adalah Plato (427-347 SM), yang mengatakan bahwa adanya dua substansi yang masing-masing mandiri dan tidak saling bergantung yakni dunia yang dapat diindera dan dunia yang dapat dimengerti. Kaitannya dengan manusia adalah, dunia yang dapat diindera adalah badan kita dengan alasan dapat dilihat. Sedangkan yang dapat dimengerti adalah jiwa dengan alasan tidak dapat dilihat atau diraba tapi masih bisa dirasakan, maka dari itu dapat dimengerti.
Plato membedakan manusia atas dasar Jiwa dan Badan. Kedua ini tidak dapat menyatu alias berpisah satu sama lain. Sehingga ketika terjadi hubungan yang tidak sinkron itu wajar dan pasti terjadi.
Misalnya saja ada kakak adik yang masih di bawah usia remaja dan telah menjadi yatim piatu. Dia mencuri dengan alasan ingin memberikan makan kepada adiknya yang kebetulan ketika itu tidak ada persediaan untuk dimakan. Ini membuktikan bahwa jiwa boleh baik. Tapi akankah perilaku menunjukkan kebaikan pula. Belum tentu.
Sebaliknya, ada seseorang yang telah berperilaku baik, tapi didasari oleh niat buruk. Contohnya : ada seorang hamba yang sedang naik haji, dengan didasar karena ingin dipanggil pak haji. Bukankah niat yang benar adalah untuk menyeru panggilan Allah SWT. Bukankah itu melenceng.
Jadi benar apa yang disabda oleh Rasulullah SAW yang berbunyi “Innamal a’malu bin niat” sesungguhnya amal tergantung pada niat. Jika amalnya baik dan niatnya baik. Maka sempurnalah amalnya. Tetapi ketika amalnya baik tapi niatnya buruk. Maka keburukan akan mengikutinya, tak ada imbalan positif yang diperoleh.
Maka disinilah letak Islam menjadi penyelaras atas kedua-keduanya. Antara jiwa dan badan disamakan. Perlu latihan agar kedua yang berbeda dapat menjadi kesatuan yang memiliki satu tujuan dan peran yang baik. Wallahua’lam bishowab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H