Saya sempat mengira kalau golongan masyarakat yang tak dapat dilanda kecemasan adalah seniman. Seperti yang sering kita jumpai, jika melihat gerak-gerik dan gelagat para seniman yang tampaknya hepi-hepi terus hidupnya. Akan tetapi, apakah kondisi pademi 1 tahun lebih ini juga dapat memantik kecemasan seniman?
Prana, seorang pria 28 tahun, adalah salah satu pegiat seni  mural atau grafiti yang saya kenal. Saya kurang tahu bagaimana lebih tepatnya untuk menyebut aktivitas kesenian Prana. Â
Apakah dia seorang seniman jalanan ( street art), seniman kontemporer, pelukis atau perupa? Yang jelas ia sudah belasan tahun menggambar The Wose.
Mural dengan nama Karakter The Wose itu dapat terlihat pada dinding-dinding di bangunan terbengkalai, di cela-cela semak liar, di tepian gang-gang kecil, juga di tikungan jalan raya yang penuh kesibukan.
Kalau kita pernah melihat gambar The Wose, maka kita akan menemukan nuansa keceriaan yang dominan.
" Konsepnya  lebih ke figur anak-anak kecil sih," tutur Prana ketika saya jumpai di kediamannya. Prana bercerita bahwa energi kanak-kanak, romantisme masa kecil, serta kewajaran hidup anak rumahan merupakan nafas dalam proses kreatif The Wose. Hal tersebut terwujud dalam pilihan warna, kecenderungan ekspresi dan guratan wajahnya.
Melalui The Wose yang ia lukiskan di pojok-pojok jalan sejumlah kota itu, Prana ingin bilang, " Hei, hidup jangan tegang-tegang banget dong," kepada orang-orang yang sedang dalam perjalanan menuju kantor, tempat bekerja, berjualan, dan siapa saja yang sedang memperjuangkan hidupnya.Â
Meski demikian, kini Prana mulai menyadari kalau spirit The Wose itu bukan berarti hanya ditujukan untuk orang lain, melainkan juga untuk dirinya sendiri. Â Karena rupanya ia juga "sempat" mengalami cemas untuk satu tahun belakangan ini. Tanda kutip pada kata "sempat" itu akan terjelaskan pada bagian akhir tulisan ini. Â
Menarik untuk diketahui, bahwa Prana memandang kerja seni bukan hanya tentang uang. Â Baginya, menggambar itu memiliki dua sisi. Â