Saya sarapan sebungkus nasi kuning tadi pagi. Makanan yang paling mudah ditemukan di pinggiran jalan salah satunya memang nasi kuning. Terlebih di hari libur lebaran ini.  Tatkala  makanan opor dan ketupat di meja makan sudah sirna. Sehingga pilihan makan pagi saya pun kembali ke semula. Â
Ketika memakan nasi kuning itu tiba-tiba saya teringat nasi tumpeng. Mengapa nasi kuning rasa dan warnanya cenderung sama dengan nasi tumpeng? Mengapa di pinggiran jalan tidak ada yang menjual nasi tumpeng setiap pagi?
Nasi tumpeng memang berbeda dengan nasi tumpeng secara kasat mata. Kita dapat dengan mudah menemukan sejumlah hal yang membuat nasi tumpeng lebih "bermartabat" Â jika dibanding nasi kuning. Baik melalui pembacaan literatur maupun pengalaman secara langsung.Â
Secara bentuk dan sajian nasi tumpeng lebih bersifat filosofisÂ
Pertama, nasi tumpeng disajikan secara estetis dan penuh filosofi. Sedangkan nasi kuning disajikan secara ekonomis dan praktis ( bungkusan). Dalam sejumlah makalah atau karya tulis imiah, bentuk nasi tumpeng yang mengerucut itu bukan sekedar keindahan namun juga sarat nilai religiusitas.
Pilihan warna kuning keemasan pun dianggap sebagai lambang keagungan sebagai penghormatan kepada Yang Maha Kuasa. Bentuknya seperti kerucut adalah simbol menunju ke atas atau persembahan dan permohonan kepada Tuhan. Â Sebagaimana rumah ibadah umat beragama yang eksis di Indonesia seperti masjid, gereja, wihara, pura, dan kelenteng, yang semuanya mengerucut.
Nasi tumpeng pun mengandung lauk-pauk  lebih banyak atau beragam dibanding sebungkus nasi kuning. Dalam sejumlah makalah menjelaskan, bahwa nasi tumpeng ditata minimal dengan tujuh macam lauk-pauk. Angka tujuh dalam bahasa Jawa adalah pitu yang bermakna pitulungan. Dapat diartikan sebagai pertolongan. Bahwa manusia hidup harus saling tolong menolong kepada sesama atau semoga Tuhan menolong kita.
Cara dan momen makan nasi tumpeng lebih ekslusifÂ
Kedua, sajian nasi tumpeng yang khas dan filosofis tersebut rupanya juga berkaitan dengan konteks kehadirannya. Masyarakat modern  memakan nasi kuning itu memiliki kecenderungan sifat individual sebagaimana saya tatkala sarapan pagi tadi. Sedangkan nasi tumpeng hadir dalam suasana yang lebih bersifat komunal atau kebersamaan.
Kita akan masuk pada situasi khusus ketika hendak makan nasi tumpeng. Di era kini, memakan nasi tumpeng kerap kita temukan pada acara formal seperti peringatan Hari Kemerdakaan, peresmian jalan, acara ulang tahun kantor, acara hari guru, dan lain sebagainya. Sehingga kita tidak harus sedang lapar untuk memakan nasi tumpeng.