Mohon tunggu...
Drajatwib
Drajatwib Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis amatiran

Menggores pena menuang gagasan mengungkapkan rasa. Setidaknya lebih baik daripada dipendam dalam benak, terurai lenyap dalam pusaran waktu.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Bius Informasi dan Pengendalian Narasi

6 Januari 2025   06:38 Diperbarui: 5 Januari 2025   08:43 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Di tengah arus deras informasi yang menguasai kehidupan sehari-hari, ada sebuah kejanggalan yang sulit diabaikan. Saat mahasiswa di berbagai kota turun ke jalan untuk menolak kebijakan kenaikan PPN 12%, berita itu nyaris tidak terdengar. Media mainstream seolah bungkam, dan di media sosial, riak demonstrasi itu tenggelam di antara hiburan viral dan isu-isu ringan lainnya. Apakah ini kebetulan? Atau ada sesuatu yang lebih besar yang sedang bekerja di balik layar?

Pemandangan ini membuka ruang diskusi tentang bagaimana informasi dikendalikan dan bagaimana masyarakat secara perlahan dibius, kehilangan kesadaran akan apa yang sebenarnya terjadi di sekitarnya. Fenomena ini jelas bukan sesuatu yang muncul secara tiba-tiba. Ia adalah hasil dari skenario yang dirancang dengan sistematis, di mana pengendalian narasi menjadi senjata utama untuk mempertahankan kekuasaan.

Sejarah telah membuktikan bahwa penguasaan atas informasi adalah langkah pertama menuju kontrol atas masyarakat. Di Indonesia, banyak media besar dimiliki oleh konglomerat yang memiliki hubungan erat dengan elit politik. Kepentingan ekonomi dan politik mereka sering kali berjalin, menciptakan situasi di mana berita yang disajikan lebih condong mendukung narasi pemerintah. Demonstrasi mahasiswa, meskipun penting dan layak diberitakan, dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas yang harus dijaga.

Namun, pengendalian tidak hanya terjadi di media mainstream. Media sosial, yang seharusnya menjadi ruang bebas untuk mengekspresikan pendapat, juga tidak sepenuhnya netral. Algoritma yang mengatur apa yang dilihat pengguna sering kali memprioritaskan konten yang aman dan menghibur. Isu-isu sensitif seperti demonstrasi atau kritik terhadap pemerintah mudah tersingkir dari linimasa, baik karena dianggap terlalu kontroversial atau karena tekanan dari pihak-pihak tertentu.

Di balik layar, ada tim teknokrat dan konsultan strategi politik yang bekerja dengan efisiensi tinggi. Mereka memahami pola perilaku masyarakat melalui data besar (big data) dan menggunakan informasi ini untuk menciptakan narasi yang menguntungkan kekuasaan. Mereka tahu kapan harus mengangkat isu tertentu untuk mengalihkan perhatian dan kapan harus membiarkan isu lainnya tenggelam tanpa jejak. Strategi ini tidak hanya efektif, tetapi juga sulit dilawan, karena ia bekerja secara halus, di luar pandangan publik.

Namun, yang lebih mencengangkan adalah bagaimana masyarakat sendiri menjadi subjek dari strategi ini. Dalam hiruk-pikuk kehidupan modern, kebanyakan orang terlalu sibuk dengan pekerjaan, keluarga, dan urusan pribadi mereka. Tekanan ekonomi membuat banyak orang merasa bahwa mereka tidak punya waktu atau energi untuk memikirkan isu-isu besar seperti kenaikan pajak atau korupsi. Budaya konsumsi dan hiburan yang terus didorong oleh media semakin mempersempit ruang untuk kesadaran politik.

Dalam situasi seperti ini, demonstrasi mahasiswa tidak hanya menghadapi tantangan dari media dan pemerintah, tetapi juga dari apati publik. Bahkan ketika demonstrasi itu terjadi, masyarakat sering kali melihatnya sebagai gangguan, bukan perjuangan untuk kepentingan bersama. "Untuk apa berpikir soal negara, kalau hidup saya sendiri sudah cukup sulit?" adalah pemikiran yang kerap muncul.

Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari strategi penguasa yang bekerja di balik layar. Dalam diskusi ini, muncul gambaran tentang Astuto, sebuah simbol dari pemimpin pragmatis yang menguasai seni mempertahankan kekuasaan. Astuto tidak bekerja sendirian. Ia adalah bagian dari sistem besar yang melibatkan konglomerat media, teknokrat strategi politik, dan elit ekonomi. Bersama-sama, mereka menciptakan bius informasi yang membuat masyarakat tetap sibuk dengan masalah kecil, sehingga tidak ada waktu untuk memikirkan isu-isu besar.

Astuto tahu bahwa kekuasaan tidak hanya soal menang dalam pemilu atau memiliki mayoritas di parlemen. Kekuasaan adalah tentang mengendalikan narasi, memastikan bahwa masyarakat tidak merasa perlu untuk melawan, bahkan ketika kebijakan yang diambil merugikan mereka. Dalam sistem ini, tidak perlu membungkam suara-suara kritis. Cukup pastikan suara itu tidak didengar.

Namun, seperti setiap bius, efeknya tidak abadi. Di beberapa sudut kecil masyarakat, ada yang mulai sadar. Mereka yang mencari informasi di luar arus utama, mereka yang berbicara dalam lingkaran kecil, mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang salah. Bahwa isu-isu besar seperti kenaikan PPN, korupsi, atau ketidakadilan lainnya tidak lagi menjadi bagian dari percakapan sehari-hari bukan karena masalah itu hilang, tetapi karena masalah itu sengaja disingkirkan.

Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana masyarakat bisa bangkit dari tidur panjang mereka? Apakah kesadaran ini bisa meluas sebelum bius informasi ini kembali bekerja? Diskusi ini tidak memberikan jawaban langsung, tetapi ia menawarkan refleksi mendalam tentang bagaimana kekuasaan bekerja di era modern dan bagaimana rakyat bisa meresponsnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun