Mohon tunggu...
Marendra Agung J.W
Marendra Agung J.W Mohon Tunggu... Guru - Urban Educator

Write to learn | Lahir di Bekasi, mengajar di Jakarta | Menulis edukasi, humaniora, esai dan fiksi | Kontak: jw.marendra@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kenyang Berpendidikan

5 Mei 2021   15:30 Diperbarui: 5 Mei 2021   15:44 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: PIXBAY

Apabila pendidikan itu adalah perut, mungkin kini ia sudah begitu begah atau kekenyangan hingga sesak. Sebab, sejak era pandemik, selama kurang lebih dua tahun belakangan ini, pendidikan tak henti-hentinya kita beri masukan-masukan, percobaan-percobaan, serta saran untuk perbaikan dan perubahan. Dan setiap orang di tengah masyarakat tetap bergunjing dan menyampaikan pendapat tentang puas atau tidak puasnya mereka dengan pendidikan.

Sebagai masyarakat, tentu kita harus sadari bahwa rasa puas dan tidak puas tersebut mesti diperjelas batasnya. Maksudnya, puas atau tidak puas dengan pendidikan yang mana?  Pendidikan yang dialami dirinya sendiri dalam hal ini anak dan keluarganya saja, atau pendidikan yang dialami orang banyak? Tentu saja pembahasan pendidikan yang dimasud itu adalah ranah pendidikan formal, dalam hal ini sekolahan.

Yang kerap terjadi adalah paradoks. Ada orang atau pihak yang begitu puas dan menyambut baik perubahan -- perubahan dalam pendidikan. Di lain sisi ada juga pihak yang terseok-seok dan merasa terzolimi dalam perubahan tersebut. Hal tersebut berlaku bagi pihak mana saja, dari guru, murid, hingga orang tua bahkan mungkin saja berlaku juga untuk pedagang kantin sekolah sekalipun.

Mengapa perbedaan respon terhadap kondisi perubahan ini dapat terjadi? Boleh jadi, cara kita melihat dan memaknai pendidikan sebagai sistem atau sebagai "bahasa" itu tidak dapat berlaku universal bagi setiap orang atau semua pihak. Terlebih tentang mana jalan dan  mana tujuan atau mana yang cara dan mana yang hasil.

Untung saja pendidikan bukanlah perut sehingga dapat begah. Pendidikan adalah yang mengisi "perut" itu sendiri. Tentu itu adalah bahasa metafor. Bukan hanya karena uraian ini ditulis dalam suasana bulan puasa, namun munculnya ide pembahasan mengenai isi perut yang membuka tulisan ini juga terinspirasi dengan "Merdeka Belajar".

Sebagai semboyan pendidikan yang kini makin tersiar bunyinya, juga sebagai satuan bahasa, Merdeka Belajar menyiratkan metafor bagi pendengarnya, masyarakat, atau  kita. Ini yang berkatian dengan perbedaan pandangan mengenai mana jalan mana tujuan tadi.

Kita dapat menganalisis, apakah merdeka adalah tujuan? Atau belajar yang merupakan tujuan? Ada kedua-duanya merupakan tujuan? Kita dapat menimbang tujuan pendidikan melalui metafor pendidikan sebagai pengisi perut tadi.

Secara kuantitas, kenyang adalah hasil atau tujuan berpendidikan. Dan kesehatan adalah hasil pendidikan secara kualitas. Dan mungkin untuk puas tidak puas tadi adalah hasil dari bentuk emosi atau psikis saja.

Secara linguistik, penjelasan tersebut dapat tersusun dalam bangunan ungkapan "Kenyang Berpendidikan". Oleh karena itu, ungkapan tersebut saya rasa memiliki gejala makna yang sama dengan "Merdeka Belajar".  

Kata  "merdeka" dan kata "belajar" merupakan dua unsur yang berkategori berbeda dalam satuan kata. Merdeka merupakan adjektiva atau kata yang menimbulkan makna sifat, sedangkan "belajar" merupakan verba yang berjenis intransitif atau kata kerja yang tak mewajibkan kehadiran objek. Hal yang serupa dengan "kenyang" sebagai adjektif, dan "berpendidikan" sebagai verba.

Dua unsur tersebut menjadi satu konstruksi "Merdeka Belajar", yang  secara semantik merupakan ungkapan yang membentuk keadaan. Apabila kita iseng memberikan tambahan konjungsi untuk dua unsur kata tersebut maka maknanya pun akan lebih spesifik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun