Mohon tunggu...
Dr. Akbar Fahmi
Dr. Akbar Fahmi Mohon Tunggu... Administrasi - Akbar Fahmi

Clinical Researcher, Book Author, Creative Scientific Blogger, Healthcare Entrepreneur

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Sistem Pendidikan Kedokteran Indonesia vs Belanda

12 September 2015   23:31 Diperbarui: 15 September 2015   01:07 7933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Sistem Pendidikan Kedokteran di Indonesia

Indonesia, seperti sebuah tulisan sebelumnya dari sejawat yang juga Kompasianer, memiliki sistem pendidikan kedokteran yang sangat lama (bisa sampai 8,5 tahun!). Sistem pendidikan yang sangat lama ini dikarenakan ada beberapa tahapan yang sangat tidak efisien: waktu tunggu uji kompetensi dan program internship dokter.

Sistem pendidikan kedokteran di Indonesia sejatinya menganut kurikulum KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Sistem KBK ini sebenarnya diciptakan untuk memangkas lama pendidikan yang harus ditempuh seorang dokter dari 7 tahun (sebelum tahun 2000) menjadi hanya 5 tahun (sistem KBK)! 

Sistem KBK membagi pendidikan kedokteran menjadi dua yaitu pendidikan pre-klinik dan profesi. Pendidikan pre-klinik bisa ditempuh dalam 3,5 tahun dan di akhir prosesnya mahasiswa kedokteran berhak menyandang gelar S.Ked (Sarjana Kedokteran). Mereka masih harus menjalani pendidikan profesi yang ditempuh 1,5 tahun untuk meraih gelar dokter (dr.) di depan nama mereka. Sangat cepat, dengan sistem KBK Indonesia akan mencetak dokter hanya dalam 5 tahun masa pendidikan! 

Logikanya, dengan sistem KBK Indonesia tidak akan "kekurangan dokter" setelah menjalankan kurikulum ini beberapa tahun. Tahukah anda, saat ini satu orang dokter di Indonesia harus melayani 5000 penduduk. Bandingkan dengan Malaysia yang 1: 1000 dan Thailand yang 1:2500. Negara maju seperti Inggris memiliki rasio dokter:penduduk sebesar 1:300, sedangkan Amerika Serikat 1:300. (Data WHO, 2015)

Prof. Hasbullah Thabrany sempat mengusulkan untuk mengimpor dokter asing, agar kebutuhan dokter di Indonesia terpenuhi. Mungkin ini akan menjadi obat anti-nyeri jangka pendek yang  akan dengan ampuh mengobati defisit dokter di Indonesia, namun tidakkah ada sesuatu yang bisa kita lakukan agar dapat swasembada dokter? 

 

Inefisiensi Sistem Pendidikan Kedokteran Kita 

Kembali pada alur Sistem Pendidikan Kedokteran Indonesia, setelah seseorang mendapat gelar dokter, tidak serta merta mereka boleh praktek mandiri. Mereka masih harus mengikuti Ujian Kompetensi untuk mendapatkan sertifikat kompetensi dan menjalani program magang dalam program internship dokter Indonesia selama setahun. Logikanya, setelah 6 (5+1) tahun seorang mahasiswa Kedokteran akan memperoleh surat ijin praktek (SIP) dan wewenang untuk bekerja sebagai dokter mandiri. Namun, kenyataannya bisa molor hingga 8,5 tahun! 

Lamanya waktu yang diperlukan untuk mendapat SIP adalah karena inefisiensi dalam pelaksanaan program internship. Program internship nampak sebagai bentuk ketidakpercayaan diri para stakeholder dengan kualitas pendidikan profesi fakultas kedokteran di Indonesia. Pembuat kebijakan masih merasa butuh menambah pengalaman klinis calon dokter di rumah sakit dan puskesmas daerah sebelum benar-benar terjun ke Masyarakat. Tujuan yang mulia, namun jadi masalah jika imlplementasinya tidak seindah konsepnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun