Pencabutan "Catatan Harian Anas Urbaningrum" dari Kompasiana tak lantas membuat riwayat tulisan tamat. Ya, dari salah satu media online saya mendapat catatan harian yang terdiri dari lima bagian tersebut. Lepas dari segala kontroversi yang menyelimuti catatan harian yang diyakini merupakan tulisan Anas Urbaningrum, semisal seputar penyebutan sejumlah petugas KPK yang tertera dalam catatan itu, sebenarnya terdapat hal menarik yang sayang untuk dilewatkan.
Harus diakui Anas memiliki cara berpikir yang terukur dan tertata. Lihatlah bagaimana ia di salah satu catatan hariannya membuka dengan menerangkan kondisi ruangan yang ditempatinya selama menjadi tahanan KPK berikut ini;
Kamar agak luas. Lumayan untuk ukuran kamar tahanan dibanding yang saya bayangkan, seperti kamar waktu dulu indekos di Surabaya atau Jakarta. Tempat tidurnya kecil, cukup untuk satu orang. Ada kamar mandi dan toilet yang dibatasi tembok. Ada pula wastafel dan rak piring kecil. Pokoknya mirip kamar indekos mahasiswa.
Membaca kutipan di muka selaku pembaca saya sudah langsung mendapat gambaran ihwal keadaan ruangan yang ditempati tahanan KPK. Penggambaran ruang tahanan yang dituliskan Anas boleh jadi berlaku sama dengan tahanan-tahanan lain. Dampak mendalam dari pelukisan ruang tahanan KPK ialah kondisi ruangan KPK yang selama ini terkesan tak tersentuh pandangan mata awam sedikit banyak mulai terkuak.
Kepandaian Anas merangkai kata  tak sebatas pada penggambaran ruang tahanan. Ia juga tampak mahir menjalin alur  cerita, hingga membentuk apa yang disebut salah seorang legenda perfilman Indonesia Misbach Yusa Biran, dalam bukunya Teknik Menulis Skenario Film Cerita (2006) sebagai "konstruksi dramatis",  kejutan-kejutan, ketakterdugaan yang membuat penonton terpukau.
Momen dramatis dari cerita Anas dalam salah satu catatan hariannya tampak ketika ia berbincang dengan Abraham Samad. Ditulis Anas
"Abraham menyampaikan komitmen untuk saling dukung dan saling menjaga sebagai sesama anak muda. Ternyata, di dalam proses saya menjadi tersangka terdapat peran serius Abraham, yang bahkan menyampaikan harus pakai cara kekerasan. Istilah yang dipakai adalah "pakai kekerasan dikit". Tentu saja dalam kalimat itu terkandung makna memaksa atau pemaksaan atau keharusan. Entah maksudnya memaksa dari segi waktu atau dari segi substansi perkara yang disangkakan."
Lewat suatu pembacaan kritis Anas tampak sedang memengaruhi pembaca untuk ikut larut dalam cara berpikir atau katakanlah alur cerita yang hendak dibangunnya, yakni memosisikan Abraham Samad, selaku Ketua KPK, yang jika diperlukan akan  menggunakan cara kekerasan dalam memerlakukan tahanan KPK. Tak hanya sekali Anas "menyerang" Abraham Samad. Di  bagian lain dari catatan hariannya ia juga terkesan menyudutkan Abraham seraya menyebutnya "sebagai benteng hukum atau pengacara Ibas."
Singkatnya, uraian-uraian Anas sepanjang catatan hariannya ini, jika disejajarkan dalam sebuah skenario film cerita, tampak berusaha memosisikan orang-orang yang dianggap berseberangan dengan pandangan-pandangan pribadinya pada posisi sebagai tokoh antagonis.
Pelukisan Anas yang tampak mumpuni juga terlihat saat ia menulis tentang sepak terjang penyidik;
"Sebetulnya ada lagi penyidik, (Anas menyebut nama), polisi asal Grobogan, Jawa Tengah, yang ikut nimbrung ngobrol soal penahanan. Lalu, ada juga perempuan penyidik, Salmah, yang sejak awal masuk-keluar  ruang pemeriksaan untuk koordinasi dengan (Anas menyebut nama) dan (Anas menyebut nama) penampilannya dingin tanpa seutas senyum. Dari mereka berempat, (Anas menyebut nama) yang paling tampak tampil sebagai penyidik."
Kutipan di muka menunjukan kejelian Anas menafsir karakter orang. Penampilan salah seorang penyidik yang penampilannya dianggap dingin sudah pasti bertolak dari pemahaman Anas tentang ilmu jiwa yang standar, sebuah kemahiran membaca karakter orang hanya dari perilaku yang dilakukannya berulang-ulang. Kepandaian ini biasanya didapat dari seringnya seseorang melakukan pengamatan secara intens dan terperinci terhadap segala hal yang ada di sekelilingnya; sebuah kemahiran yang biasanya dimiliki oleh para sastrawan mumpuni.