Makalah tersebut merupakan hasil studi kepustakaan, berisi analisis penelitian dari lintas era ( tahun ke tahun), yang berkaitan dengan latar belakang penyebab perilaku menyontek.
Hampir semua penelitian yang dianalisis oleh Ann Bushway dan William R itu menyatakan bahwa tekanan untuk mendapatkan nilai yang tinggi, atau tekanan secara administratif baik dari instansi pendidikan, guru atau orang tua, Â menyebabkan banyak siswa menyontek. Â
Misalnya, penelitian di tahun 1965 yang dilakukan Cornehlsen terhadap 200 siswa sekolah menengah atas ( SMA), yang melaporkan bahwa 33% siswa perempuan dan 55% siswa laki-laki merasa harus menyontek ketika kesuksesan atau "keberhasilan hidup" mereka terancam.
Kebiasaan curang dalam ujian itu rupanya sudah terjadi sejak usia dini. Dalam penelitian terkait di tahun 1969, Â melaporkan data sekitar 24% anak perempuan dan 20% anak laki-laki mengakui bahwa mereka mulai menyontek sejak kelas satu SD.Â
Selain itu, 17% anak perempuan dan 15% anak laki-laki mulai di kelas delapan (SMP), dan 13% anak perempuan dan 9% anak laki-laki mulai menyontek sejak duduk di kelas tujuh ( SMP). Bahkan tercatat pula sekitar 40% kecurangan dalam ujian terjadi di kalangan mahasiswa pascasarjana.
Kecurangan menjadi solusi atas nama keberhasilan
Saya tidak tahu apakah hal serupa juga terjadi di Indonesia. Jika fenomena menyontek ini adalah habbit atau kebiasaan sejak kecil ini, lantas bagaimana solusi mengatasi perilaku curang terhadap siswa yang sudah dewasa?
Terkait semua penyebab tadi, strategi untuk mengatasi kecurangan atau perilaku menyontek sudah dilakukan. Sebagaimana yang dikutip Ann Bushway dan William R. Nash dari penelitian tahun 1970, bahwa lima strategi pengondisian telah dilakukan.
Kondisi pertama, membangun kondisi "kontrol" dengan memberi instruksi ujian secara langsung di kelas. Â
Kondisi kedua, sosialisasi atau pemberitahuan untuk menghargai nilai kejujuran.Â