Perihal mengapa pertanyaan tersebut muncul setelah membaca kalimat atau frasa tanpa persetujuan korban? Tentu pihak yang memberi respons perlu menjelaskan secara linguistik.Â
Kendati demikian, sejauh yang dapat saya pahami, respons tersebut boleh jadi merupakan hasil dari asosiatif atau pemberian makna konotatif dengan cara menghubungkan makna kata/frasa/kalimat atau satuan bahasa yang dibaca dengan hal-hal di luar bacaan tersebut.
Sebagai contoh, ketika membaca kalimat, "Kamu dilarang mengambil handphone itu tanpa izin ibu.", kita sulit menemukan peluang ambiguitas kalimat tersebut. Sebab, hadirnya keterangan tanpa izin ibu adalah satu bangunan pernyataan yang lugas bermakna syarat.
Walau pembaca dapat saja merespons, "wah berarti kalau ayah mengizinkan boleh ya?" lantas menyimpulkan "kalau ayah mengizinkan berarti boleh mengambil handphone itu."Â
Pertanyaan pembaca pada contoh tersebut berasal dari refleksi dalam benak pembaca. Bukan berpusat pada konstruksi kebahasaan, makna atau konteks pada kalimat tersebut. Sebab, kalimat tersebut bermakna tegas yaitu "larangan" dari "ibu" untuk "kamu". Kemudian menjadi rancu ketika ada "asosiasi" tentang "ayah" dalam benak pembaca.
Lantas apakah itu termasuk makna asosiatif?
Cara pemaknaan asosiatif semacam itu mungkin saja kurang tepat. Sebab, kajian makna asosiatif yang lazim pada dasarnya juga berkaitan dengan penanda berupa kata yang ada pada kalimat/ atau satuan bahasa yang dibaca.
Misalnya pada kalimat "Wajah Rani merah." Secara tekstual itu bermakna "Wajah Rani berwarna merah". Tapi pembaca dapat juga menafsirkan secara asosiatif dengan menafsirkan bahwa,"Rani sedang malu" atau mungkin "Rani sedang marah".Â
Pemaknaan asosiatif tersebut terjadi karena pembaca memiliki konsep lain mengenai kata "merah". Pembaca mungkin memiliki refleksi bahwa kata "merah" identik dengan simbol perubahan mental seperti "marah", "berani", dan sebagainya.Â
Pemaknaan asosiatif ini begitu bergantung pada refleksi pembacanya. Oleh karena itu, makna asosiatif begitu sulit dicegah sebab ini tergantung dari kenyataan kognitif pembacanya sehingga sering kali terlepas dari konteks penggunaan bahasa.Â
Oleh sebab itu, pihak tertentu yang berpendapat bahwa penggunaan frasa tanpa persetujuan korban memiliki peluang multitafsir, sebaiknya menjelaskan secara disiplin linguistik terkait dasar teori atau dari segi apa penafsiran itu muncul. Apakah penafsiran yang gramatikal atau merupakan bentuk makna asosiatif? Atau ada acuan ilmu kebahasaan lainnya?