Semalam ketenangan menyaksikan tayangan film melalui televisi dikamar dikagetkan dengan informasi tentang laporan adanya suara ledakan disekitar area Lodge-7, dekat kawasan rumah Gubernur North-Eastern state. Yang melapor adalah salah satu peserta pertemuan internasional dari Uni Eropa yang kebetulan menginap disana.Â
Laporan diterima tim Radio Room dan diteruskan ke officer on standby. Kontak ke otoritas setempat dan kolega di lapangan segera dilakukan dan memperoleh jawaban bahwa suara yang terdengar adalah suara letusan tidak sengaja yang dilakukan oleh seorang tentara yang berjaga disekitar wilayah tersebut. False alarm.Â
Situasi tenang kembali, si pelapor sudah mendapat feedback dan merasa tenang. Tidur kembali nyenyak, sampai keesokan harinya dikagetkan lagi dengan berita bom bunuhdiri yang didahului oleh rentetan tembakan dari arah Jidari Polo, sekira 6 km dari lokasi venue. Pagi itu berita masih simpang siur, beberapa berita masih berbeda beda.Â
Ada yang menyebutkan ledakan terjadi menewaskan dua pelaku bom bunuh diri, dengan pelaku dua anak laki laki. Ada yang menyebut pelaku dua wanita muda. Yang terpikirkan saat itu adalah event pertemuan internasional yang dihadiri banyak pejabat asing dan pejabat tinggi internasional. Pengawalan harus diperketat dan diatur dengan seksama.Â
Ketika sedang mempersiapkan keberangkatan konvoi 6 kendaraan bullet-proof (hard-skin) dengan pengawalan polisi dan militer seorang kolega datang dengan membawa kabar tentang foto korban kejadian jam lima pagi ini. Memang korban dalam kejadian pagi ini hanyalah dua orang pelaku sendiri, dua orang remaja wanita berusia 13 dan 15 tahun.Â
Melihat foto dan fakta fakta lain yang lebih luas khususnya persoalan fundamental khususnya kesejahteraan masyarakat, jadi semakin miris merasakannya. Betapa tidak, anak seusia remaja SMP menjadi pelaku bom bunuh diri. Masa remaja yang seharusnya dipenuhi dengan berbagai kegembiraan karena mulai masuk dalam masa pergaulan heterogen, masa akhil-balik, masa merasakan taksit-menaksir dan cinta monyet, digantikan dengan saat saat berserah hidup.Â
Tentusaja mereka bukan berasal dari keluarga yang berkecukupan dan memiliki akses pendidikan yang memadai. Mungkin saja keseharian hidup saja sudah sedemikian beratnya sehingga masa yang harusnya penuh kegembiraan menjadi masa yang paling suram dalam hidupnya. Jadi, mungkin mereka berpikir, untuk apa lagi hidup kalau teramat susah dan tanpa harapan. Belum lagi jika meninggal dalam aksi bom bunuh diri katanya bakal masuk surga dan ketemu dewa-dewi dan kehidupan yang serba nyaman. Janji manis apalagi yang harus dipercayai jika realitas sedemikian absurd dan tanpa harapan.
Eits.... Tunggu dulu. Ternyata adapula informasi lain yang menyatakan mereka sebenarnya adalah korban dari oknum radikal pengecut yang berani memaksa orang tapi tidak berani menjalaninya sendiri. Apa makdudnya?. Informasi itu menyebutkan bahwa awalnya mereka adalah para remaja binaan yang terlanjur dicekoki dengan berbagai dogma tentang kematian yang mulia, tapi dalam perjalanan mereka lalu dipaksa untuk menjadi setengah martir.Â
Kenapa setengah, karena yang setengah lagi remaja itu belum matang kehendaknya untuk menjadi martir, alias masih takut mati. Namun dalam perjalanan mereka dipaksa untuk membawa bom rakitan yang diikat erat dibadan dan ditutup baju longgar. Lalu jika pelaku tidak berani meledakkan dirinya didekat target, mungkin karena berubah pikiran, maka akan diledakan oleh si "pengirim" dari jarak tertentu. Apa artinya. Artinya tidak ada pilihan lain memang kecuali harus mati karena bom rakitan yang menempel ditubuh.Â
Sadis dan biadab memang. Sebab jika dipikirkan kenapa tidak melakukan sendiri, tapi malah menyuruh anak remaja binaan mereka. Alasan apapun yang disampaikan tetap saja pengecut si penyuruhnya. Dan faktanya korban korban remaja baik laki laki dan perempuan ini sudah seringkali terjadi. Mungkin selama bulan April-Mei saja sudah ada 5 kejadian dengan korban pelaku pelaku yang masih remaja berjumlah 9 orang.
Kehidupan dikota ini, terlebih di daerah dipinggiran kota dan beberapa desa disekitarnya memang keras. Susah untuk bisa menikmati kehidupan disini kalau tidak memiliki pekerjaan dengan penghasilan tetap, terlebih jumlah lapangan pekerjaan sepertiya tidak banyak. Jika ada pun masih berada pada tataran pekerjaan kelas bawah yang lebih membutuhkan ketrampilan dasar dan tenaga ketimbang ketrampilan otak.Â