Baliho politisi yang bermunculan pada kondisi pandemi sempat menjadi isu yang kontroversi. Banyak tangapan dari masyarakat bermunculan, baik respon secara kritis maupun respon yang normatif.Â
Walau belum melihat baliho-baliho itu secara langsung, saya tetap dapat menikmatinya lewat ungahan-ungahan medsos dan sorotan media berita nasional.
Ketika mengamati keempat gambar baliho di layar gawai itu, perhatian saya langsung tertuju bukan pada tokoh atau foto dalam baliho tersebut, namun lebih kepada slogan-slogannya.Â
Pada keadaan ini, saya berterima kasih karena saya jadi mengingat kembali mengenai salah satu fenomena kebahasaan yang cukup penting namun jarang menjadi pembahasan, yaitu mengenai modalitas.
Sebelum membahas lebih jauh mengenai baliho-baliho tersebut, pengertian modalitas perlu diuraikan terlebih dahulu.Â
Modalitas dalam pembahasan ini merujuk pada disiplin linguistik (ilmu kebahasaan).Â
Kajian mengenai modalitas, secara umum menyentuh wilayah semantik (makna) bahasa.
Ada banyak penjelasan tentang modalitas dari para ahli bahasa (linguis), baik dari Indonesia maupun dari mancanegara, sehinggga definisi dan konsepnya terus berkembang.
Modalitas dalam Kajian Linguistik
Pengertian modalitas secara praktis setidaknya dapat dipahami sebagai bentuk atau gambaran tentang "gradasi makna" dari sikap penutur (pengguna bahasa) terhadap "pesan" yang dituturkannya.
Mengapa disebut "gradasi makna"? Sebab unsur modalitas dalam penggunaan bahasa dapat mengisi polaritas makna, misalnya antara 'ya ' dan 'tidak' atau "positif" dan "negatif".Â
Sebagai contoh, pada ungkapan aku mencintai kamu (positif), dan aku tidak akan mencintai kamu (negatif).
Frasa "tidak akan" pada kalimat kedua itu merupakan adverbia atau penada modalitas.
Pada diskursus linguistik bahasa Indonesia, satuan bahasa yang memberi modalitas dikategorikan atau bernama adverbia.
Kategori adverbia dapat berupa kata, frasa, atau pun klausa (inti kalimat). Kehadiran modalitas membuat sikap penutur bukan hanya bermakna menyampaikan "pesan" kepada pendengar atau lawan bicara, namun juga menerangkan atau menjelaskan kualitas sikap, pikiran, dan hati si penutur.
Sederhananya, modalitas dapat memberi "mood" kalimat atau tuturan sehingga timbul dinamika makna. Bukan sekadar "menyatakan", tapi juga dapat mengingkari, memastikan, memungkinan, mengharuskan, mengajak, menanyakan, mewajibkan, meyakinkan, dan lain sebagainya.
Seperti pada ungkapan aku tidak akan mencintai kamu pada contoh tadi, yang mengandung makna sikap mengingkari (negatif).Â
Jika modalitasnya diubah dengan pemberian adverbia tidak terlalu dan tidak dapat, maka gradasi maknanya akan bergerak.Â
Dapat dilihat pada contoh berikut: aku tidak terlalu mencintai kamu - aku tidak dapat mencintai kamu.
Modalitas dapat memberi relativitas nilai, tentang seberapa "iya" dan seberapa "tidak", seberapa "mungkin" dan seberapa "tidak mungkin", seberapa "benar" dan seberapa "tidak benar" pada kalimat atau tuturan.Â
Dalam kajian linguistik di Indonesia, modalitas telah diklasifikasikan ke dalam empat domain makna.Â
Domain Makna ModalitasÂ
Pertama domain makna keinginan, harapan, permintaan dan ajakan, yang dikenal dengan sebutan modalitas intensional.Â
Kedua, modalitas epistemik, dengan domain makna antara kemungkinan, keharusan dan kepastian.Â
Ketiga modalitas deontik dengan domain makna perizinan atau perkenan. Dan keempat, modalitas dinamik, dengan domain makna kemampuan atau kesanggupan.
Misalnya, pada ungkapan yang tanpa modalitas seperti aku mencintai kamu, jika diberi modalitas intensional dapat menjadi: aku ingin mencintai kamu. Adverbia ingin memberi makna "maksud" niat dan kemauan.Â
Selain itu, dapat pula menjadi: bolehkah aku mencintai kamu? Kehadiran adverbia bolehkah, memberi gradasi makna "maksud" berupa harapan atau pun permintaan.
Tuturan "aku mencintai kamu" yang tidak menggunakan modalitas itu, menyebabkan tertutupnya makna kemungkinan yang secara psikologis dapat dirasakan oleh lawan bicara atau pun pendengar.Â
Tuturan tanpa modalitas tersebut menunjukan sikap menyuguhkan "kebenaran" atau informasi mutlak, yang tidak memberi ruang dinamika makna bagi pendengar.
Melirik Slogan pada Empat Baliho Politisi
Pada ranah komunikasi sosial seperti penggunaan slogan pada baliho, kalimat atau ungkapan tanpa modalitas rupanya lebih menjadi pilihan. Seperti yang dapat kita temukan pada baliho politisi yang viral saat pandemi belakangan ini.Â
Boleh jadi, timses atau tim kreatif dari pembuat baliho telah mempertimbangkannya dengan matang.Â
Pembuat slogan baliho sepertinya memilih untuk sekadar memberi pernyataan atau pengabaran, sebagaimana fungsi plang toko atau warung makan di tepian jalan raya. Artinya tidak ada kemungkinan makna psikologis yang ditawarkan kepada pembacanya.
Sebagi contoh pada baliho dengan tagline atau slogan yang berbunyi, "Kerja untuk Indonesia". Ungkapan tersebut tidak memberi dinamika "mood" kepada pendengar ataupun pembaca.
Fungsi komunikasinya menjadi "tawar", karena sekadar mengabarkan atau menyatakan. Berbeda jika diberi modalitas intensional.Â
Misalnya seperti adverbia akan dan hendak sehingga menjadi, "Akan kerja untuk Indonesia" atau dapat pula menjadi "Hendak Kerja untuk Indonesia".
Hadirnya adverbia tersebut memberi makna "kemungkinan" terhadap keadaan di masa yang akan datang.
Tanpa menggunakan adverbia akan dan hendak, ungkapan tersebut memaksa pembaca untuk membayangkan bahwa yang bersangkutan sedang bekerja untuk Indonesia. Walau slogan pada baliho itu difungsikan untuk periode kerja di masa yang akan datang.
Pada slogan yang berbunyi "Demokrat Nasionalis Religius Berkoalisi dengan Rakyat", juga tidak mengandung modalitas. Padahal, jika diberikan modalitas epistemik misalnya, maka tuturan menjadi terang dan percaya diri.
Sebagai contoh, "Demokrat Nasionalis Religius Pasti Berkoalisi dengan Rakyat". Adverbia pasti memberi ruang makna psikologis "keyakinan".Â
Jika ingin memberi makna "kemungkinan" dan "keniscayaan", maka dapat memberi adverbia "akan". Misalnya "Demokrat Nasionalis Religius akan Berkoalisi dengan Rakyat".
Pada dua slogan lainnya juga tidak terdapat modalitas, hanya saja ada yang unik dari slogan-slogan ini. Sebab menggunakan ungkapan yang cenderung estetis, metafor, dan sastrawi.Â
Hal ini mengingatkan saya tentang licenctia poetica, tentang hak sastrawan dalam memperlakukan bahasa dalam karyanya. Sehingga penilaian-penilaian apa pun yang di luar estetis menjadi tidak mempan baginya.
Misalnya pada slogan "Kepak Sayap kebhinnekaan". Ungkapan tersebut cenderung indah untuk puisi atau pun judul film.Â
Secara estetis mungkin ada nuansa kewibawaan di sana. Namun ungkapan tersebut tetaplah bukan karya puisi atau pun syair, melainkan slogan pada baliho.Â
Begitu pula slogan baliho berbunyi, "Padamu Negeri Kami Berbakti", yang mengingatkan pembacanya pada karya lagu nasional legendaris.Â
Tentu akan kurang ajar bila mengatakan kalimat tersebut tidak indah. Pasti indah.
Jika melihat fungsi kedua ungkapan pada kedua baliho tadi, maka sulit melepaskannya dari maksud kampanye.
Oleh karena itu, pemberian modalitas dapat saja dilakukan, setidaknya untuk memberi gradasi makna "kesanggupan atau pun yang memberi makna "ajakan".
Misalnya, "Mari Ikut Menjaga Kepak Sayap Kebinnekaan". Adverbia "mari ikut menjaga"Â memberi dinamika makna sikap ajakan sehingga pembaca atau pendengar lebih merasa terlibat.
Lalu, pada ungkapan "Padamu Negeri Kami Berbakti", sebetulnya dapat diberikan modalitas kesanggupan ataupun kepastian.Â
Misalnya dengan adverbia "mesti" sehingga menjadi, "Padamu Negeri Kami Mesti Berbakti".Â
Maka muncul makna tawaran berupa kesadaran tentang "keharusan" atau pun dinamika makna "kepastian" di masa yang akan datang.
Saya kira, tidak adanya modalitas pada empat slogan baliho tersebut adalah bentuk pilihan atau strategi yang cukup logis.Â
Pembuat atau penyusun slogan-slogan tersebut ingin menghindari kemungkinan makna "kepastian" yang dinamis. Sebab, pesan dalam baliho itu semua memang belum pasti, dan pembacanya pun tentu telah menyadarinya.
Apabila slogan pada baliho-baliho tersebut memang dimaksudkan sebagai kampanye, maka sebaiknya diberikan modalitas pada kalimat atau ungkapannya.Â
Agar pembaca dapat menilai, menemukan, dan merasakan "mood" dari ungkapan slogan tersebut. Apakah itu sebuah ajakan, permintaan, kemungkinan, atau pun kesanggupan.
Marendra Agung J.W- 17 Agustus 2021-
Sumber konsep/teori tentang modalitas dapat dibaca di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H