Mohon tunggu...
Drajad Hari Suseno
Drajad Hari Suseno Mohon Tunggu... -

Drajad Hari Suseno, born in Surakarta on 17 June 1965, is highly motivated person who has a wide range of experience in the field of public relations, communications, marketing, social-politics, and governmental policies, etc. He has good relationship to national level media as his class-mates are at good positions in the media. His overseas journey has resulted his wide-world overview as well as mutual network. He also has strong leadership in the field of revitalizing small and medium enterprises, been involved in developing Sragen Regency in order to enhance many rewards at national level. He is now working as Junior Experts at Bogor Ring Road, a toll road operated by PT Marga Sarana Jabar, a joint venture which 55% of its share is owned by a state owned company PT Jasa Marga (Persero) Tbk. and 45% is owned by PT Jasa Sarana a provincial owned company.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Positioning

23 Maret 2011   12:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:31 729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jack Strout: "Positioning is not what you do the product but it is what you do to the mind".

Konsep sebagaimana dikemukakan oleh ahli periklanan dari AS di atas terbukti sangat ampuh. Dari berbagai pengalaman dan cerita sukses dunia usaha di seluruh belahan bumi ini, disadari atau tidak, telah menggunakan definisi konsep positioning untuk mencapai target semaksimal mungkin. Dan konsep ini juga terbukti sangat ampuh tidak saja untuk pengembangan industri jasa dan produk, tapi juga berlaku dalam dunia politik. Oleh karena itu para konsultan PR profesional dan kelas dunia selalu menggunakan pendekatan ini untuk mencapai target-target yang ditentukan, kemudian diukur dengan intrumen yang disebut 'audit humas'.

Publik, bahkan masyarakat dunia, sebagai obyek tidak pernah menyadari bahwa mindset mereka telah 'digarap' dengan berbagai cara oleh suatu simbol, jargon, tag line, motto, dan predikat tertentu yang secara sistematis memang diciptakan. Kalau dalam ilmu Hubungan Masyarakat, lebih dekat dikenal sebagai 'pencitraan'. Contoh riil, publik dunia menganggap Amerika sebagai negara super power atau polisi dunia atau negara demokratis sejati. Padahal, jika diukur dengan parameter obyektif, belum tentu predikat-predikat itu sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Hanya sebatas anggapan. Jadi, positioning adalah bagaimana anggapan terbangun terhadap suatu obyek. Dan obyek itu bisa orang (individual), komunal, organisasi, perusahaan, lembaga, dan lain-lain termasuk negara seperti contoh di atas.

Benarkah Amerika adalah negara super power yang tak terkalahkan? Sebagai anggapan mungkin benar. Tapi kenyataan obyektif dan riil, belum tentu. Saya bahkan berani bertaruh bahwa Amerika menghadapi Korea Utara saja pasti 'ngeper', apalagi menghadapi Rusia atau Cina. Korea utara memiliki nuklir yang daya jelajahnya mampu mencapai jarak terjauh Amerika. Artinya, kalau Kim Yong Il benar-benar insane dan marah, tanpa aba-aba Amerika bisa diluluh-lantakkan oleh Tae Po Dong milik Korea Utara dalam hitungan hari.

Di dalam negerinya sendiri, pemimpin Korut itu mampu menggarap mindset rakyatnya seolah dirinya dewa. Indoktrinasi yang dilesakkan kepada rakyatnya sejak usia dini. Gambarnya pun dipasang dan disembah di setiap rumah. Rakyat Korea Utara tidak peduli apakah bisa makan atau tidak, mereka tetap mencintai pemimpinnya seperti dewa, yang bisa mengayomi dan mengayemi warganya. Mereka percaya kepada pemimpinnya tanpa reserve. Nyatanya ketika terjadi bencana kelaparan, pemimpinnya mampu menyediakan bahan makanan, tidak peduli bagaimana caranya, dari mana asalnya. Rakyat Korea Utara tidak pernah mengganggap penting arti demokrasi, tidak pernah mengganggap demokrasi itu perlu. Mereka bahkan tidak tahu demokrasi itu 'makluk' apa. Itu contoh konkrit positioning rakyat Korea Utara terhadap pemimpinnya, terhadap negaranya yang harus dibela mati-matian.

Contoh lain mengenai produk. Pada awal rokok 'A Mild' hadir di tengah masyarakat, PT Sampoerna memperkenalkan kepada publik dengan tag line "How Low Can You Go?" Tag line ini jelas konsep untuk memposisikan (positioning) bahwa produk rokoknya memiliki kadar tar dan nicotine rendah. Hal ini sejalan dengan semakin tingginya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan. Masyarakat masih tetap ingin merokok, tetapi yang tidak terlalu membahayakan, atau yang kadar tar dan nikotin-nya rendah. Tak pelak, positioning how low can you go ini mampu menembus mindset publik dan meningkatkan sale yang dahsyat melebihi harapan. Kemudian muncul tag line-tag line selanjutnya yang kreatif dan mematikan misalnya, "others can only follow". Alhasil, sampai detik ini pun tetap menjadi market-leading meskipun muncul banyak pesaing.

Contoh produk lain adalah keramik merek Essenza. Dalam positioning, Essenza menempatkan dirinya sebagai produk yang tahan gores dan kuat dengan akhiran tag line 'no tile like this'. Mindset orang digarap bahwa tidak ada produk keramik lain yang lebih baik dari Essenza. Dalam tayangan iklannya dinyatakan: no screcth like this, no strength like this, dst... di akhiri dengan kalimat, "Essenza, no tile like this". Produk ini jelas dikemas untuk segmentasi kelas menengah ke atas, baik yang berpendidikan maupun yang mapan. Bagi mereka yang minimal melek bahasa Inggris akan langsung berfikir bahwa keramik Essenza ternyata tahan gores dan kuat. Publik tidak sadar bahwa mindset merekalah yang digarap, yang akhirnya mengamini no tile like this. Sangat kreatif.

Di luar Sragen, terbentuk positioning bahwa Sragen hebat, bersih dari KKN, smart regency, dan lain-lain. Tetapi orang Sragen sendiri, terutama birokrat tahu persis bahwa dalamnya bobrok, hanya 'obor blarak'. Satu-satunya sistem manajemen yang patut dibanggakan hanyalah 'pelayanan terpadu'. Kalau itu benar-benar riil dan layak menjadi panutan. Tetapi yang lain? No way. Pengelolaan keuangan/anggaran hanya sebatas slogan, bagus di laporan tapi busuk pada praktiknya. Ini adalah positioning.

Di bidang politik juga begitu. Partai-partai bisa dibeli. Pilkada hanyalah ritual lima tahunan yang seolah-olah berjalan demokratis. Dalam konteks politik, dalam frame induktif Sragen, bisa saya katakan tidak ada demokrasi, yang ada hanyalah demo orang crazy terhadap kekuasaan, tahta, harta dan wanita.

Untuk pasangan tertentu dipaksakan bentuk positioning, "orang kuat, banyak prestasinya, banyak duitnya, didukung partai-partai besar'. Pertanyaanya apakah pasti menang? Belum tentu. Tapi harus diakui bahwa posisi ini telah membuat para pesaing 'ngeper', bahkan cenderung pesimistis. Di tataran publik juga tercipta anggapan bahwa 'menang duit', 'semua bisa dibeli' seolah politik/demokrasi menghalalkan cara ini. Masyarakat Sragen tidak sadar bahwa mindset mereka terpola dalam lemparan isu yang berkembang secara word of mouth, juga komunal. Banyak anggapan muncul: 'berobat gratis, dapat semen, aspal, uang' adalah hasil kebaikan seseorang/pasangan. Mereka tidak tahu bahwa sumber dananya dari APBD. Di sisi lain, masyarakat tidak merasa perlu tahu dari mana asalnya yang penting dapat. Kalau positioning ini dibiarkan, akan menyesatkan bahkan akan menjadi bumerang di kemudian hari. Beberapa kejadian yang telah terungkap, sampai-sampai ada partai yang mengancam akan menarik dukungan terhadap pasangan karena ternyata apa yang dijanjikan tidak sesuai harapan. Bahkan seorang petinggi partai pun mulai meragukan dan sempat berujar, 'Jane duwe duit tenan pora to iki?"

Di sisi lain, khusus di lingkungan birokrat, sudah terbangun citra kurang baik terhadap pasangan tertentu, misalnya akan menjadi 'pemerintah boneka, kalau jadi hanya untuk menutup kasus-kasusnya, duit APBD akan terkuras habis menutup utangnya, APBD akan mengalami defisit lagi, dll'. Positioning ini lahir alami kontra dengan yang sengaja diciptakan. Terbentuknya posisi ini karena para birokrat merasakan sendiri bagaimana selama sepuluh tahun terakhir tidak banyak kemajuan yang berpihak pada birokrat. Bahkan sekedar untuk mendapatkan haknya berupa uang lauk pauk saja rasanya jauh panggang dari api. Belum lagi untuk sekedar mendapatkan THR saja seolah seperti 'mengemis', berbeda dengan yang dulu-dulu. Singkatnya, kesejahteraan PNS secara ekonomis tidak semakin membaik, tapi justeru semakin memburuk. Dari situlah muncul anggapan, 'memang sudah tidak bisa dipertahankan'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun