Tidak ada gading yang tak retak, peribahasa ini sudah lama menggaung bahwa tak ada manusia yang sempurna. Manusia hanya makhluk ciptaan Tuhan yang tak luput dari kesalahan. Kisaran satu dekade yang lalu perbuat yang tidak baik, kita diajarkan sedari kecil untuk mengucap maaf. Sayangnya hal itu tidak dipertahankan, bayangkan jika hal ini terus berlanjut. Rasanya istilah salah itu seperti momok yang ditakuti banyak orang. Kesalahan ibarat aib yang wajib ditutupi, dicarikan alibi bahkan ramai-ramai menolak keras istilah salah ini, Â bak penyakit menular yang menjijikan. Â Hal yang wajar manusia berbuat salah, menyadari dan perbaiki. Jika berbesar hati lebih baik meminta maaf. Maaf adalah etika dan tata krama yang essensial dalam berkehidupan, siapapun, dimanapun dan kapanmu.
Bukan hanya kita manusia dewasa yang telah melalui segala proses kehidupan, sejak kecilpun kita sebagai manusia sudah melakukan kesalahan. Kesalahan membuat kita belajar lebih baik dan banyak lagi. Dari kesalahan kita berkembang dan maju. Betapa sulitnya untuk maju dan berkembang, belum mendengar kata salah saja sudah takut untuk mendengarnya, ketika sudah mendengarnya, berusaha sekuat tenaga bahkan menghalalkan segala cara untuk menolak keras kata salah ini. Sungguh menyedihkan nasib istilah salah, keberadaannya ditolak dimana-mana. Padahal salah seperti obat, kadang terasa pahit tapi menyembuhkan. Betapa merosotnya tata krama saat ini. Padahal bangsa ini terkenal keramahtamahannya di dunia.
Beberapa negara tetangga, masih mempertahankan hal baik seperti melambaikan tangan jika menyenggol pejalan kaki, mengucapkan kata maaf, memberikan tempat duduk di transportasi umum untuk penumpang prioritas atau mengutamakan orang lain yang membutuhkan. Sayang sekali hal ini jauh menurun di negara tercinta. Coba perhatikan pengendara motor yang melanggar aturan lalu lintas, pengendara mobil yang tidak menggunakan lampu sen pada waktu yang seharusnya, kesalahan-kesalahan kecil ini cenderung berakibat membahayakan pengguna jalan lain. Saat ini sudah biasa menormalisasi kesalahan, maka makin banyak orang yang melakukan hal serupa.
Parkir Sembarangan
Parkir sembarang baik didepan rumah orang lain atau ditempat yang mengganggu pengguna jalan lain. Hal ini rasanya biasa saja tanpa ada rasa bersalah. Seperti hal yang lumrah bahkan mempertanyakan apakah dirinya salah karena ini adalah jalan umum, walau bukan di depan pagar rumah orang, tak terpikirkan bahwa kesalahannya menganggu akses pengguna jalan lain.
Sebut saja namanya Pak Joni, suatu ketika rumah pak Joni sedang di renovasi, sebuah mobil parkir persis di depan pagar rumah Pak Joni. Beberapa kali Pak Joni memaklumi dan tidak mempermasalahkan walau si pengendara ini beberapa kali bertatap muka tanpa senyum dan bertegur sapa, nampaknya mereka tak saling mengenal. Sebaiknya si pengendara mobil senyum kepada pemilik rumah untuk menyapa. Rumah sedang di renovasi pastinya ada beberapa waktu kurir bahan bangunan mengirim material, meski terhalang dan kesulitan,Pak Joni tidak mempermasalahkan.Bahkan ketika ingin memarkir motor atau mobil Pak Joni sendiri di depan rumahnya sendiripun kesulitan karena mobil yang sering parkir sembarangan ini.
Suatu ketika Pak Joni menyadari ada yang menatapnya dengan sinis dan CCTV jalan nampak ada yang berubah, mobil tersebut tak lagi parkir depan pagar persis. Selang beberapa hari tiba-tiba rumah Pak Joni disatroni oleh pihak berwenang tanpa sepengetahuan RT setempat dan di rumah hanya ada karyawan Pak Joni. Alih-alih bertanya tentang mobil yang terpakir di depan rumah Pak Joni ada yang ngempesin bannya begitu ucap salah satu anggota pihak berwenang yang datang dengan foto-foto rumah seolah TKP. Mereka masuk ke dalam rumah Pak Joni dan menanyai karyawan yang ada tentang nama pemilik rumah, pekerjaan pemilik rumah, jam masuk kerja karyawan. Â Nampaknya mereka hanya titipan.
