ilustrasi, shutterstock
Tahukah anda? Tanggal 10 Oktober setiap tahunnya diperingati sebagai hari kesehatan jiwa dunia. Tanggal ini diperingati mulai tahun 1992 oleh World Federation of Mental Health, dan setelah itu diperingati seluruh tahunnya untuk meningkatkan kesadaran terhadap gangguan jiwa. Tema tahun ini adalah dignity in Mental Health (Kehormatan dalam kesehatan jiwa).
Lantas apa hubungannya dengan es krim? Jujur saja, tentu saja judul ini dipilih untuk menarik pembaca. Tetapi judul ini juga mewakili sebuah kisah nyata dan unik yang terjadi di Amerika, yaitu tentang seorang ibu yang harus membayar 514 dolar amerika (lebih dari 7 juta rupiah) untuk mendapatkan sebuah es krim bertangkai, atau popsicle. Jika anda mengingat es krim seperti paddle pop yang memberi iming-iming hadiah pada tangkainya, maka itulah popsicle. 7 juta untuk paddle pop? Tentu saja tidak sepenuhnya benar. Mari kita simak ceritanya, dan selanjutnya akan saya jabarkan bagaimana cerita ini bisa dikaitkan dengan gangguan jiwa.
Kisah ini diceritakan oleh sang ibu, yang juga adalah seorang wartawan, pada media online Bangor daily news (dapat didownload di SINI). Awalnya, sang ibu panik karena bayinya jatuh tertelungkup dari kursi ke meja besi. Bibirnya sobek dan berdarah. Tetangganya yang seorang dokter sedang tidak ada di rumah. Maka pergilah keluarga tersebut ke unit gawat darurat. Dokter menemui mereka, dan menyatakan bahwa dengan robekan begini, jahitan justru akan lebih menyakitkan dan tidak bermanfaat. Maka sang dokter pun memberikan senjata ampuhnya, es krim bertangkai. "Berikan es krim beberapa kali dan sementara jangan sikat gigi," begitulah nasehat sang dokter terhadap keluarga ini. Mereka pun pulang. Dua minggu kemudian, tagihan pun datang. 514 dolar amerika. Dengan penuh kekecewaan, sang ibu pun menulis tentang es krim termahal di dunia. di akhir tulisan, dia menyatakan bahwa dia belajar dari pengalaman dan merasa bahwa mungkin sebaiknya mereka tidak membawa anaknya ke UGD kecuali ada tulang mencuat keluar.
Masalah di sini sebenarnya terjadi karena orang tua ini menganggap bahwa pelayanan yang mereka terima hanyalah berupa popsicle. Mereka menganggap bahwa yang mereka bayar hanyalah es krim yang seharusnya seharga kurang dari nasi goreng. Seorang dokter membalas tulisan ini pada situsnya (DISINI). Dokter tersebut menyatakan bahwa yang mereka bayar sebenarnya bukanlah es krim, melainkan ilmu yang dimiliki oleh sang dokter, sekaligus juga waktu luang (karena kejadian itu terjadi di akhir minggu) dan berbagai pelatihan untuk mendapatkan kemampuan itu.
Kenapa mereka panik sebelum menemui dokter? Karena mereka tidak memiliki ilmu tentang kegawatdaruratan. Kenapa mereka tenang setelah diberi tahu dokter bahwa putranya tidak apa-apa? Karena mereka tahu sang dokter punya ilmu tentang kegawatan, sehingga sang dokter pastilah yakin bahwa ini bukanlah kegawatan, dan tidak perlu dijahit.
Seorang dokter tidak mungkin mengatakan, "Ini hanya sakit kepala biasa, bukan stroke. Pulang saja dan minum paracetamol," jika dia tidak mengetahui bagaimana gejala stroke. Tetapi pasien yang pusing dan telah mendapat manfaat dari ilmu tersebut malah bisa saja berkata, "Ternyata bukan stroke. Coba tadi tidak ke dokter, pasti lebih hemat." Untuk mendiagnosis satu penyakit, dokter perlu ilmu tentang sepuluh penyakit, supaya bisa memastikan bahwa sembilan penyakit lainnya tidaklah diderita pasien. Tetapi jarang orang yang sadar bahwa yang mereka bayarkan ke dokter adalah termasuk juga ilmu tentang seluruh penyakit tersebut, dan bukannya sekedar penyakit mereka sendiri. Kemampuan memilih diagnosis selalu didukung oleh pemahaman dengan seluruh kemungkinan diagnosis.
Saya tidak menyatakan bahwa harga yang diberikan sang dokter adalah wajar, karena saya tidak mengetahui standar harga pelayanan di Amerika Serikat. Tetapi, pembandingan pelayanan dokter dengan harga sebuah es krim tentunya adalah sesuatu yang tidak pas. Mungkin untuk lucu-lucuan, sang pasien menyatakan bahwa es termahal di dunia itu malah dimakan olehnya dan suaminya, sehingga si anak justru sebenarnya tidak mendapat perawatan apapun. Di sini mungkin dokternya memang salah, karena mungkin dia lupa menerangkan bahwa es tersebut dimaksudkan untuk mengecilkan pembuluh darah dan mengurangi pendarahan si anak, bukan untuk cemilan manis bagi ortunya.
Dalam banyak hal, sebenarnya kita seringkali hanya melihat 1 hasil sedangkan orang yang melakukan itu telah melakukan 10 usaha untuk mendapatkannya. Kita kadang mengomentari fisik seorang model tanpa mengetahui berapa kilometer dia harus jogging setiap hari dan berapa tahun dia menahan diri tidak makan kue manis. Kita kadang hanya melihat bangunan yang sudah ada tanpa tahu berapa rancangan yang harus dipahami sang arsitek dan bagaimana dia memilih rancangan struktur tersebut untuk menyesuaikan keadaan dan bahan bangunan. kita hanya melihat sebuah tendangan bebas tanpa tahu berapa ratus tendangan yang harus dilakukan sang atlet saat latihan. Kita hanya melihat kesuksesan manusia dalam hal fisika nuklir, tanpa menyadari bahwa organisasi bernama CERN menggali ratusan kilometer terowongan, hanya untuk melakukan penelitian tentang atom yang bertabrakan.
Sayangnya, hal yang kita lihat tidaklah selalu keberhasilan. Bahkan setelah 10 kali lipat usaha, seringkali yang kita lihat adalah kiper yang gagal menangkap bola, atau bangunan yang roboh. Lantas bagaimana dengan pasien gangguan jiwa? Apakah kita melihat usaha mereka? Apakah kita tahu apa yang telah diusahakan di saat ribuan orang meremehkan mereka?
Gangguan jiwa mungkin telah ada sejak peradaban manusia ada. Telah banyak dituliskan kisah-kisah di masa lalu, baik fiksi maupun kenyataan, tentang orang-orang yang menderita gangguan jiwa. Contoh yang paling populer adalah Hercules, pahlawan super kuat yang dibuat terganggu jiwanya oleh kutukan sehingga akhirnya membunuh anak-anaknya.