarkannya. Saya semakin menangis sejadi-jadinya, karena sedih, takut dan tentu saja karena ingin menirukan adegan sinetron yang saya tonton. Di sinetron tersebut saya sering melihat adegan permohonan yang sangat putus asa, aktris selalu menangis sambil memohon-mohon dan memeluk lengan suaminya. Dan sekali lagi saya melakukan hal tersebut.
Ternyata reaksi dari papa mirip seperti di sinetron tersebut. Dia risih dengan yang saya lakukan dan menepis tangan saya.
"Kamu ngapain sih Dir? Papa ga bakalan kemana-mana"
Mendengar hal tersebut saya heran dong. Saya udah memohon dan nangis karena sedih, takut dan terinspirasi kok ngomong gitu? Apa saya mohon sambil nangis lagi aja kali yah? Ternyata selama saya sibuk dengan pikiran saya sendiri, pertengkaran mereda. Suasana rumah masih menegangkan. Seakan-akan mengisyaratkan bahwa emosi mereka berdua bisa kembali meledak kapan saja. Mama tidak merasa bahwa dirinya mampu meredakan pertengkaran ini. hal ini membuat mama menghubungi oma dan opa.
Mama, dalam keputusasaan, menelepon Oma dan Opa kami untuk meminta bantuan. Saat kedua orang tua saya berdua tiba, suasana menjadi lebih tenang. Meskipun demikian, bekas luka pertengkaran itu masih terasa, menggantung di udara seperti ancaman gelap.