Hal serupapun ternyata terjadi di rumah kedua Pak Joni, mereka berganti pakaian dan mendatangi rumah kedua Pak Joni bersama petugas keamanan dan ketua RT setempat. Ingin silahturami dan menanyakan apakah ada orang rumah Pak Joni yang ngempesin ban mobil itu. Hal yang sama pun terjadi bahwa mereka ini hanya titipan. Kembali menanyakan siapa nama pemilik rumah kedua Pak Joni dan beberapa pertanyaan yang serupa. Malah meminta bukti bahwa tidak ada anggota keluarga pak Joni yang ngempesin ban mobil itu, berkali-kali pertanyaan itu dilontarkan pihak berwenang ini. Mereka lupa bahwa rumah Pak Joni sedang dalam renovasi dimana banyak puing dan kayu kaso berpaku yang sangat banyak di depan rumah. Ternyata pemilik mobil ini adalah salah satu penghuni rumah pejabat tinggi. Sebaiknya menyadari kesalahannya jika mobilnya menghalangi akses pemilik rumah. Bukan memeprtanyakan dan mencari tahu siapa yang ngempesin ban mobilnya. Melakukan kesalahan tapi malah play victim bak landak menunjukkan durinya.
 Mencari Siapa yang Salah
Bukan hanya musim hujan, nampaknya juga musim mencari kesalahan orang lain. Mengalihkan issue dengan mencari kesalahan orang itu memang sedang trending. Lampu Penerangan Jalan yang sudah satu bulan padam tak kunjung ada perbaikan. Suatu ketika datang petugas memperbaiki lampu itu, cerita si bapak yang memperbaiki lampu jalan, ada warga yang melapor. Lampu jalan pun sudah menyala dnegan terangnya hanya saja warnanya putih bukan kuning. Pemimpin daerah setempat langsung bertindak mengganti lampu tersebut dengan warna kuning di hari yang sama dan terus melontarkan dengan lantang, siapa sih yang lapor, berkali-kali dengan emosi.
Sebaiknya, berterimakasihlah kepada warga yang melapor sudah membantu menangani lampu penerangan jalan. Walau bantuan tersebut tidak sesuai dengan seharusnya atau keinginan. Paling tidak usaha warga melapor dan lampu jalan menyala, membantu pengguna jalan lainnya, mencegah bahaya pengguna jalan pada malam hari.
Tak hanya di lingkungan masyarakat, di lingkungan pendidikanpun sama. Singkat cerita si Anto menjadi korban sepatu melayang oleh si Tono, si Tono adalah anak kepala sekolah. Mereka didamaikan saat itu juga, dimana berujung dengan interogasi dan gebrakan meja yang dilakukan wakil kepala sekolah sebut saja Pak Eko. Menurut Pak Eko sikapnya hanya bentuk mendisiplinkan anak karena si Anto selaku korban tidak mau menjawab pertanyaannya Pak Eko yang menanyakan mau berteman dengan si Tono apa tidak. Hal ini membuat pengaruh besar terhadap mental si Anto yang usianya belum genap 7 tahun di bangku kelas 1 SD. Â Si Anto masuk rumah sakit dan mengalami depresi. Berbagai bukti dam pelaporan dilakukan orang tua Anto, sayangnya pihak sekolah malah mencari kesalahan Anto dan saudara kandung Anto yang lain. Masalah lain saudara Anto pun dibahas. Sebaiknya pihak sekolah memberikan rekaman CCTV pada saat kejadian Pak Eko menginterogasi Anto dan Tono, bukan "menjatuhkan" orang lain.
Menjadi sebuah pelajaran bersama bahwa mengakui kesalahan bukan hal memalukan, mengakui kesalahan tidak membuat kepala terlepas dari leher dan meletakkan kepala di kaki orang lain. Bukankah kita selalu berdoa memohon ampun kepadaNya atas kesalahan dan dosa-dosa kita? Semoga kita semakin baik dalam berkehidupan. Terkadang kita menang, terkadang kita harus belajar. Jangan malu untuk mengakui salah dan segeralah minta maaf! Tuhan saja maha mengampuni. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H